Studi: Manusia Sudah Tinggal di Papua Barat Sejak 55.000 Tahun Lalu

28 Agustus 2024 13:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stensil tangan yang usianya tidak diketahui dari Kepulauan Raja Ampat. Penelitian di pulau ini mengungkap sejarah awal manusia.  Foto:  Tristan Russell/The Conversation
zoom-in-whitePerbesar
Stensil tangan yang usianya tidak diketahui dari Kepulauan Raja Ampat. Penelitian di pulau ini mengungkap sejarah awal manusia. Foto: Tristan Russell/The Conversation
ADVERTISEMENT
Di masa lampau, manusia melakukan pelayaran dari Asia ke Kepulauan Pasifik. Mereka bermigrasi dan berkembang biak menyebarkan spesies kita–Homo sapiens– ke seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Para pelaut yang andal ini menjadi nenek moyang orang-orang yang tinggal di sejumlah wilayah di dunia, dari Papua Barat hingga Aotearoa Selandia Baru. Namun, bagi para arkeolog, waktu, lokasi, dan sifat pasti dari penyebaran manusia ini masih belum jelas.
Untuk pertama kalinya, studi baru memberikan bukti langsung bahwa pelaut melakukan perjalanan di sepanjang garis khatulistiwa untuk mencapai pulau-pulau di lepas pantai Papua Barat lebih dari 50 ribu tahun lalu.

Menggali di gerbang menuju Pasifik

Para ilmuwan dari Selandia Baru dan Indonesia melakukan serangkaian penelitian lapangan di Pulau Waigeo di kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Mereka memfokuskan penggalian di Gua Mololo, sebuah gua batu kapur raksasa yang dikelilingi hutan hujan tropis. Gua ini membentang hingga kedalaman seratus meter dan menjadi rumah bagi koloni kelelawar, biawak, dan ular.
Arkeolog Daud Tanudirjo dan Moses Dailom saat menggali di Gua Mololo. Foto: Tristan Russell/The Conversation
Hasil penggalian mengungkap beberapa lapisan hunian manusia terkait dengan artefak batu, tulang hewan, kerang, dan arang–semua sisa fisik yang dibuang oleh manusia purba yang tinggal di gua tersebut.
ADVERTISEMENT
Hasil penanggalan radiokarbon yang dilakukan University of Oxford dan Universitas Waikato menunjukkan bahwa manusia telah hidup di Mololo setidaknya 55.000 tahun lalu.

Mencari makanan di hutan

Temuan utama dari penggalian tersebut adalah artefak resin pohon yang dibuat pada saat manusia pertama kali menginjakkan kaki di Mololo. Ini adalah contoh paling awal penggunaan resin oleh orang di luar Afrika. Ini juga menunjukkan keterampilan rumit yang dikembangkan manusia untuk hidup di hutan hujan.
Analisis mikroskop elektron pemindai menunjukkan artefak tersebut diproduksi dalam beberapa tahap. Tahap pertama, kulit pohon penghasil resin (getah) dipotong dan resin dibiarkan menetes ke bawah batang pohon dan mengeras. Kemudian resin yang mengeras dibentuk.
Contoh modern resin pohon dari Kepulauan Raja Ampat yang digunakan untuk menyalakan api. Foto: Dylan Gaffney/The Conversation
Fungsi artefak ini belum diketahui, tapi mungkin digunakan sebagai sumber bahan bakar untuk api di dalam gua. Resin serupa dikumpulkan selama abad ke-20 di sekitar Papua Barat dan digunakan untuk api sebelum gas dan penerangan listrik ditemukan.
ADVERTISEMENT
Studi juga mengungkap, tulang-tulang hewan dari Mololo menunjukkan bahwa manusia memburu burung darat, marsupial, dan mungkin kelelawar raksasa. Meski Pulau Waigeo merupakan rumah bagi hewan-hewan kecil yang sulit ditangkap, manusia telah beradaptasi dengan memanfaatkan sumber daya hutan hujan yang tersedia di pulau tersebut. Ini adalah contoh penting dari adaptasi dan fleksibilitas manusia.

Jalur pelayaran menuju Pasifik

Peneliti mengatakan, penggalian Mololo membantu memastikan garis waktu yang tepat ketika manusia pindah ke Pasifik. Sebelumnya, garis waktu ini diperdebatkan di kalangan ilmuwan karena memiliki implikasi besar terhadap seberapa cepat spesies manusia menyebar dari Afrika ke Asia dan Oceania.
Ini juga berimplikasi terhadap apakah manusia menyebabkan megafauna Oceania seperti kanguru raksasa (Protemnodon) dan wombat raksasa (Diprotodontids) menuju jurang kepunahan, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan spesies hominin lain seperti hobbit (Homo floresiensis) yang hidup di Flores hingga sekitar 50.000 tahun lalu.
Artefak resin pohon yang ditemukan di Gua Mololo berasal dari 55.000 hingga 50.000 tahun lalu. Bagan ini menunjukkan bagaimana artefak tersebut dibuat dan digunakan. Foto: Dylan Gaffney/The Conversation
Arkeolog sendiri mengusulkan dua koridor rute pelayaran menuju Pasifik: rute selatan menuju Australia dan rute utara menuju Papua Barat.
ADVERTISEMENT
Di wilayah yang saat ini menjadi Australia utara, penggalian menunjukkan manusia mungkin telah menetap di benua kuno Sahul, yang menghubungkan Papua Barat dan Australia, sekitar 65.000 tahun lalu.
“Penelitian kami mendukung gagasan bahwa pelaut paling awal menyeberang melalui jalur utara menuju Papua Barat, dan kemudian pindah ke Australia,” tulis peneliti di The Conversation.

Papua Barat: Sebuah teka-teki arkeologi

Peneliti mengatakan, masih sedikit yang diketahui tentang kehidupan masa lampau manusia di Papua Barat. Penelitian saat ini masih sangat terbatas karena krisis politik dan sosial di wilayah tersebut.
“Yang terpenting, penelitian kami menunjukkan bahwa penduduk Papua Barat awal sudah canggih, sangat mobile, dan mampu merancang solusi kreatif untuk hidup di pulau-pulau tropis kecil,” papar peneliti.
Dua kemungkinan jalur pelayaran dari Asia ke kawasan Pasifik: rute utara sepanjang khatulistiwa ke Raja Ampat dan rute selatan melalui Timor ke Australia. Foto: Dylan Gaffney/The Conversation
“Penggalian yang sedang berlangsung dalam proyek kami bertujuan untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang bagaimana orang beradaptasi dengan perubahan iklim dan lingkungan di wilayah tersebut.”
ADVERTISEMENT
Sementara berdasarkan jejak arkeologi lain yang ditemukan di Papua Nugini menunjukkan, setelah manusia tiba di wilayah Pasifik, mereka terus menjelajah hingga ke Dataran Tinggi Nugini, Kepulauan Bismarck, dan Kepulauan Solomon sekitar 30.000 tahun lalu.
Baru sekitar 3.000 tahun lalu para pelaut bermigrasi ke luar Kepulauan Solomon untuk menetap di pulau-pulau kecil seperti Vanuatu, Fiji, Samoa, dan Tonga. Keturunan mereka kemudian berlayar hingga Hawaii, Rapa Nui, dan Aotearoa.
“Memetakan arkeologi Papua Barat sangat penting karena membantu kita memahami dari mana nenek moyang masyarakat Pasifik berasal dan bagaimana mereka beradaptasi untuk hidup di lautan kepulauan yang baru dan asing ini,” papar peneliti.