Waspada 'Cave Syndrome' Akibat Pandemi Covid, Apa Itu?

4 Agustus 2021 11:36 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi warga isolasi mandiri di rumah. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi warga isolasi mandiri di rumah. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 masih jauh dari kata selesai. Namun, beberapa laporan dan survei yang berbeda telah menunjukkan kemungkinan besar masyarakat akan terkena cave syndrome atau sindrom gua, jika pandemi berakhir.
ADVERTISEMENT
Apa yang dimaksud dengan cave syndrome? Sejumlah ahli menyebutkan, seperti dikutip IFLScience, sindrom ini merupakan istilah non-medis yang digunakan untuk menggambarkan ketakutan untuk keluar setelah lebih dari satu tahun hidup dalam jarak sosial.
Berdasarkan studi di jurnal American Psychological Association yang terbit Maret 2021, 49 persen orang yang disurvei melaporkan merasa tidak nyaman untuk menyesuaikan diri dengan interaksi langsung setelah pandemi berakhir. Sedangkan 46 persen responden mengatakan tidak merasa nyaman untuk kembali menjalani kehidupan seperti sebelum pandemi menyerang.
Makalah yang ditulis Profesor Steven Taylor, psikiater di Universitas British Columbia Kanada, itu juga memprediksi kemungkinan munculnya kecemasan setelah COVID-19. Dia berspekulasi bahwa pandemi akan memunculkan 'hikikomori'.
Hikikomori (berasal dari kata Jepang, terdiri dari hiki "menjauh" dan komori "berada di dalam") merupakan fenomena seperti agorafobia di mana orang hampir tidak meninggalkan rumah mereka dan mempraktikkan isolasi sosial yang ekstrem.
ADVERTISEMENT
“COVID-19 kemungkinan akan meningkatkan prevalensi hikikomori, karena orang-orang yang khawatir akan kesehatan mundur dari dunia luar yang terkontaminasi virus corona ke dalam keamanan apartemen atau rumah mereka,” tulis Profesor Taylor.
Ia menjelaskan, kemajuan teknologi juga berperan membuat masyarakat semakin menarik diri dari interaksi sosial. Misal, orang-orang yang memilih menonton film di rumah daripada pergi ke bioskop, berbelanja online daripada pergi ke toko, atau menggunakan layanan pesan antar makanan daripada pergi ke restoran.
Ilustrasi belanja online. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Profesor Taylor juga menambahkan kemungkinan angka penderita PTSD (Post-traumatic stress disorder) atau gangguan kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa yang sangat menegangkan, menakutkan, ata menyedihkan dapat meningkat seperti saat wabah SARS menyerang pada 2002-2004. Lewat penelitian 4 tahun yang dilakukannya, ditemukan dari 70 persen orang yang selamat dari wabah SARS, 44 persen dari mereka mengalami gejala PTSD.
ADVERTISEMENT
Dengan banyak orang yang sakit atau kehilangan orang yang dicintai karena COVID-19, gejala yang sama mungkin bisa timbul.
Sejumlah penelitian juga menunjukkan kesehatan mental masyarakat yang menurun selama tahun pertama pandemi COVID-19. Tak hanya khawatir dengan virusnya sendiri, timbul juga kekhawatiran pada pekerjaan, melebarnya kesenjangan sosial ekonomi, dan penurunan akses ke fasilitas kesehatan, yang semuanya berdampak pada kesehatan mental masyarakat.
Jika pandemi COVID-19 membuat kamu merasa cemas, lelah, atau takut, kamu dapat mencoba beberapa hal sederhana untuk membantu mengatasi dengan pola hidup sehat: Konsumsi makanan bergizi, berolahraga secara teratur, dan istirahat yang cukup.