Wanita Pasien COVID-19 Alami Penyakit Otak Langka

6 April 2020 14:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Virus Corona. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Virus Corona. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang wanita yang dites positif COVID-19 mengalami penyakit otak langka yang dikenal sebagai ensefalopati nekrotikans akut, suatu kondisi yang dapat dipicu oleh infeksi virus seperti influenza dan herpes.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan yang diterbitkan pada 31 Maret dalam jurnal Radiology, kerusakan otak wanita tersebut memang belum bisa dinyatakan sebagai akibat langsung infeksi virus corona, namun diduga ada kaitan yang mesti ditelaah lebih lanjut dalam kasus ini.
Oleh karena itu, berdasarkan penulis laporan tersebut, ketika virus SARS-CoV-2 terus menyebar ke seluruh penjuru Bumi, dokter dan ahli radiologi pun harus mengawasi presentasi antara pasien COVID-19 dan pasien yang mengalami perubahan mental.
"Kita perlu memikirkan bagaimana kita akan menggabungkan pasien dengan penyakit neurologis yang parah ke dalam paradigma pengobatan kita," imbau Elissa Fory, ahli saraf di Henry Ford, yang merupakan bagian tim ahli medis yang terlibat dalam diagnosis di atas. "Karena komplikasi dua penyakit ini sama menghancurkannya dengan penyakit paru-paru yang parah."
Scan MRI dari seorang wanita yang dites positif COVID-19 mengungkapkan bukti kerusakan jaringan. Foto: Radiological Society of North America
Wanita yang dimaksud dalam laporan adalah seorang pekerja maskapai penerbangan. Dia memeriksakan diri ke Henry Ford Health System di Detroit, setelah mengalami demam, batuk, dan perubahan mental, selama tiga hari. Di rumah sakit, wanita berusia 58 tahun ini tampak linglung dan lesu.
ADVERTISEMENT
Hasil tesnya negatif untuk influenza, herpes, virus varicella zoster yang menyebabkan cacar air, dan virus West Nile. Sementara cairan serebrospinalnya yang memenuhi otak dan sumsum tulang belakang tidak mengandung jejak infeksi bakteri.
Dengan memperhatikan gejalanya, para dokter menguji wanita tersebut untuk COVID-19 menggunakan tes diagnostik yang disediakan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS, dan ia dinyatakan positif mengidap virus corona SARS-CoV-2.
Kemudian hasil CT scan otak wanita itu menunjukkan adanya kerusakan jaringan simetris di thalamus, yakni sebuah struktur yang terkubur di pusat otak, yang membantu menyampaikan informasi sensorik dari tubuh ke seluruh organ. Daerah-daerah yang rusak ini tampak lebih gelap pada hasil CT scan.
CT scan otak wanita itu mengungkapkan kerusakan jaringan simetris di wilayah otak yang disebut thalamus. Foto: Radiological Society of North America
Menurut penjelasan radiologis dari Rumah Sakit St. Vincent University, daerah otak dapat menjadi kurang padat karena edema, ketika kelebihan cairan membanjiri jaringan setelah cedera. Bisa juga karena nekrosis, ketika sel-sel penyusun jaringan mengalami kematian dalam jumlah besar.
ADVERTISEMENT
Demi menelaah lebih detail, para dokter lalu mengumpulkan hasil scan tambahan pada otak wanita itu dengan menggunakan MRI (magnetic resonance imaging), dan memeriksanya untuk menemukan bukti bahwa dia telah menderita pendarahan atau mengalami pecahnya pembuluh darah. Lagi-lagi, dokter menemukan kerusakan di thalamus, serta di bagian-bagian korteks serebral yang keriput, dan di daerah otak yang terletak tepat berada di bawah lipatan.
Dokter mendiagnosis wanita itu dengan ensefalopati nekrotikans akut yang, menurut The National Institutes of Health's Genetic and Rare Disease Information Center (GARD), jika tidak segera ditangani dapat berkembang menjadi koma, masalah hati, dan defisit neurologis.
"Sebetulnya tim dokter telah mencurigai ensefalitis pada awalnya, tetapi kemudian hasil CT scan dan MRI secara berulang telah membuat kepastian diagnosis," lanjut Fory.
ADVERTISEMENT
Dilaporkan GARD, kondisi langka semacam itu biasanya berkembang setelah infeksi virus, seperti yang disebabkan oleh influenza A, influenza B, dan virus herpes 6. Infeksi ini dapat memicu apa yang disebut badai sitokin pada otak, ketika zat peradangan yang biasanya membantu tubuh melawan penyakit mengalami malfungsi dan berbalik merusak jaringan yang terinfeksi.
Badai sitokin sanggup menghancurkan jaringan yang mengelilingi pembuluh darah di otak, yang dikenal sebagai penghalang darah-otak, dan dengan demikian dapat menyebabkan pendarahan.
Meskipun para dokter tidak dapat secara langsung menunjukkan virus corona telah memicu penyakit pada otak wanita tersebut, sebuah laporan terbaru dalam jurnal Lancet menunjukkan bahwa sekelompok pasien yang terinfeksi SARS-COV-2 tampaknya memang rentan terhadap badai sitokin.
ADVERTISEMENT
Selain itu, laporan kasus yang diterbitkan dalam Cureus Journal of Medical Science, menyatakan seorang pasien berusia 74 tahun yang mengidap COVID-19 juga mengalami gejala ensefalopati.
Pasien usia lanjut dengan kondisi kronis memang cenderung mengalami peningkatan risiko perubahan status mental saat menderita infeksi akut. Oleh karena itu, status mental yang berubah mungkin dapat berfungsi sebagai gejala awal COVID-19 pada beberapa orang.
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!