Tonic Immobility, Alasan Korban Kekerasan Seksual Tak Berdaya Melawan

2 Januari 2020 7:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bagian-Bagian Kampus Telkom University di Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bagian-Bagian Kampus Telkom University di Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang mahasiswi Telkom University diduga mengalami pelecehan seksual yang dilakukan kakak tingkatnya di jurusan yang sama. Kejadian bermula saat korban masih berstatus mahasiswi baru sekitar November 2018.
ADVERTISEMENT
Bahrul Bangsawan dari United Voice yang mendampingi korban menuturkan, saat peristiwa pelecehan seksual terjadi, korban mengalami kondisi yang dinamakan tonic immobility atau reaksi biologis. Kondisi tersebut menyebabkan kelumpuhan sementara atas apa pun yang diterima oleh tubuhnya.
Dilansir Scientific American, penyintas kekerasan seksual yang memutuskan bersuara, kerap dibombardir dengan pertanyaan bernada sangsi semisal “Apakah kamu melawan?”, “Apakah kamu berteriak?”. Respons semacam itu tak hanya menyakitkan bagi korban, tak jarang mereka malah diliputi rasa bersalah dan malu.
Kepercayaan orang awam bahwa melawan dianggap sebagai refleks alami terhadap kekerasan seksual, sering kali menyudutkan korban yang tak berdaya melawan pelaku. Padahal, sejak lama para ilmuwan menyebut kondisi syok yang dialami korban sangat mungkin membuatnya sulit melawan balik.
Ilustrasi pemerkosaan Foto: Shutterstock
Pandangan ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang terbit di Acta Obstetrecia et Gynecologia Scandinavica. Temuan studi mengungkap dari hampir 300 wanita yang mengunjungi klinik untuk korban pemerkosaan, 70 persen di antaranya mengalami tonic immobility.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar responden menjawab bahwa saat kejadian, mereka tidak bisa melawan, bahkan mereka juga tidak mampu berteriak minta tolong. Peneliti juga menemukan, banyak dari para korban yang diserang kelumpuhan dalam tingkat ekstrem.
Tak berhenti sampai di situ, mereka yang mengalami kelumpuhan sementara saat berhadapan dengan pelaku juga terindikasi dua kali lipat berisiko menderita post-traumatic stress disorder (PTSD), serta tiga kali lebih mungkin mengidap depresi berat pada bulan-bulan setelah serangan seksual.
Tonic immobility menggambarkan keadaan kelumpuhan yang tidak disengaja dan di luar kendali, di mana seseorang tidak dapat bergerak atau dalam banyak kasus, juga tidak dapat berbicara.
Tim peneliti menekankan, respons semacam ini sebagai hal yang lumrah dan juga terjadi pada hewan.
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Pixabay
“Pada hewan, reaksi ini dianggap sebagai pertahanan adaptif evolusioner terhadap serangan predator ketika bentuk pertahanan lainnya tidak memungkinkan,” tulis hasil penelitian tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal itu didukung oleh hasil temuan studi lainnya yang diterbitkan Harvard Review of Psychiatry tentang mekanisme pertahanan otak pada manusia dan hewan.
“Saya tidak terkejut bahwa tonic immobility umum terjadi,” ujar salah satu peneliti, Kasia Kozlowska, yang juga psikiater dari Universitas Sydney.
“Bagaimanapun juga, tonic immobility dirancang untuk diaktifkan ketika ada kontak dengan predator (mirip dengan situasi pelecehan seksual). Secara teoritis, orang bisa berharap itu akan aktif ketika ada kontak fisik, gairah tinggi dan ketakutan, dan tidak ada kemungkinan melarikan diri,” lanjutnya.
Dari temuan beberapa penelitian yang ada, dapat disimpulkan bahwa kelumpuhan sementara yang mendera korban kekerasan seksual merupakan respons bawaan tubuh, tanpa disengaja, dan berada di luar kendali.
Sekaligus sebagai bantahan bagi pendapat umum yang menganggap semua korban penyerangan seksual harusnya otomatis bereaksi melawan secara fisik, atau setidaknya mampu menolak dengan kata-kata. Pandangan tersebut terlampau menggeneralisasi, serta tanpa empati.
ADVERTISEMENT