Studi: Letusan Dahsyat Gunung Toba di Sumut Bikin Iklim Afrika Berubah

22 Maret 2024 17:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Gunung Toba meletus. Foto: wikimedia.org
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gunung Toba meletus. Foto: wikimedia.org
ADVERTISEMENT
Studi baru mengungkapkan bahwa letusan Gunung Toba purba di Sumatera Utara telah berdampak pada iklim di Afrika, membuat orang-orang di sana terpaksa bermigrasi, keluar mencari tempat yang lebih layak huni.
ADVERTISEMENT
Diterbitkan di jurnal Natrue, sebuah analisis baru pada kaca vulkanik yang ditemukan di Ethiopia mengungkapkan bahwa 74.000 tahun lalu manusia di Afrika hidup dalam kekeringan, memaksa mereka beradaptasi dan bermigrasi untuk mencari sumber daya makanan, mengikuti sungai dan kubangan air musiman, di mana makanan tersedia lebih banyak.
“Ketika orang-orang menghabiskan makanan dan sumber air pada musim kemarau, mereka kemungkinan terpaksa harus pindah ke sumber air baru,” kata John Kappelman, antropolog dari University of Texas di Austin yang memimpin penelitian, dilansir Science Alert.
“Sungai musiman berfungsi sebagai pompa yang menyedot populasi melalui saluran dari satu lubang ke lubang air lainnya, sehingga berpotensi mendorong penyebaran ke luar Afrika.”
Salah satu pecahan kaca mikroskopis ditemukan dari situs tersebut. Foto: Racheal Johnsen/Nature
Nenek moyang kita diketahui berkali-kali bermigrasi keluar Afrika selama zaman prasejarah, dan tampaknya perubahan iklim menjadi alasan kuat kenapa mereka melakukannya. Namun, mengetahui kapan dan mengapa manusia secara massal keluar dari Afrika adalah sesuatu yang tidak mudah.
ADVERTISEMENT
Teori “green corridors” menyebut bahwa ketika sumber daya pangan bertambah dan melimpah, manusia pun ikut berkembang. Kappelman dan rekannya berusaha menyelidiki faktor utama yang membuat penduduk Afrika bermigrasi selama kurang dari 100.000 tahun lalu.
Penelitian mereka berfokus pada situs arkeologi Shinfa-Metema 1 di wilayah baru laut Ethiopia, menyelidiki bagaimana masyarakat di sana hidup. Di sana, tim menemukan peralatan batu, tulang hewan yang dikonsumsi masyarakat, sisa api untuk memasak dan pecahan kaca vulkanik dikenal sebagai cryptotephra yang cocok dengan sifat kimia letusan Gunung Toba.
Lokasi Shinfa-Metema 1. Foto: topographic map/Arizona State University
“Salah satu implikasi terobosan dari penelitian ini adalah, bahwa metode cryptotephra yang dikembangkan untuk penelitian kami sebelumnya di Afrika Selatan, dan sekarang diterapkan di Ethiopia, kami dapat menghubungkan situs-situs di seluruh Afrika dan mungkin di seluruh dunia dengan resolusi waktu beberapa minggu,” kata Curtis Marean, arkeolog dari Arizona State University.
ADVERTISEMENT
Cryptotephra berukuran lebih kecil dari helai rambut manusia, tapi dapat mengungkapkan banyak hal tentang sejarah manusia. Sebagai contoh, cryptotephra dapat membantu mengungkap sejauh mana jangkauan letusan gunung berapi. Penelitian sebelumnya pada cryptotephra menunjukkan abu letusan di wilayah lain di Afrika. Benda itu juga membantu para ilmuwan menentukan tanggal artefak arkeologi.
Di situs Shinfa-Metema 1, peneliti mengumpulkan berbagai jenis bukti. Tulang dan gigi menunjukkan jenis makanan yang dimakan penduduk yang hidup di Shinfa-Metema 1. Di sana juga ditemukan bekas potongan dari perburuan dan pemotongan hewan. Mereka berburu dan makan mamalia seperti monyet dan antelop, ketika sumber daya menjadi langka, mereka lebih bergantung pada ikan.
Beberapa mata panah ditemukan di Shinfa-Metema 1. Foto: Blue Nile Survey Project
Menariknya, beberapa artefak batu yang ditemukan di situs tersebut tampaknya telah digunakan sebagai mata panah. Para peneliti mengatakan ini adalah bukti panahan paling awal yang ditemukan hingga saat ini. Peneliti juga melakukan analisis isotop oksigen pada gigi mamalia dan pecahan kulit telur burung unta yang ditemukan di lokasi. Rasio yang diperoleh konsisten dengan periode kekeringan parah.
ADVERTISEMENT
Meski penduduk Shinfa-Metema 1 tidak termasuk di antara orang-orang yang bermigrasi, tapi mereka menunjukkan tingkat kemampuan adaptasi yang tinggi di masa-masa sulit, menunjukkan bahwa manusia dapat dengan mudah mengikuti berbagai perubahan di lingkungannya. Ketika keadaan menjadi sulit, mereka menemukan cara hidup baru, meski harus melakukan perjalanan jauh untuk menemukan daratan hijau berikutnya.
“Studi ini menegaskan hasil dari Pinnacle Point di Afrika Selatan. Letusan Toba mungkin telah mengubah lingkungan di Afrika, namun masyarakat beradaptasi dan bertahan,” kata Marean.