Riset Sebut Bonus Demografi Indonesia Terancam ‘Hilang’, Kenapa?

10 Mei 2022 6:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi masyarakat yang menggunakan masker di bandara agar terhindar dari virus.  Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masyarakat yang menggunakan masker di bandara agar terhindar dari virus. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah riset menyebutkan bonus demografi Indonesia terancam hilang, karena gaya hidup buruk masyarakat di usia muda dari remaja hingga dewasa.
ADVERTISEMENT
Riset yang dilakukan oleh Diahhadi Setyonaluri dan Flora Aninditya, peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, mengatakan bahwa bonus demografi Indonesia diperkirakan akan berakhir pada 2036 saat persentase penduduk usia lanjut mulai meningkat.
Bonus demografi sendiri adalah pertumbuhan ekonomi yang didorong jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang lebih banyak dibanding anak-anak dan lansia.
Ini tak lain karena menurut riset dari Kementerian Kesehatan, penyakit tidak menular (PTM), seperti stroke, penyakit jantung iskemik (penyempitan pembuluh darah), diabetes, dan sirosis hati yang biasa dialami oleh penduduk lanjut usia (lansia) juga ditemukan di kelompok usia produktif, bahkan pada usia 10-14 tahun.
Berdasarkan data Global Burden of Disease pengendalian penyakit menular pada 1990-2016, Indonesia berhasil menurunkan DALYs loss sebesar 58,6 persen, dari 43,8 juta menjadi 18,1 juta tahun produktif.
ADVERTISEMENT
DALYs (Disability Adjusted Life Years) loss adalah total tahun produktif yang hilang digunakan dalam bidang ekonomi kesehatan untuk mengukur potensi waktu produktif penduduk suatu negara yang tidak bisa dimanfaatkan karena buruknya kondisi kesehatan.
Pada 2017, penyakit tidak menular seperti stroke, penyakit jantung iskemik, dan diabetes menjadi penyebab utama DALYs loss, diikuti penyakit menular seperti tuberkulosis dan diare, serta trauma akibat kecelakaan lalu lintas.
Ilustrasi makan junk food Foto: Shutterstock
Penyakit tidak menular, penyakit menular, dan trauma kecelakaan menyumbang pada banyaknya total tahun produktif yang hilang pada kelompok umur produktif, tapi pada tahap siklus hidup yang berbeda-beda.
“Kesakitan tersebut tidak saja mengurangi kemampuan untuk produktif secara ekonomi, tapi juga menambah beban biaya kesehatan yang seharusnya hanya berasal dari penduduk usia anak dan lanjut usia,” papar peneliti.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, saat ini Indonesia masuk dalam periode “beban ganda penyakit” karena terjadi peningkatan kejadian PTM yang disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat seperti konsumsi lemak dan gula berlebih, serta kebiasaan merokok di tengah masih tingginya penyakit menular.
Pola makan buruk yang kaya lemak, gula, dan kurang serat menduduki ranking tertinggi dari keseluruhan faktor risiko penyebab kematian akibat berbagai penyakit. Ini diikuti dengan tekanan darah tinggi dan gula darah tinggi akibat pola makan dan gaya hidup yang buruk. Konsumsi tembakau atau merokok juga meningkatkan faktor risiko.
Beban ganda penyakit ini akan berpengaruh pada hilangnya produktivitas penduduk usia kerja. Inilah yang akhirnya dapat mengancam pencapaian bonus demografi.
“Bisa jadi mereka harus menjalani perawatan atau mengalami keterbatasan tenaga, dan juga mengeluarkan banyak biaya untuk berobat. Jika kondisi ini berlanjut, produktivitas penduduk suatu negara akan terganggu,” tulis mereka di The Conversation.
Sejumlah buruh beristirahat makan siang di bawah konstruksi jembatan di proyek Jalan Tol Pekanbaru-Dumai, Provinsi Riau, Selasa (30/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/FB Anggoro

Implikasi kebijakan

Menurut Diahhadi, dengan jumlah penduduk usia kerja yang besar, Indonesia menghadapi peluang maupun tantangan. Di satu sisi, penduduk usia kerja yang besar merupakan sumber percepatan untuk pertumbuhan ekonomi jika penduduk ini produktif secara ekonomi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, besarnya penduduk usia kerja relatif terhadap penduduk usia tidak produktif (anak dan lansia) merupakan keuntungan bagi jaminan kesehatan dalam hal potensi pembayaran premi serta support ratio yang relatif tinggi.
Namun di sisi lain, bila penduduk usia kerja memiliki keterampilan yang rendah serta status kesehatan rendah yang mengurangi produktivitasnya, maka mereka akan menjadi beban.
Sementara itu tantangan utama untuk penduduk usia kerja adalah masih rendahnya pendidikan dan keterampilan tenaga kerja Indonesia serta beban penyakit yang cukup besar diderita oleh kelompok usia tersebut, terutama penyakit tidak menular (PTM). Hal tersebut menyebabkan mutu modal manusia Indonesia menjadi tidak optimal untuk mencapai bonus demografi.
"Untuk menuju kualitas yang lebih baik, selain peningkatan kompetensi dan keterampilan, kegiatan mempromosikan hidup sehat dan mencegah penyakit, juga mencegah kecelakaan lalu lintas, perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan produktivitas kelompok usia kerja," papar Diahhadi.
ADVERTISEMENT