Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Tantangan Besar Konservasi Air: Kampanye dan Kebijakan Inovatif
26 Desember 2018 21:18 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
ADVERTISEMENT
Meski merupakan bencana yang menahun terjadi di Indonesia, ada kesan bahwa masalah kekeringan tampak belum menjadi salah satu kekhawatiran terbesar bagi masyarakat Indonesia. Terlebih bagi masyarakat perkotaan yang memiliki akses air bersih yang baik, dan tidak pernah benar-benar merasakan masalah krisis air yang begitu parah.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Glaudy Perdanahardja dari The Nature Conservancy (TNC) Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang memfokuskan diri pada kampanye konservasi alam yang berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara, kondisinya sebenarnya sudah jauh lebih baik saat ini. Setidaknya, sudah ada kesadaran di kalangan masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya mulai melakukan konservasi air, salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah kekeringan dan krisis air di Indonesia.
“Kalau air tuh sekarang kayaknya juga orang sudah berpikir untuk melakukan itu ya,” kata Glaudy, saat ditemui di sela-sela kegiatan ADES Conservacation di Desa Bea Muring, Nusa Tenggara Timur. “(Apalagi) sebenarnya di beberapa daerah ketika musim kemarau yang sudah lewat satu bulan pasti banyak masyarakat kemudian beli air.”
ADVERTISEMENT
“Lebih banyak yang pada akhirnya sadar dan mulai memikirkan lingkungan. Dari yang kemarin-kemarin, hanya sedikit orang saja yang memikirkan lingkungan tapi terus sekarang jadi mulai banyak, berkembang, orang jadi tahu.”
Glaudy mencontohkan, salah satu tren yang menarik di kalangan masyarakat saat ini adalah tren mulai menjauhi sedotan plastik. Kampanye anti sedotan plastik mulai dilakukan di media sosial dalam dua tahun terakhir setelah sebuah video bagaimana seekor penyu terluka di bagian lubang pernapasannya karena tersumbat sampah sedotan plastik yang mengapung di laut viral di dunia maya. Video tersebut kemudian juga memunculkan kampanye untuk mulai mengurangi sampah plastik, yang memang jumlahnya sudah mengkhawatirkan saat ini.
Glaudy meyakini, media sosial bisa menjadi salah satu alat yang penting dalam mengampanyekan konservasi alam, terutama air. Pasalnya dari kampanye yang masif dilakukan, akan muncul kesadaran dan kemudian dorongan untuk membuat perubahan.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya kalau ngomong soal itu, ada tahapannya sih. Ketika dari mulai dia tahu dulu, karena tahu kemudian ada dorongan kemudian mau berbuat,” ujar Glaudy.
“Tapi memang harus dilakukan secara continue juga. Orang sekarang kan lebih senang sama yang atraktif dan inovatif, jadi kalau memang ada campaign di media massa, dan (harus) bisa membuat suatu hal yang menarik banyak perhatian gitu.”
Glaudy menunjuk, para influencer media sosial seperti di Twitter, Instagram, hingga YouTube, juga memiliki peran yang besar dalam menjalankan kampanye-kampanye positif seperti konservasi air. Dengan kehadiran mereka, akan semakin banyak orang yang mengetahui tentang pentingnya konservasi air, dan mulai peduli untuk melakukannya.
Sebab, penurut Glaudy, terkadang pengabaian isu-isu penting seperti konservasi air seringkali bukanlah dikarenakan ketidakpedulian, tetapi ketidaktahuan.
ADVERTISEMENT
“Sekarang kan banyak selebgram atau semacamnya yang kemudian banyak diikuti, kalau dia juga berbicara soal isu-isu lingkungan pasti followers-nya berpikir, 'Iya juga ya, iya juga ya',” tutur pria yang menjabat sebagai Protecting Places Senior Manager ini
“Kadang orang berbuat sesuatu karena dia enggak tau, bukan karena dia enggak peduli.”
Salah satu contoh usaha yang dilakukan untuk mengampanyekan pentingnya konservasi air ini adalah kegiatan Conservacation yang digelar oleh ADES, salah satu merek air mineral kemasan ternama di Indonesia. Dalam kegiatan yang digelar di dua provinsi berbeda tersebut, Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur, ADES mengajak 20 pemuda yang disebut sebagai Sobat Air ADES untuk ikut belajar dan terlibat langsung dalam kegiatan konservasi air di dua daerah tersebut.
Harapannya, dengan mengajak para Sobat Air ADES mengikuti langsung kegiatan konservasi air di daerah yang memang memiliki atau pernah memiliki masalah dengan air, dapat menularkan pengetahuan dan ketertarikan mereka terhadap usaha konservasi air kepada teman-temannya yang lain. Imbasnya, gerakan konservasi pun akan menular ke lebih banyak orang.
ADVERTISEMENT
Namun kesadaran masyarakat saja tidak cukup. Yang perlu diperhatikan lagi adalah bagaimana sikap pemerintah untuk menyelesaikan masalah kekeringan di Indonesia, dan mendorong dilakukannya konservasi air yang masif di Tanah Air.
Apalagi, menurut Organisasi Pangan Dunia, FAO, sejatinya hanya 11% dari keseluruhan konsumsi air dunia yang digunakan oleh manusia untuk kehidupan sehari-hari. 70% lainnya digunakan untuk sektor agrikultur, sementara 19% sisanya digunakan untuk kepentingan industri.
Menurut Glaudy, perubahan sikap masyarakat juga harus diiringi dengan perubahan kebijakan dari pemerintah, untuk memperketat praktik penggunaan air di semua sektor.
“Sebenarnya memang harus beriring, jadi penyadaran juga harus dilakukan, ngebenerin practice-practice yang dilakukan sama masyarakat itu juga penting, tapi juga kebijakannya juga harus ada,” kata Glaudy.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya sekarang juga mulai diperketat, maksudnya kalau yang saya paham seperti Jakarta dan beberapa kota besar yang lainnya, penggunaan sumur bor sudah harus ada izinnya. Yang sudah (dibangun) ya sudahlah, (tapi yang penting) ini sudah mulai ada izinnya.”
“Terus kemudian, kayak hutan kota mulai dikembangkan. Surabaya beberapa tahun belakangan mulai gencar menanam pohon, sebenarnya bukan saja untuk penghijauan kotanya, (tapi juga) sebenarnya berusaha untuk memulihkan fungsi air itu.”
“Sekarang kan bisa dibilang, masanya orang memikirkan air, jumlah penduduk Indonesia juga tambah banyak, sudah ada prediksinya 10 tahun ke depan akan naik berapa persen.”
Glaudy menyebut, praktik penggunaan air tanah adalah salah satu hal yang perlu mendapatkan sorotan oleh pemerintah. Apalagi jika air tanah digunakan untuk industri, yang membutuhkan air dalam jumlah yang lebih besar ketimbang perumahan.
ADVERTISEMENT
Air tanah, semestinya, berfungsi sebagai tabungan bagi manusia, dan hanya perlu diambil secukupnya saja dan jika memang tidak ada pilihan lain seperti air dari perusahaan air seperti PDAM. Jika disedot terus-menerus, dan tidak ada rencana atau usaha untuk mengembalikan air ke dalam tanah, air tanah bisa habis, padahal perannya sangat krusial bagi kehidupan manusia.
“Sekarang kalau misalkan daerah Bandung, Jakarta, atau Bali yang jumlah manusianya banyak dan tingkat huniannya tinggi, ada apartemen di sana dan di sini, itu kan masih banyak yang menggunakan groundwater (air tanah) dibanding air yang sudah diolah misalkan oleh PAM, dan itu sebenarnya juga akan mengganggu. Sebenarnya akan lebih sulit melakukan konservasi air bawah tanah ketimbang air permukaan,” terang Glaudy.
ADVERTISEMENT
“Kemudian ada beberapa industri yang masih menggunakan air tanah, itu kan harus dihentikan juga. Tapi memang tidak semudah itu sih, karena policy atau kebijakan yang dibuat harus bisa meringankan industri lewat policy-policy yang inovatif.”
“Jadi kalau kita mau bicara soal gimana caranya konservasi air, kan sekarang di beberapa kota sudah mulai ada penurunan muka air tanah, dan itu (karena) penggunaan muka air yang besar-besaran, yang sebenarnya dari kita semua, mulai dari industri, (hingga) masyarakat.”
Konservasi air pun sebenarnya bisa mulai dilakukan dari hal-hal kecil di kehidupan rumah tangga. Glaudy mencontohkan, misalnya, untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan, bisa mulai dengan menggunakan alat-alat rumah tangga yang lebih hemat air.
“Mulai dengan misalkan mengganti bak dengan pancuran, dengan shower. Lalu menggunakan lahan di belakang rumah untuk menanam. Karena kalau dulu kan, di Jawa terutama, ketika satu anak lahir, kemudian ada kewajiban untuk orang tuanya menanam pohon,” ujarnya.
Sementara untuk masyarakat desa, yang perlu sekali diperhatikan adalah melestarikan wilayah-wilayah hutan terutama di sekitar sumber mata air. Karena ada banyak kasus di mana hutan di sekitar mata air justru dibuka untuk ladang atau untuk kepentingan lain.
ADVERTISEMENT
“Ladang pun sebenarnya enggak apa-apa, tapi (dengan) tanaman-tanaman yang bisa memungkinkan air terserap tanah. Sebenarnya, syarat daerah tangkap air itu harus punya 70% tutupan (hutan atau tanaman yang baik), dan itu semuanya tanaman-tanaman yang memudahkan air meresap ke dalam tanah,” kata Glaudy.
“Sekarang gimana masyarakat agar bisa didorong (untuk mulai memikirkan konservasi tanah dan air), ya harus memadukan juga sama tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan dan punya nilai yang tinggi seperti buah-buahan. Jadi kita bisa tetap konservasi air, tetapi juga bisa mendapatkan manfaat dari alam.”
Artikel ini merupakan hasil kerja sama kumparan dengan ADES. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang ADES Conservacation, klik di sini .