Waspada! Riset Baru Sebut Tato Bisa Tingkatkan Risiko Kanker Langka

11 Juni 2024 15:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menghapus tato peserta saat program hapus tato di Masjid Al Latiif, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (9/4/2022). Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menghapus tato peserta saat program hapus tato di Masjid Al Latiif, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (9/4/2022). Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
ADVERTISEMENT
Sebuah riset baru menemukan dampak buruk dari tato bagi kesehatan tubuh, yakni bisa meningkatkan risiko terkena penyakit kanker.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, tato bisa menjadi sarana utama untuk mengekspresikan diri, atau untuk merayakan sebuah pencapaian dalam hidup. Namun, kita hanya tahu sedikit tentang dampak kesehatan jangka panjang dari tato.
Bahan kimia berbahaya dalam tinta tato telah mendapat perhatian di Eropa selama 10 tahun terakhir. Dalam waktu bersamaan, penelitian menunjukkan bahwa tinta yang disuntikkan ke kulit tidak hanya bertahan di sana. Artinya, tinta tato tidak hanya memengaruhi kulit, tapi bagian tubuh lain.
Tubuh menganggap tinta tato sebagai benda asing yang perlu “dihilangkan” sama seperti virus, dan tato menyebabkan respons imun yang membuat sebagian besar partikel tinta berakhir di kelenjar getah bening. Namun, bagian terakhir dari teka-teki ini masih belum dipahami dengan baik: Bagaimana tinta tato yang disimpan dalam sistem limfatik memengaruhi kesehatan manusia?
ADVERTISEMENT
Para peneliti dari Lund University, Swedia, mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui peluang tato dapat meningkatkan risiko limfoma ganas, suatu bentuk kanker langka yang memengaruhi sel darah putih (limfosit).
Swedia menjadi negara paling banyak orang yang ditato, dengan satu dari lima orang di sana memiliki tato di tubuhnya. Negara ini juga memiliki tradisi menyimpan daftar dan riwayat penyakit penduduknya, misalnya, Daftar Kanker Nasional menyimpan semua orang yang didiagnosis kanker di Swedia.
Seniman tato di Brasil yang memodifikasi tubuhnya. Foto: Pablo Morano/REUTERS
Studi yang dipimpin oleh Christel Nielsen, seorang profesor kedokteran dari Lund University, meneliti semua orang di Swedia yang telah didiagnosis menderita limfoma pada usia 20 hingga 60 tahun antara 2007 sampai 2017. Sebagai pembanding, untuk setiap orang dengan limfoma, mereka mengidentifikasi tiga orang secara acak dengan jenis kelamin dan usia yang sama tetapi tanpa limfoma.
ADVERTISEMENT
Para peserta diminta untuk menjawab kuesioner tentang faktor gaya hidup, dan mereka yang bertato ditanya seberapa besar ukuran tato di tubuh, usia pertama kali ditato, dan warna tato. Penelitian ini melibatkan sekitar 5.591 orang.
Hasil studi menemukan bahwa orang bertato memiliki risiko 21 persen lebih tinggi terkena limfoma ketimbang orang yang tak bertato. Berdasarkan Dewan Kesehatan dan Kesejahteraan Nasional Swedia, 22 dari 100.000 orang dalam kelompok usia 20 hingga 60 tahun didiagnosis menderita limfoma di Swedia pada 2022.
“Ukuran tato sepertinya tidak menjadi masalah, yang penting adalah waktu atau seberapa lama peserta sudah ditato. Risikonya lebih tinggi pada tato baru dan tato lama,” papar Christel Nielsen dalam studinya yang terbit di jurnal eClinicalMedicine.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa bagi mereka yang ditato, penting untuk menyadari bahwa tato memiliki dampak buruk bagi kesehatan, dan mereka harus mencari perawatan medis jika mengalami gejala yang mungkin ada hubungannya dengan tato.
Namun bagaimanapun, tren tato tampaknya akan tetap ada, dan menjadi tugas masyarakat untuk memastikan bahwa mentato dapat dilakukan seaman mungkin.
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menggali lebih dalam implikasi kesehatan dari tato. Saat ini, Nielsen dan timnya sedang menyelesaikan studi tentang dua jenis kanker kulit dan akan memulai penelitian baru untuk mengetahui apakah ada peningkatan risiko kondisi yang berhubungan dengan sistem kekebalan, seperti penyakit tiroid dan sarkoidosis.