Studi: Orang Suka Marah-marah Cenderung Terobsesi Teori Konspirasi

1 Juli 2023 16:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penumpang pesawat marah Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Penumpang pesawat marah Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah studi baru-baru ini menemukan korelasi antara sikap gampang marah, terhadap teori konspirasi. Hasilnya menunjukkan bahwa, seseorang yang suka marah-marah cenderung terobsesi teori konspirasi.
ADVERTISEMENT
Tim peneliti mengungkap, obsesi mereka terhadap teori konspirasi lebih besar ketimbang kelompok orang-orang yang memiliki ciri kepribadian narsisme.
Penelitian yang dipimpin oleh Kinga Szymaniak, rekan penelitian di University of New South Wales memiliki latar belakang bahwa saat ini, belum banyak penelitian yang mengungkap hubungan teori konspirasi dengan emosional seseorang.
“Tori konspirasi telah ada sejak lama, masih belum banyak yang diketahui tentang bagaimana mereka berkaitan dengan emosi tertentu (misalnya kemarahan, ketakutan, kesedihan)," kata Szymaniak kepada PsyPost, dilansir IFL Science.
“Dalam penyelidikan ini, kami memutuskan untuk fokus pada hubungan antara keyakinan konspirasi dan kemarahan, karena tampaknya muncul sebagai respons terhadap faktor serupa dan penelitian sebelumnya telah menunjukkan potensi hubungan antara keduanya.”
Tak tanggung-tanggung, mereka melakukan banyak studi sekaligus. Mereka menyelidiki hubungan antara sifat kemarahan, karakteristik disposisi yang terdiri dari perasaan marah yang sering datang, dan kepercayaan pada teori konspirasi umum dan teori seputar pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Peneliti melakukan analisis terhadap 363 responden asal Polandia. Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, sebanyak 298 orang. Mereka ditanyai soal sikap mereka terhadap teori konspirasi COVID-19.
Penelitian dilakukan secara online menggunakan kuesioner laporan diri yang terdiri dari tujuh poin untuk menilai sifat marah.
Studi pertama menunjukkan dukungan terhadap hipotesis utama yakni sifat amarah tampaknya berhubungan positif dengan percaya atau tidaknya orang tentang teori konspirasi COVID-19. Mayoritas peserta setuju dengan pernyataan seperti:
"Saya cepat marah tetapi segera mengatasinya.” Mereka sekaligus percaya bahwa “pandemi COVID-19 adalah konspirasi global.”
Jarum suntik disiapkan dengan vaksin COVID-19 di Reading Area Community College di Reading, Pennsylvania, AS. Foto: Matt Rourke/AP Photo
Untuk menghindari adanya indikasi ‘berat sebelah’ soal gender, peneliti lanjut pada studi kedua. Di sana mereka mengambil penilaian dari sampel yang lebih luas yakni 422 peserta.
ADVERTISEMENT
Mereka memperluas kuesioner menjadi 13 poin yang intinya juga menilai terkait keyakinan konspirasi COVID-19. Hasil studi kedua konsisten dengan studi pertama dan mendukung hipotesis utama.
Studi ketiga memperluas jangkauan dalam memandang teori konspirasi lain secara umum.
Seperti dalam studi satu dan dua, studi ketiga menyimpulkan bahwa sifat marah berhubungan positif dengan keyakinan teori konspirasi secara generik. Teori konspirasi ini mengacu pada gagasan non-spesifik tentang kegiatan konspirasi yang tidak terkait dengan konteks sejarah tertentu.
Contohnya, anggapan bahwa pemerintah menggunakan orang sebagai ‘kambing hitam’ dalam menyembunyikan keterlibatannya dalam kegiatan kriminal.
“Kesimpulan utama yang dapat diambil rata-rata orang dari penyelidikan kami adalah bahwa orang yang lebih rentan mengalami kemarahan juga lebih cenderung percaya pada teori konspirasi, apa pun isinya,” kata Szymaniak.
ADVERTISEMENT