24 Bukan Matematika untuk Serena

12 September 2019 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Serena Williams di AS Terbuka 2019. Foto: Robert Deutsch-USA TODAY Sports
zoom-in-whitePerbesar
Serena Williams di AS Terbuka 2019. Foto: Robert Deutsch-USA TODAY Sports
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian besar orang, 24 sesederhana 23 ditambah 1. Bagi Serena Williams, 24 adalah jatuh-bangun melawan ketidakmungkinan.
ADVERTISEMENT
Dua puluh empat adalah angka spesial di jagat tenis. Itu adalah jumlah gelar juara Grand Slam di nomor tunggal putri yang direngkuh Margaret Court. Hingga kini belum ada satu petenis pun yang sanggup menyamainya baik di nomor tunggal putri maupun putra.
Yang paling mendekati torehan itu adalah Serena. Ia sudah mengumpulkan 23 trofi juara Grand Slam di nomor yang sama. Terakhir kali mahkota juara itu dipasangkan di kepalanya pada Australia Terbuka 2017.
Serena Williams di Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Hannah McKay/Pool
Serena terbiasa melawan hukum biologi dan sosial. Saat orang-orang berkata kekuatan otot dan kemampuan metabolisme bakal menurun bila sudah melewati 30 tahun, Serena delapan kali duduk di takhta juara Grand Slam nomor tunggal putri.
Hanya membutuhkan waktu tak lebih dari dua menit untuk mencari apa saja yang dijuarainya sejak Prancis Terbuka 2013. Bahkan ketika flu berat, Serena masih bisa mengalahkan lawannya, Lucie Safarova, di final Prancis Terbuka 2015.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat boleh berkoar-koar sebagai negara liberal dan ibu kandung kemerdekaan. Namun, tidak semua orang merdeka. Jika masih hidup, Joe Louis dan Mohammad Ali menjadi salah dua orang paling tepat buat ditanyai.
Serena menghadapi persoalan serupa terlebih karena tenis merupakan olahraga yang begitu tunduk pada norma. Kepangan rambut dan kostum warna-warni Serena dianggap terlalu meriah untuk tenis. Posturnya dinilai terlalu kekar untuk bertanding di nomor tunggal putri. Pukulannya yang berapi-api dianggap terlalu berbahaya bagi elegansi tenis.
Final, baby, final! Foto: REUTERS/Geoff Burke-USA TODAY Sports
Daftar ‘terlalu’ untuk Serena panjang. Ada banyak terlalu yang membuat Serena dianggap berbeda, dijadikan sasaran olok-olok bahkan oleh sejumlah media ternama.
Dipuja dan diterima bukan urusan Serena. Ia tetap turun arena, memaksa media menulis segala pencapaian yang direngkuhnya di atas lapangan tenis. Ya, bagaimana tidak ditulis kalau ia menjuarai Grand Slam?
ADVERTISEMENT
Serena melanjutkan perburuannya usai cuti pasca-melahirkan. Gelar juara Grand Slam ke-24, itulah jawaban untuk setiap what’s next yang ditujukan dunia padanya. Target inilah yang pada akhirnya mempertemukan Serena dengan lawan yang baru. Dan yang menjadi lawan Serena adalah tenis itu sendiri.
Entah bagaimana awalnya, yang jelas iklim nomor tunggal putri berbeda dengan tunggal putra. Ada banyak juara yang muncul dalam beberapa musim terakhir kalau kita bicara soal tunggal putri. Kondisi ini menjadi dua sisi koin yang bertolak belakang bagi Serena dan petenis senior lainnya.
Serena Williams di Australia Terbuka 2015 Foto: Robert Prezioso/Stringer
Serena lahir untuk tenis. Susah-payah yang dikerjakannya dari satu laga ke laga lain juga bertujuan membuka jalan bagi generasi di bawahnya.
Ada banyak petenis muda yang tampil menggebrak bahkan di kompetisi Grand Slam. Naomi Osaka, Amanda Anisimova, Marketa Vondrousova, Cori 'Coco' Gauff, hingga Bianca Andreescu adalah beberapa contoh.
ADVERTISEMENT
Keberadaan para pemain muda yang berkualitas memberi harapan bahwa masa depan tenis ada di tangan yang tepat. Itu berarti, petenis senior seperti Serena tidak akan menanggung beban menjaga tenis sendirian.
Iklim baru tersebut juga tak jarang menjegal langkah Serena sendiri. Serena punya ambisi, ia memiliki target. Menyamai rekor Court adalah impian terliar bagi petenis mana pun. Serena hanya butuh satu gelar juara lagi untuk mencapainya.
Serena Williams Foto: THOMAS SAMSON / AFP
Menilai kualitas Serena menurun atau tidak adalah upaya abu-abu. Pukulan Serena hampir di setiap laga yang dilakoninya usai cuti melahirkan tetap bertenaga. Perlawanannya tetap membuat lawan kerepotan.
Servisnya tetap mematikan bahkan tak jarang melahirkan ace. Prancis Terbuka 2017 adalah kompetisi Grand Slam pertama Serena usai rehat. Dari situ, ia empat kali menjejak ke final: Wimbledon 2018 dan 2019, AS Terbuka 2018 dan 2019.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan mencapai final Grand Slam membuktikan kualitas Serena belum habis dan cerlangnya belum padam. Namun, runner up bukan juara. Indikator bahwa impian itu tergenapi bukan sebanyak apa ia melangkah ke final, tetapi kemenangan yang ia dapat di final.
Serena Williams meratapi kekalahan dari Karolina Pliskova di perempat final Australia Terbuka 2019. Foto: Kim Kyung-Hoon/Reuters
Dua kekalahan beruntun di partai puncak AS Terbuka tadi didapat dari petenis yang usianya belum lebih dari 20 tahun, Osaka dan Andreescu. Fakta ini menjadi humus yang menumbuhkan argumen bahwa Serena sudah habis, fisiknya sudah renta, tenisnya hampir tamat.
“Saya adalah saya. Saya selalu menjadi orang yang akan turun ke lapangan, meraung, berteriak, memprotes, menangis, dan bertarung,” tegas Serena.
“Saya mesti menjadi lebih dari 'Serena' yang begini. Saya pikir, yang bertanding di final ini bukan Serena. Saya harus mencari cara supaya ‘Serena’ yang sebenarnya bisa keluar dan bertarung lagi di final Grand Slam. Saya harus terus bergerak jika tetap ingin menjadi petenis profesional,” jelas Serena usai laga final AS Terbuka 2019.
ADVERTISEMENT
Ingatan Serena akan malam-malam kemenangan di masa lampau berkeliaran. Kekalahan demi kekalahan menjadi cerita buruk yang membuatnya ingin segera melaju cepat.
Trofi ke-24 belum ada di tangan, masih ada dalam kepala. Yang ada di kedua tangannya hanya raket. Maka, apa yang ada di tangan itulah yang dipakainya untuk mewujudkan apa yang ada di dalam kepalanya.