Riset: Hoaks dan Teori Konspirasi Corona Picu Kematian Makin Banyak

15 Agustus 2020 17:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah ilmuwan menggelar riset untuk membuktikan betapa berbahayanya hoaks atau informasi palsu soal penanganan corona. Lewat studi yang diterbitkan di American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, ilmuwan menemukan setidaknya 500 orang tewas dan 5.800 orang dirawat di rumah sakit lantaran para korban salah ambil langkah dalam menangani corona.
ADVERTISEMENT
Beberapa dari yang yang tewas dan dirawat itu ada yang pernah meminum cairan spiritus dan cairan untuk produk pembersih. Mereka percaya bahwa kandungan di dalam kedua barang itu bisa menyembuhkan diri mereka dari virus corona.
Lalu dari mana mereka mendapat informasi tersebut? Ilmuwan mengungkap, ternyata mereka mendapat informasi tersebut dari media sosial.
Petugas medis melakukan pemeriksaan cepat (rapid test) COVID-19 terhadap sejumlah pedagang di Pasar Botania 2, Batam, Kepulauan Riau. Foto: ANTARA FOTO/M N Kanwa
Beberapa disinformasi pemicu kematian yang muncul bisa dibilang tidak sedikit, bahkan ada yang tak masuk akal. Selain minum spiritus, ada orang yang percaya bahwa meminum urine sapi bisa sembuh dari virus corona, ada juga saran meminum cairan pemutih juga bisa membunuh virus.
Studi mengklasifikasikan informasi-informasi yang beredar ke dalam 3 jenis. Pertama rumor, yakni informasi yang bisa saja benar, atau salah. Kedua stigma, yaitu informasi yang berisi seputar konstruksi sosial terhadap sesuatu yang cenderung negatif terhadap sesuatu.
ADVERTISEMENT
Ketiga yakni informasi-informasi menyangkut teori konspirasi. Konten tersebut memuat keyakinan pemberi informasi tentang adanya individu atau kelompok orang yang bekerja secara rahasia untuk mencapai tujuan jahat.
Ilmuwan mencatat, sampai saat ini dunia sudah mengalami 3 gelombang disinformasi atau infodemik. Pertama yakni antara 21 Januari hingga 13 Februari. Gelombang kedua 14 Februari-7 Maret dan gelombang ketiga terjadi antara 8 Maret hingga 31 Maret.
Istilah infodemik mengacu pada WHO dalam menyebut informasi palsu soal kebenaran hal-hal tentang corona dan penanganannya. Dalam dua gelombang pertama, jumlah infodemik dilaporkan rendah namun polanya identik jika dibandingkan dengan tren infodemik gelombang ketiga.
Peneliti mengidentifikasi 2,311 laporan yang berkaitan dengan infodemik COVID-19 dari 25 bahasa dan 87 negara yang berbeda di dunia.
ADVERTISEMENT
Dari jumlah itu, 24 persen di antaranya bicara soal penyakit, penularan dan kematian. 21 persen soal kontrol dan intervensi corona, 19 persen soal pengobatan penyembuhan, dan 15 persen berisi soal kabar asal usul corona yang belum tentu kebenarannya.
Ternyata, 82 persen dari jumlah laporan, berisi informasi yang salah. Hanya 9 persen informasi yang teridentifikasi benar. Sisanya, 8 persen menyesatkan dan 1 persen tidak terbukti.

Hoaks corona di sejumlah negara

Informasi-informasi tersebut berasal dari negara-negara seperti India, Amerika Serikat, China, Spanyol Brasil dan bahkan dari Indonesia. Keenam negara itu termasuk Indonesia menyumbang infodemik corona paling besar di dunia.
Info-info yang mengaitkan teori konspirasi dengan pandemi corona banyak beredar di China, Rusia dan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD dalam situsnya, Jumat (3/7) lalu menyebut bahwa disinformasi terkait COVID-19 menyebar lebih banyak ketimbang informasi sesuai fakta yang dikeluarkan oleh sumber-sumber valid seperti WHO dan pusat penanganan wabah Amerika Serikat.
***
Saksikan video menarik di bawah ini.