Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Jadi, begitulah... Untuk pertama kalinya sejak 1958, tidak akan ada Tim Nasional Italia di Piala Dunia. Bagi orang-orang Italia, ini bukan perkara remeh karena mereka adalah juara dunia empat kali, dan mereka sebelumnya percaya bahwa tiap 12 tahun sekali, tim nasional mereka bakal berlaga di final Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Nyatanya tidak demikian. Gian Piero Ventura resmi menjadi pelatih terburuk dalam sejarah calcio. Rentetan penampilan mengecewakan pada babak Kualifikasi Piala Dunia akhirnya menghasilkan anakronisme sejarah yang bakal diingat sepanjang masa.
Ventura mengambil alih jabatan sebagai commisario tecnico pada Agustus 2016 dari tangan Antonio Conte. Sebelumnya, Conte berhasil membawa Azzurri tampil mengesankan di Piala Eropa meski tidak dibekali banyak pemain berkualitas. Skuat yang kurang lebih sama pun diwarisi oleh Ventura dan pada akhirnya, terlihatlah bagaimana perbedaan kualitas seorang pelatih menghasilkan perbedaan hasil yang kontras.
Menyalahkan Ventura memang sangat mudah. Sangat mudah, malah. Secara mental, pria 69 tahun itu jelas tidak memenuhi syarat. Itu terbukti dari kata-katanya yang menyebut bahwa dia sudah memprediksi kalau Italia harus melalui babak play-off untuk lolos ke Piala Dunia. Bagi publik sepak bola Italia, ini adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan karena biar bagaimana juga, Italia adalah negara sepak bola besar. Mereka tidak seharusnya punya setelan inferior seperti itu.
ADVERTISEMENT
Kemudian, secara taktikal pun Ventura jauh dari kata kompeten. Berulang kali dia membuat kesalahan di aspek ini, mulai dari memilih formasi yang salah, memilih pemain yang salah, sampai melakukan pergantian yang salah. Dengan kata lain, Ventura memang seharusnya tidak pernah dipercaya menjadi pelatih Timnas Italia.
Namun, inkompetensi Ventura itu bukan satu-satunya alasan. Yang menjadi masalah utama bagi Italia memang buruknya regenerasi pemain. Di sebelas awal mereka pada leg kedua melawan Swedia, ada enam pemain dengan usia 30 tahun atau lebih. Bahkan, Gianluigi Buffon yang hampir berkepala empat pun masih menjadi tumpuan utama. Lalu, jika Daniele De Rossi berada dalam kondisi fit, bisa jadi jumlah itu bertambah dari enam menjadi tujuh.
ADVERTISEMENT
Artinya, ada sesuatu yang salah di sini dan itu sebenarnya sudah terlihat dari bagaimana Italia berhenti memproduksi pemain muda berkualitas tinggi sejak 2004. Di tahun itu, Italia untuk terakhir kalinya menjadi juara Piala Eropa U-21.
Secara historis, Italia adalah negara tersukses di ajang itu. Dengan kata lain, sebelum 2004, mereka sebenarnya adalah negara dengan regenerasi yang baik. Hal itu pun terlihat dari bagaimana mereka sebelumnya seperti tidak pernah kehabisan pemain berkualitas.
Para alumni Piala Eropa U-21 2004 itu, seperti Daniele De Rossi dan Andrea Barzagli, pada akhirnya menjadi bagian dari tim nasional yang menjadi juara Piala Dunia tahun 2006. Sepuluh tahun kemudian, mereka pun masih menjadi andalan utama di timnas. Lalu, ketika kini mereka gagal, artinya memang mereka sudah habis dan itu terbukti pula dengan keputusan mereka pensiun usai laga melawan Swedia.
ADVERTISEMENT
Lalu, jika sudah begini, apa yang harus dilakukan Italia?
Pertama-tama, mereka harus mengubah cara bersepak bola mereka. Jika selama ini Italia dikenal dengan pendekatan reaktifnya, ada baiknya mereka kini mulai mencoba pendekatan proaktif. Suka tidak suka, beginilah adanya tren sepak bola saat ini. Tanpa adaptasi, mereka bakal tergilas zaman.
Hal ini seharusnya sudah mulai dicamkan kepada para calon pelatih baru di Coverciano. Harus ada satu gambaran besar yang disepakati soal bagaimana sepak bola Italia bakal dimainkan dan terlepas dari pendekatan yang berbeda dari masing-masing pelatih, itu nanti urusan belakangan.
Sebetulnya, Ventura sudah mencoba untuk menjadi lebih reaktif. Akan tetapi, tanpa didukung pemain-pemain yang pas, tentu saja upaya itu tidak berhasil. Itulah mengapa, memproduksi pemain yang pas untuk gaya bermain yang pas adalah harga mati.
ADVERTISEMENT
Jerman sudah mencontohkan ini sebelumnya. Mereka sadar bahwa sepak bola pada akhirnya adalah perkara teknik dan inilah yang mereka lakukan. Menurut Direktur Teknik DFB, Robin Dutt, pada masa lampau, pemain seperti Mats Hummels saja sudah bisa bermain sebagai pemain nomor 10, tetapi kini situasinya sudah lain. Kini, pemain seperti Hummels "hanya" akan menjadi bek tengah. Sementara, pemain nomor 10 Jerman adalah peman nomor 10 "betulan" macam Mesut Oezil.
Soal produksi pemain ini, Jerman memulainya pada 2003 silam. Ketika itu, federasi mulai terlibat lebih dalam soal pembentukan pemain muda yang sesuai dengan cara bermain yang mereka inginkan ini.
Pada dasarnya, apa yang dilakukan adalah menyebar pemandu bakat. Namun, pemandu bakat yang disebar itu tidak sembarangan. Mereka minimal harus punya lisensi UEFA B dan harus bisa bekerja dengan baik bersama pemain-pemain usia dini.
ADVERTISEMENT
Para pemandu bakat merangkap pelatih itu berjumlah lebih dari seribu orang. Mereka disebar ke seluruh pelosok Jerman untuk mengidentifikasi nama-nama yang punya potensi besar. Dari sana, apabila para pemain itu belum tergabung dengan klub profesional, maka mereka akan mendapatkan kesempatan untuk direkrut oleh akademi klub-klub profesional tersebut.
Ini adalah langkah yang sebenarnya paling mudah dilakukan. Pasalnya, dengan Coverciano-nya, Italia seharusnya tidak kekurangan stok pelatih untuk mengeksekusi program ini. Adapun, yang sulit adalah bagaimana mengubah mentalitas orang-orang Italia yang terlampau mendewakan hasil.
Di Jerman, dalam proses pengembangan pemain muda, hasil bukanlah yang terpenting. Bagi pemain-pemain usia dini itu, yang terpenting adalah bagaimana mereka berlatih dan bermain. Jika apa yang dilakukan sudah tepat, ya, sudah. Urusan menang atau kalah, itu urusan belakangan.
ADVERTISEMENT
Soal mendewakan hasil ini kemudian berkaitan pula dengan kesabaran. Proses semacam ini tentu bakal memakan waktu dan tidak boleh dipotong di tengah jalan. Mereka harus ingat bahwa di sini, hasilnya tidak akan instan.
Terakhir, tentu saja adalah memilih pelatih yang tepat untuk menangani tim nasional. Jangan sampai ada Ventura-Ventura berikutnya di tim seperti Italia. Ketika nantinya proses pembenahan yang telah disebut di atas sudah berjalan, jangan sampai eksekusinya jadi medioker lantaran si eksekutor punya mentalitas dan kompetensi medioker.
Hal itu semua, tentu saja, erat kaitannya dengan kualitas dari orang-orang di federasi itu sendiri. Jika mereka pun inkompeten, maka keputusan-keputusan yang dihasilkan pun bakal inkompeten. Kalau perlu, rezim Carlo Tavecchio sekarang ini dibubarkan saja sekalian.
ADVERTISEMENT
Lantas, merujuk pada kegagalan di masa silam, bagaimana dengan keberadaan pemain asing serta oriundi?
Ini menarik. Dulu, ketika Italia gagal lolos ke Piala Dunia 1958, ada empat oriundi yang jadi kambing hitam. Mereka adalah Alcides Ghiggia, Miguel Montouri, Dino Da Costa, dan Juan Schiaffino. Namun, ketika itu yang dipermasalahkan dari mereka bukan tentang kualitas, melainkan spirit yang tereduksi. Biar bagaimana juga, meski punya darah Italia, mereka bukanlah orang Italia.
Italia sendiri akhirnya tetap menggunakan jasa oriundi setelah kegagalan Piala Dunia 1958 itu lewat. Mereka kemudian berpaling pada Omar Sivori, Humberto Maschio, dan Antonio Angelillo untuk mengembalikan muruah tim nasional mereka. Itu semua terjadi sampai 1966 ketika di Piala Dunia tahun itu, mereka dipermalukan Korea Utara.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, sampai 1980, federasi kemudian melarang keberadaan pemain asing di klub. Namun, untuk masa sekarang ini, hal seperti itu rasanya tidak perlu dan agak sulit untuk dilakukan, mengingat adanya berbagai macam tuntutan di arena sepak bola profesional. Sebagai gantinya, Italia harus menantang diri mereka sendiri. Untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, mereka pun harus punya pemain-pemain yang cakap untuk mewujudkannya.
Kira-kira begitulah apa yang harus dilakukan Italia. Pendek kata, Italia harus mengubah segalanya dalam persepakbolaan mereka, dan kalau bisa, perubahan itu harus segera dilakukan, kalau mereka tak mau kegagalan ini terulang lagi.