Riset BMKG Ungkap Kaitan Cuaca dan Corona: Tetap Harus Batasi Mobilitas Warga

4 April 2020 15:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Pantai Petitenget di tengah penyebaran virus corona (COVID-19) di Bali, Indonesia, Senin (23/3). Foto: REUTERS/Nyimas Laula
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pantai Petitenget di tengah penyebaran virus corona (COVID-19) di Bali, Indonesia, Senin (23/3). Foto: REUTERS/Nyimas Laula
ADVERTISEMENT
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan analisis cuaca dan iklim Indonesia terkait wabah virus corona yang dilaporkan bisa terhambat di negara tropis dibandingkan negara subtropis dan temperate. Setelah melakukan kajian, kedua lembaga ini memberi rekomendasi agar mobilitas penduduk dan interaksi sosial di harus benar-benar dibatasi, jika ingin mengurangi risiko penyebaran virus corona. Pemerintah juga harus melakukan intervensi sektor kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sementara faktor suhu dan kelembapan udara, disebut BMKG dan UGM hanyalah faktor pendukung dalam memitigasi dan mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.
Analisis ini dirilis BMKG setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa Indonesia diuntungkan dengan temperatur tinggi pada April. Kelembapan tinggi di Indonesia, katanya, membuat virus corona relatif lemah daripada tempat lain yang suhu dan kelembapan udaranya rendah. Hal senada diungkap Presiden Joko Widodo yang bilang cuaca di Indonesia turut mempengaruhi berkembangnya virus corona.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengaku sudah melakukan kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis, dan studi literatur tentang Pengaruh Cuaca dan Iklim dalam Penyebaran COVID-19. Kajian mereka didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Perawatan UGM.
ADVERTISEMENT
"Hasil kajian menunjukkan, adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah COVID-19, seperti yang tertuang dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020), dan Wang et. al. (2020)," kata Dwikorita dalam pernyataan resmi, Sabtu (4/4).
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati. Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
Riset Sajadi et.al (2020), serta Araujo dan Naimi (2020), memperlihatkan sebaran kasus virus corona pada saat outbreak gelombang pertama, berada pada zona iklim yang sama, yaitu pada posisi lintang tinggi wilayah subtropis dan temperate. Kesimpulan sementara masing-masing studi menyebut, bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibanding negara-negara tropis.
Sementara studi Chen et. al. (2020) dan Sajadi menyebut kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8 sampai 10 derajat Celsius dengan kelembapan 60 sampai 90 persen. Artinya, lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembapan tinggi merupakan kondisi lingkungan yang kurang ideal dalam penyebaran kasus corona. Tim peneliti menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur dan kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Kemudian penelitian Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur di atas 1 derajat Celsius dengan jumlah dugaan kasus COVID-19 per hari. Tim periset menunjukkan bahwa virus corona mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu sangat rendah antara 1 sampai 9 derajat Celsius, yang berarti semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan kasus COVID-19 harian akan semakin rendah.
Lalu, studi Wang et. al (2020) menyebut virus corona serupa dengan virus influenza yang cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering. Kondisi tersebut juga melemahkan 'host immunity' seseorang, mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus.
Tim ilmuwan Araujo dan Naimi memprediksi dengan model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya menyimpulkan, iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus corona. Iklim tropis membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil, sehingga menularan virus dari orang ke orang cenderung terhambat, dan akhirnya kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemi juga akan terhambat.
Wujud asli virus corona SARS-CoV-2 yang terlihat melalui mikroskop. Foto: National Institute of Allergy and Infectious Diseases via flickr (CC BY 2.0)
ADVERTISEMENT

Hasil Kajian BMKG-UGM

Tim gabungan BMKG dan UGM menjelaskan, analisis statistik dan hasil model matematis di beberapa riset tadi mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang tinggi, tapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang kedua.
Indonesia terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata 27 sampai 30 derajat Celsius dan kelembapan udara antara 70 sampai 98 persen. Dari literatur yang disebutkan tadi, kondisi tersebut merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19.
Namun fakta menunjukkan kasus gelombang kedua COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah virus corona di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Akhirnya laporan tim BMKG-UGM merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat (Luo et. al. 2020 dan Poirier et. al., 2020), maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut," ucap Dwikorita.
Selain itu, Indonesia perlu waspada pada April hingga Mei 2020. Pasalnya, sebagian besar wilayah memasuki pergantian musim yang sering ditandai dengan merebaknya wabah Demam Berdarah.
Hasil kajian tim gabungan BMKG dan UGM juga merekomendasikan kepada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus mendatang, yang diprediksi akan mencapai suhu rata-rata 28 hingga 32 derajat Celsius dan kelembapan udara antara 60 sampai 80 persen.
ADVERTISEMENT
Tim ilmuwan juga mengimbau penerapan physical distancing yang lebih ketat dengan pembatasan mobilitas orang dan tetap tinggal di rumah. Rekomendasi ini disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat sebagai upaya untuk memitigasi atau mengurangi penyebaran wabah COVID-19 secara lebih efektif.
"Karena cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut (pembatasan mobilitas orang) dengan lebih maksimal dan efektif," tutupnya.
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!