Sejarah Kelam Kota Tertua di Turki Terungkap dari Temuan Kerangka Manusia

13 November 2020 10:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kota kuno Catalhoyuk di Turki. Foto: Verity Cridland via Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Kota kuno Catalhoyuk di Turki. Foto: Verity Cridland via Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Sekitar 9 ribu tahun yang lalu, sebuah pemukiman di Turki kuno berkembang menjadi sebuah kota. Kota tersebut disebut Catalhoyuk dan menjadi salah satu kota yang pertama kali memiliki gaya hidup bertani yang mengganti kebiasaan nomaden.
ADVERTISEMENT
Para arkeolog akhirnya berhasil menemukan situs tersebut pada pertengahan abad ke-20. Melalui penelitian panjang dari temuan ratusan kerangka manusia di sana, kota tersebut ternyata memiliki sejarah yang sangat kelam.
Dilansir jurnal PANS, pertumbuhan populasi yang terlalu cepat justru berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat saat itu. Kondisi tersebut membuat jumlah kekerasan dan penyebaran penyakit meningkat sangat pesat.
Sekitar tahun 6.500 SM, populasi kota Catalhoyuk mencapai puncaknya hingga 8 ribu manusia. Namun, populasi tersebut terus turun hingga kota Catalhoyuk akhirnya ditinggalkan hanya 500 tahun setelah populasi kota mencapai angka tertinggi.
Kota kuno Catalhoyuk di Turki. Foto: Drgulcu via Wikimedia Commons
Akhirnya, tim peneliti dari Ohio State University yang dipimpin oleh Clark Spencer Larsen melakukan riset untuk mengungkap kisah dibalik penurunan populasi tersebut. Ilmuwan mengambil sampel ratusan kerangka tubuh yang ditemukan di situs kota Catalhoyuk.
ADVERTISEMENT
Catalhoyuk adalah salah satu komunitas proto-urban (komunitas urban kuno) pertama di dunia dan penduduknya mengalami apa yang terjadi ketika banyak orang ditempatkan secara bersama di satu area kecil untuk waktu yang lama,” tutur Larsen kepada Newsweek.
Melalui usaha tersebut, Larsen dan tim menemukan bahwa saat populasi mencapai puncaknya, masyarakat di kota Catalhoyuk hidup sangat berdesakan. Mereka bahkan tinggal di perumahan mirip apartemen yang hanya dapat diakses melalui tangga.
Kotoran hewan juga ditemukan bersamaan dengan kerangka manusia. Ini mengindikasikan bahwa hewan dan manusia harus hidup berbarengan karena kurangnya lahan. Kondisi ini diyakini turut berperan dalam kondisi buruk lingkungan kota tersebut.
“Jadi, ada banyak masalah sanitasi yang mungkin berkontribusi pada penyebaran suatu penyakit menular kala itu,” ungkap Larsen.
Kerangka yang ditemukan di situs Catalhoyuk. Foto: Jason Quinlan/Çatalhöyük Research Project
Hewan peliharaan seperti domba dan kambing dapat menularkan parasit kepada manusia, Hal ini didukung oleh penemuan bahwa satu dari tiga orang penduduk kota Catalhoyuk diungkap ilmuwan hidup dengan infeksi penyakit di tulang mereka.
ADVERTISEMENT
Selain, kekerasan juga sangat jamak terjadi. Sekitar satu dari empat kerangka yang ditemukan oleh ilmuwan memiliki bekas luka patah tulang akibat benda tumpul.
Dari analisis luka mereka, kebanyakan mengalami pukulan ketika si korban sedang tidak melihat ke arah penyerangnya. Para peneliti meyakini bahwa peningkatan kejadian kekerasan terjadi bersamaan dengan perubahan dengan ukuran populasi.
Kesehatan pribadi masyarakat kota Catalhoyuk juga terbukti sangat buruk. Analisis menunjukkan bahwa antara 10 sampai 13 persen populasi menderita penyakit gigi dan mulut.
Ilustrasi tengkorak Foto: Thinkstock
Ilmuwan juga menemukan bahwa pada masa-masa akhir kota Catalhoyuk, penduduknya ditemukan semakin banyak berjalan kaki. Ini mengindikasikan bahwa orang-orang harus berjalan agak jauh untuk mencapai lahan pertanian.
Menurut para peneliti, ini menunjukkan adanya degradasi lingkungan di Catalhoyuk. Mereka menambahkan, kondisi tersebut, ditambah dengan iklim kering, menjadi salah satu faktor Catalhoyuk ditinggalkan penduduknya.
ADVERTISEMENT
Larsen meyakini bahwa dengan memahami apa yang terjadi di Catalhoyuk bisa membantu apa yang kita hadapi sekarang. Sekarang, karena populasi manusia semakin meningkat, banyak kota yang mengalami kepadatan parah.
“Kita bisa mempelajari asal usul kita, bagaimana kita mulai berorganisasi menjadi komunitas,” kata Larsen. “Banyak tantangan yang kita hadapi sekarang sama dengan apa yang para penghuni Catalhoyuk hadapi. Hanya saja, skala kita jauh lebih besar."
(EDR)