Sarah Al Amiri, Perempuan di Balik Misi Uni Emirat Arab ke Mars

15 Juli 2020 7:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Persiapan peluncuran Misi UEA ke Mars. Foto: Twitter/@HHShkMohd (Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum)
zoom-in-whitePerbesar
Persiapan peluncuran Misi UEA ke Mars. Foto: Twitter/@HHShkMohd (Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum)
Uni Emirat Arab akan meluncurkan misi antariksanya yang pertama di tengah pandemi. Dan di dalam ruang kendali misi ke Mars itu, duduk seorang perempuan muda: Sarah Al Amiri.
“Kalian adalah sekelompok anak-anak. Bagaimana kalian akan sampai ke Mars?” ujar Amiri, menirukan ejekan yang kerap menghampiri dia dan timnya.
Enam tahun kemudian, kisah Nature, Amiri dengan semringah menatap pengorbit Mars yang telah rampung dirakit di Mohammed bin Rashid Space Centre, Dubai.
17 Juli 2020, di tengah pandemi corona global, Uni Emirat Arab akan mengirim sebuah pengorbit bernama “Hope” ke Mars. Misi ini menandai awal penjelajahan antariksa oleh negara Arab. Sebelum UEA, belum pernah ada negara di jazirah Arab yang melakukannya.
Hope akan menghabiskan satu tahun di Mars. Selama rentang waktu itu, para ilmuwan yang terlibat misi tersebut berharap dapat mempelajari lebih jauh soal Mars, khususnya tentang atmosfernya yang tipis. Mereka hendak meneliti evolusi atmosfer Mars, dan dengan demikian berharap dapat mencegah atmosfer Bumi menipis seperti yang terjadi di Mars.
Bagi sebuah negara dengan umur kurang dari setengah abad (UEA baru merdeka dari Inggris pada 1971), misi antariksa jelas proyek ambisius. Teristimewa lagi: salah satu pemimpin misi ini adalah perempuan muda berusia 33 tahun—Sarah Al Amiri.
Sarah Al Amiri, Kepala Operasi Sains dan Wakil Manajer Misi UEA ke Mars. Foto: Instagram/@sarahamiri1
“Saya menyadari objek yang tercetak pada halaman itu lebih besar dari segala sesuatu yang pernah saya lihat, dan membuat planet yang saya tinggali terlihat kecil,” kata Amiri, menceritakan momen masa kecilnya ketika ia membuka buku astronomi dan melihat gambar Andromeda—galaksi raksasa yang bertetangga dengan Bima Sakti, tempat Bumi berada.
Amiri selalu terpesona bila membayangkan keluasan semesta dan kompleksitas antariksa. Semua itu memicu rasa penasarannya.
The New York Times menceritakan, ketika Amiri duduk di bangku kuliah, ada beberapa peluang di Timur Tengah untuk mengambil studi tentang alam semesta, tapi ia justru memilih jurusan ilmu komputer. Meski demikian, di tengah dorongan UEA kepada generasi mudanya untuk mengejar karier di bidang sains dan teknologi, ia berada pada jalur yang tepat.
Pada usia 33 tahun kini, Amiri—ahli komputer yang tak pernah belajar ilmu antariksa secara formal—menjabat sebagai Kepala Operasi Sains dan Wakil Manajer Misi UEA ke Mars.
Itu belum semua, karena Amiri juga menduduki kursi Menteri Negara untuk Sains Lanjutan. Ia pun menjadi Ketua Dewan Penasihat Ilmuwan UEA.
Bagaimana seorang perempuan muda bisa memegang setumpuk posisi penting itu?
Saat Amiri lulus kuliah dengan gelar di bidang ilmu komputer, prospek yang paling memungkinkan baginya ialah bekerja di perusahaan-perusahaan yang bersinggungan dengan sektor teknologi informasi. Namun pilihan ini tak menarik minat Amiri. Ia ingin merancang dan membangun hal-hal baru.
Amiri kemudian melihat lowongan pekerjaan di Mohammed bin Rashid Space Centre. Ia melamar, bergabung dengan pusat luar angkasa itu pada 2009, dan bekerja sebagai engineer pada program satelit. Dan saat tugas itu tuntas pada 2014, ia beralih ke posisinya yang sekarang—di balik kendali misi Hope ke Mars.
Persiapan Misi UEA ke Mars di Momammed bin Rashid Space Centre, Dubai. Foto: Twitter/@HopeMarsMission
UEA menggunakan cara cepat untuk menggapai megaproyeknya ke Mars. Alih-alih melatih para ilmuwan antariksanya dari nol untuk menggarap misi Hope, mereka mengalihkan beberapa insinyur di pusat luar angkasanya menjadi ilmuwan. Caranya: dengan mengirim mereka ke Amerika Serikat guna dilatih oleh para ahli di negara itu.
“Saya mendapat tugas untuk mengembangkan orang-orang dengan bakat keilmuan, dan untuk mentransfer pengetahuan dengan cara non-tradisional,” kata Amiri.
Ia lantas menyusun tim berisi para ilmuwan antariksa hasil program ulang sejumlah insinyur itu. Anggota tim tersebut rata-rata berusia 27 tahun dan 34 persennya adalah perempuan.
Ahmad Belhoul, Menteri Pendidikan Tinggi dan Kepala Badan Antariksa UEA, menyatakan misi ke Mars jauh lebih kompleks dari sekadar memarkir satelit ke orbit rendah Bumi.
“Anda tak bisa tiba-tiba bilang ‘Saya ingin pergi ke Mars’ atau ‘Saya akan membikin pesawat luar angkasa’. Anda harus benar-benar mempelajari caranya,” kata dia.
Untuk dapat melakukannya, UEA meminta bantuan pakar asing dan menggunakan model yang pernah sukses sebelumnya. Negara itu merekrut orang-orang lama yang pernah terlibat misi NASA. Mereka inilah yang melatih insinyur-insinyur UEA.
Akhirnya ahli-ahli UEA dan AS bekerja sama pada setiap tahap pengembangan misi, mulai dari soal desain hingga manufaktur yang pengerjaannya dilakukan di Colorado dan Dubai.
Namun kemudian virus corona mewabah akhir Februari, membuat tingkat kesulitan berganda.
Persiapan peluncuran Misi UEA ke Mars di Tanegashima Space Centre, Jepang. Foto: Twitter/@HopeMarsMission
Seharusnya, sesudah konstruksi pesawat luar angkasa dirampungkan di Colorado AS, ia diangkut oleh pesawat kargo besar milik Ukraina ke Dubai untuk menjalani serangkaian pengujian sebelum menuju lokasi peluncuran di Pusat Antariksa Tanegashima Jepang.
Masalahnya, semua rencana yang telah disusun cermat bisa terganggu kalau bandara-bandara di berbagai negara yang menjadi titik transfer pesawat antariksa itu ditutup karena pandemi. Selain itu, pembatasan perjalanan di masa pandemi juga membuat para personel Misi Hope tak bisa bebas terbang bolak-balik UEA-Jepang.
“Jadi kami mengubah rencana dan menerbangkan tim kami ke Jepang secepat mungkin,” kata Amiri. Ia dan timnya juga mengacak sejumlah pengujian untuk mempercepat pengiriman pesawat luar angkasa ke Jepang—tiga minggu lebih awal dari jadwal semula.
Awal April, tim kecil dari Dubai terbang ke Jepang dan menjalani karantina sesampainya di sana. Dua minggu kemudian, tepat ketika masa karantina usai, pesawat kargo yang membawa Hope terbang ke Jepang bersama tim kecil lain dari Dubai.
Setibanya di Jepang, tim kedua yang datang bersama Hope itu kemudian menjalani karantina. Sementara tim pertama yang telah menyelesaikan masa karantina berangkat ke Pulau Tanegashima yang menjadi lokasi peluncuran roket. Untuk menuju Tanegashima, mereka tak terbang, tapi berlayar dengan tongkang yang mengangkut pesawat luar angkasa Hope.
Kini, Misi Hope ke Mars siap diluncurkan.
Pada 17 Juli 2020—mundur dua hari dari jadwal awal karena cuaca buruk di Tanegashima—UEA akan bergabung dalam daftar negara-negara penjelajah antariksa.
Omran Sharaf, Manajer Misi Hope ke Mars, mengatakan negaranya dan timnya memahami sepenuhnya risiko yang mereka hadapi: kegagalan.
“Mari kita jujur, 50 persen misi ke Mars mengalami kegagalan,” ujarnya. “Keberhasilan kami di sini adalah adanya pelatihan bagi orang-orang kami.”
“Ini tentang sebuah perjalanan, proses, dan dampaknya bagi Emirat,” ucap Sharaf.
Hasan Al Matroushi, Kepala Analisis dan Data Sains di Mohammed bin Rashid Space Centre, kepada Space.com mengatakan bahwa misi UEA ke Mars adalah tentang harapan, sesuai dengan nama pengorbit itu sendiri.
Amiri sepenuhnya sepakat. “Pergi ke Mars itu penting, tapi bagaimana kami bisa sampai ke sana lebih penting lagi.”
“Kami negara baru yang terlambat masuk kompetisi (antariksa) global ini. Wajar kalau orang berpikir kami gila,” ujar Amiri.
Ia menegaskan, “Bagi kami, misi ini bukan untuk bermewah-mewah, bukan pula gimmick. Ini kebutuhan mutlak untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan kami sebagai sebuah bangsa.”