Riset: Banyak Mantan Pasien Covid Alami Lamban Berpikir

15 Mei 2021 19:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang instruktur senam yang mengenakan APD memimpin senam pagi untuk pasien virus corona COVID-19 di sebuah hotel di Karawaci,  Banten, Indonesia, Senin (5/10). Foto: Adek Berry/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Seorang instruktur senam yang mengenakan APD memimpin senam pagi untuk pasien virus corona COVID-19 di sebuah hotel di Karawaci, Banten, Indonesia, Senin (5/10). Foto: Adek Berry/AFP
ADVERTISEMENT
Banyak mantan pasien corona yang mengalami gangguan neurotik hingga lamban berpikir, menurut riset terbaru. Temuan ini menggarisbawahi dampak negatif virus corona bagi penyintas di kehidupan normal mereka.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan terbaru dari pusat penelitian medis Mayo Clinic, mantan pasien COVID-19 terpantau mengalami gejala neurotik seperti gangguan mood, kelelahan, dan persepsi kognitif. Gangguan-gangguan ini termasuk ke dalam apa yang disebut Long Covid—gangguan berkepanjangan yang dialami oleh orang yang terinfeksi virus corona bahkan setelah virus tersebut tak ada lagi di tubuh mereka.
Studi yang dibuat melibatkan 100 pasien corona yang dirawat antara tanggal 1 Juni hingga 31 Desember 2020. Mereka memiliki usia rata-rata 45 tahun, dengan 68 persen di antaranya adalah perempuan.
Setelah sembuh, 100 pasien itu menjalani tahap evaluasi untuk peneliti melihat dampak neurotik seperti apa yang dialami mereka setelah sembuh dari COVID-19. Peneliti bilang, evaluasi 100 pasien itu rata-rata dilakukan pada 93 hari setelah infeksi.
ADVERTISEMENT
Gejala paling umum dari mantan pasien adalah kelelahan. Sebanyak 80 persen partisipan melaporkan kelelahan yang tidak biasa, sementara 59 persen mengaku memiliki keluhan pernafasan dan keluhan neurologis.
Lebih dari sepertiga pasien melaporkan kesulitan melakukan aktivitas dasar kehidupan sehari-hari. Hanya 1 dari 3 pasien yang kembali ke aktivitas kerja tidak terbatas, kata peneliti.
Pengunjung mengenakan masker berjalan di Seaside Heights, New Jersey, Amerika Serikat. Foto: AFP/Kena Betancur
"Sebagian besar pasien dalam penelitian ini tidak memiliki penyakit penyerta sebelum infeksi COVID-19, dan banyak yang tidak mengalami gejala terkait COVID-19 yang cukup parah sehingga memerlukan rawat inap," kata Greg Vanichkachorn, direktur medis program COVID-19 Activity Rehabilitation dari Mayo Clinic sekaligus penulis utama studi, dalam keterangan resminya.
Vanichkachorn bilang, meski merasakan gangguan mood, kelelahan, dan sulit berpikir, sebagian besar pasien memiliki hasil lab dan pencitraan yang normal.
ADVERTISEMENT
Karena gangguan neurotik tersebut, mantan pasien COVID-19 mengaku kesulitan untuk kembali hidup normal seperti bekerja. Mereka pun memerlukan terapi otak untuk mengatasi gangguan yang mereka alami.
"Kebanyakan pasien yang bekerja sama dengan kami memerlukan terapi fisik, terapi okupasi, atau rehabilitasi otak untuk mengatasi gangguan kognitif yang dirasakan," kata Vanichkachorn.
"Sementara banyak pasien mengalami kelelahan, lebih dari setengahnya juga melaporkan masalah dengan berpikir, umumnya dikenal sebagai 'kabut otak' (brain fog). Dan lebih dari sepertiga pasien mengalami masalah dengan aktivitas dasar kehidupan. Banyak yang tidak dapat melanjutkan kehidupan kerja normal mereka setidaknya selama beberapa bulan,” sambungnya.

Apa itu brain fog yang dialami mantan pasien Covid?

Kabut otak bukanlah gangguan yang cuma bisa dirasakan mantan pasien COVID-19. Gangguan ini juga bisa menimpa orang normal dan merujuk kepada perasaan seseorang ketika pemikiran mereka terasa lamban.
ADVERTISEMENT
“Kabut otak bukanlah istilah medis atau ilmiah; ini digunakan oleh individu untuk menggambarkan bagaimana perasaan mereka ketika pemikiran mereka lamban, tidak jelas, dan tidak tajam,” kata Andrew E. Budson, seorang dosen neurologi di Harvard Medical School, di blog resmi universitas.
Menurut laporan Healthline, gejala brain fog meliputi masalah memori, kurangnya kejernihan mental, konsentrasi yang buruk, sakit kepala, hingga kebingungan. Meski bisa dialami oleh orang yang tak kena COVID-19, banyak mantan pasien corona yang merasakan gangguan brain fog setelah beberapa bulan usai negatif virus corona.
Dalam posting-nya, Budson mengaku bahwa dirinya pernah di-email oleh seorang pria penyintas COVID-19 yang merasa punya “gangguan kognitif”. Pria tersebut, yang mengirim e-mail ke Budson pada musim semi 2020, tampak normal ketika menjalani cek medis. Namun, dia tetap merasa punya gangguan kognitif.
ADVERTISEMENT
“Seperti pria ini, banyak orang yang telah pulih dari efek akut COVID-19 yang mengancam jiwa, tetapi masih belum merasa bahwa pikiran dan ingatan mereka kembali normal,” kata Budson.
Ilustrasi otak manusia. Foto: pixabay/TheDigitalArtist
Pengakuan serupa juga disampaikan oleh Reagan, mantan pasien COVID-19 yang mengalami brain fog. Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times pada Oktober 2020, pria 50 tahun itu menggambarkan bagaimana gangguan berpikir itu mempengaruhi kehidupan normalnya pasca-sembuh.
"Saya tidak dapat menemukan kata-kata. Saya merasa seperti saya terdengar seperti orang idiot,” kata Reagan, yang bekerja sebagai spesialis vaskular di sebuah perusahaan yang membuat stent dan kateter. Dia perlu mengambil cuti karena gangguan brain fog yang dia alami.
“Tidak mungkin saya menjalani operasi dan mengajari dokter cara menjahit arteri," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, para ilmuwan masih mencari tahu seberapa sering penyintas COVID-19 mengalami gangguan kognitif seperti brain fog ini.
Satu analisis dari jurnal PAIN Reports menunjukkan bahwa sekitar 7,5 hingga 31 persen pasien mengalami perubahan kondisi mental sebagai gejala COVID-19. Namun, studi yang dipublikasi pada Februari 2021 ini didasarkan pada studi kecil dan mungkin tidak berlaku untuk populasi yang lebih besar.
Studi terbaru lainnya, yang dipublikasi di jurnal Cancer Cell pada Januari 2021, melaporkan bahwa gejala neurologis dapat menyebar lebih luas dari yang diperkirakan dan dapat terjadi hingga 69 persen pasien COVID-19 dengan gejala parah.

Bagaimana virus corona bisa ganggu otak manusia?

Sampai saat ini, belum ada jawaban tunggal soal mengapa ada penyintas COVID-19 yang mengalami brain fog dan yang lainnya tidak. Meski demikian, sebuah analisis awal dari Wuhan, China, pada April 2020 di jurnal JAMA menyebut, orang dengan gejala COVID-19 yang parah berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan gejala neurologis daripada pasien yang punya gejala ringan.
ADVERTISEMENT
Tak cuma brain fog, sejumlah riset juga menemukan bahwa komplikasi terkait otak yang parah seperti mengigau, kejang, dan radang otak dan jaringan sekitarnya paling sering terjadi pada pasien COVID-19 yang sakit kritis.
COVID-19 sendiri merupakan penyakit yang dapat menyerang berbagai organ, mulai dari paru-paru, jantung, ginjal, hingga usus. Para peneliti bilang, hal tersebut karena reseptor ACE2—jendela masuknya virus corona untuk menginfeksi sel manusia—terdapat di sel-sel yang melapisi pembuluh darah, di ginjal, saluran hati, pankreas, hingga di saluran usus.
Gangguan pada organ tubuh inilah yang kemudian dapat memicu brain fog, menurut Budson.
“Kerusakan pada organ-organ ini—atau bahkan hanya gejalanya saja—dapat mengganggu pemikiran dan memori dan menyebabkan brain fog,” kata Budson. “Misalnya, bagaimana Anda bisa berpikir jernih jika Anda merasa lelah dan tubuh Anda sakit?”
ADVERTISEMENT
Adapun penelitian terbaru dari jurnal JAMA Neurology pada Februari 2021 menemukan sel baru di otak korban COVID-19 yang semestinya tidak ada di sana.
Sel tersebut, yang bernama megakariosit, sebenarnya adalah sel sumsum tulang belakang. Megakariosit adalah sel yang bertanggung jawab untuk produksi trombosit, komponen darah yang diperlukan untuk pembekuan dan perbaikan luka.
Sel yang tidak seharusnya ada di otak ini mengurangi atau sepenuhnya memblokir aliran darah melalui kapiler individu di korteks serebral—area otak tempat sebagian besar pemrosesan informasi terjadi.
Pada akhirnya, para peneliti menduga bahwa sel megakariosit inilah yang memicu brain frog.
Sel megakariosit yang ditemukan di bagian otak jasad pasien COVID-19. Foto: Nauen, et. al. via Johns Hopkins Medicine
Meski demikian, penelitian terbaru dari JAMA Neurology ini belum dapat menjelaskan bagaimana megakariosit dapat bermigrasi ke otak.
"Kami belum tahu apakah megakariosit yang kami temukan di otak hanyalah hasil dari aliran darah yang membawanya ke sana atau jika perubahan spesifik terjadi di pembuluh otak yang menjebaknya," kata David Nauen, penulis utama studi sekaligus asisten profesor patologi di Johns Hopkins University School of Medicine.
ADVERTISEMENT
“Kami menduga SARS-CoV-2 merusak jaringan paru-paru, yang menyebabkan pelepasan sinyal kimiawi yang mendorong megakariosit untuk bergerak ke sana dari sumsum tulang. Ketika itu terjadi, sel-sel besar ini entah bagaimana menemukan cara untuk melewati kapiler paru-paru dan sampai ke otak,” sambungnya.
Tak cuma kurang menjelaskan mekanisme sel aneh itu berpindah, penyelidikan para peneliti juga masih dalam skala kecil, di mana peneliti cuma menemukan sel aneh ini di 5 dari 15 jasad korban positif COVID-19 yang diautopsi mereka. Selain itu, penelitian mereka tak memiliki kelompok kontrol dari jasad penyintas COVID-19 yang tak lagi memiliki virus corona.
****
Saksikan video menarik di bawah ini: