Riset: Gaji Istri yang Lebih Tinggi Pengaruhi Kesehatan Mental Suami

20 November 2019 18:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi masalah kesehatan mental pada pria. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masalah kesehatan mental pada pria. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Para suami mulai gusar saat mengetahui gaji istri mereka lebih besar dari pendapatan mereka. Hal ini kemudian akan membuat para suami berada dalam tekanan yang besar apabila secara ekonomi, mereka sepenuhnya bergantung pada sang istri.
ADVERTISEMENT
Kelompok peneliti dari University of Bath, Inggris, mendapatkan temuan ini setelah melakukan riset terhadap 6 ribu pasangan heteroseksual di Amerika. Penelitian yang berlangsung selama lebih dari 15 tahun itu menunjukkan bahwa kekhawatiran suami memuncak ketika mereka berada di posisi sebagai pencari nafkah tunggal. Artinya, para suami ini bertugas memikul semua tanggung jawab keuangan rumah tangga.
Tingkat stres dan kecemasan para suami lalu menurun di saat istri mereka juga bekerja dan memperoleh gaji yang mendekati 40 persen dari pendapatan rumah tangga. Namun, jika penghasilan para istri meningkat bahkan melewati batas itu, hasil riset menunjukkan tingkat stres suami akan meningkat secara bertahap.
Ilustrasi suami menerima gaji. Foto: Shutterstock
Menurut Dr. Joanna Syrda, seorang ekonom dari Fakultas Manajemen Universitas Bath yang terlibat dalam penelitian ini, temuan mereka erat kaitannya dengan terminologi identitas gender. Masih ditemukan pemahaman lawas soal gaji suami yang seharusnya lebih tinggi dibandingkan istrinya sehingga hal ini akan berdampak pada kesehatan mental para lelaki.
ADVERTISEMENT
Identitas gender yang masih dipegang teguh oleh beberapa kelompok masyarakat terkait penghasilan ini, imbuh Syrda, akan terus-menerus memberikan tekanan sehingga berbuntut pada banyaknya masalah kesehatan yang merugikan. Termasuk penyakit fisik dan masalah mental, emosional, serta sosial.
Ilustrasi Gaji Foto: Pixabay
Dari hasil riset ini pula Syrda mencatat bahwa tekanan psikologis tidak akan dirasakan para lelaki meskipun pendapatan pasangan mereka lebih tinggi. Namun hal itu terjadi di saat mereka belum menikah dan kesenjangan pendapatan yang ada telah jelas bagi keduanya.
Pew Research Center, pusat penelitian tentang tren isu sosial di AS merilis, hanya ada 13 persen wanita menikah yang berpenghasilan lebih tinggi dibandingkan suami mereka. Itu terjadi pada tahun 1980. Nah, pada tahun 2017, angka itu mendekati sepertiganya dan tren istri berpenghasilan lebih tinggi dari suami pun terus berlanjut sejak itu.
ADVERTISEMENT
Syrda bersama timnya kemudian tertarik untuk mencari tahu bagaimana situasi tersebut mampu memengaruhi norma-norma sosial, kesejahteraan, dan pemahaman kita tentang maskulinitas.
"Konsekuensi dari peran gender tradisional yang sudah berbalik dalam perkawinan terkait penghasilan istri yang lebih tinggi mencakup berbagai dimensi, termasuk kesehatan fisik dan mental, kepuasan hidup, kesetiaan dalam perkawinan, perceraian, dan tawar menawar dalam perkawinan," ujar Dr. Syrda, seperti dilaporkan Phys.org.
Ilustrasi pasangan berhitung soal masing-masing pendapatan. Foto: Thinkstock
Syrda menambahkan bahwa maskulinitas erat kaitannya dengan pandangan konvensional yang menyebutkan bahwa pencari nafkah dalam rumah tangga dibebankan pada laki-laki. Pandangan ini memungkinkan para lelaki lebih berpotensi mengalami tekanan psikologis ketika mereka hanya menjadi pencari nafkah sekunder dalam rumah tangga atau bahkan menjadi sepenuhnya bergantung secara finansial pada istri mereka.
ADVERTISEMENT
Temuan ini, menurut Syrda, bisa menjadi implikasi dalam mengelola kesehatan mental pria serta bagaimana pentingnya pemahaman masyarakat tentang maskulinitas itu sendiri.