Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Perjalanan Rafael Nadal di Prancis Terbuka 2019 tuntas dengan gelar juara nomor tunggal putra. Gelar juara itu sangat prestisius karena ia tak sekadar mengangkat trofi. Dua belas kali sudah Nadal mencatatkan namanya di daftar kampiun Roland Garros.
ADVERTISEMENT
Nadal bahkan menjadi petenis pertama yang menyegel 12 gelar juara di satu seri Grand Slam. Setiap petenis, termasuk Dominic Thiem yang menjadi lawannya di partai pemungkas, pantas menjulukinya sebagai 'Raja Lapangan Tanah Liat' .
Ngomong-ngomong, Thiem menjejak ke final Prancis Terbuka dalam dua musim beruntun. Lawannya di duel puncak musim lalu pun sama dengan yang sekarang: Nadal.
Bedanya, petenis Spanyol itu berhasil menaklukkan Thiem dalam tiga set langsung pada final tahun lalu. Musim ini, Thiem mencatatkan kemenangan 7-5 pada set kedua meski sebelum dan sesudahnya kita tahu, Nadal-lah yang menutup set dengan kemenangan.
Kesamaan antara final musim lalu dan sekarang tak cuma hasil akhirnya, tapi bagaimana Nadal merengkuh kemenangan tersebut. Nadal tampil perkasa dalam first serve-nya. Sebagai pengingat, musim lalu Nadal mencatatkan 73% kemenangan dari first serve. Sementara, Thiem hanya 58%.
ADVERTISEMENT
Thiem bukannya menghadapi final musim ini tanpa pembenahan. Buktinya, ia mampu mencatatkan 64% kemenangan dari first serve. Masalahnya, perbaikan itu belum cukup untuk melawan Nadal. Petenis yang sudah mengoleksi 18 gelar Grand Slam di nomor tunggal putra itu masih perkasa dengan 78% kemenangan first serve.
Entah apa yang berputar-putar dalam kepala Thiem begitu Nadal mempertontonkan gestur wajib jelang servisnya yang mematikan itu. Barangkali ia mulai menerka-nerka seberapa cepat pukulannya ketika Nadal mulai menepuk-nepukkan kaki ke raket--yang dimulai dari kaki kanan, kiri, lalu kanan.
Mungkin Thiem mulai menghitung-hitung segala kemungkinan sudut yang disasar begitu Nadal menyingsingkan lengan baju kiri, lalu kanannya. Entah kenapa urutannya selalu seperti ini.
Tak mustahil juga jika Thiem berharap-harap pukulan pertama itu tak berujung ace begitu Nadal mulai menyentuh hidung, menunjukkan gestur menyelipkan rambut ke telinga kanan, lalu kiri, sebelum kembali menyentuh hidungnya dan memulai servis.
ADVERTISEMENT
Memang sebanyak itu gerakan wajib Nadal sebelum servis. Barangkali segala sesuatu sudah terprogram rapi dalam benak Nadal sehingga harus selalu dilakukan persis seperti itu--termasuk gestur menyelipkan rambut ke telinga meski rambutnya tak lagi panjang.
"Saya seperti datang dari surga setelah mengalahkan petenis nomor satu, Novak Djokovic, di semifinal. Tapi, di partai ini Rafa (Nadal) menendang saya ke neraka," ucap Thiem dalam konferensi pers usai laganya.
Nadal berulang kali memberikan perlawanan dengan menyasar sudut-sudut sulit dan membingungkan Thiem. Bahkan ia tak segan untuk melepaskan pukulan voli dan drop shot dari depan net. Dua puluh tiga dari 27 upaya pukulan volinya pun sukses. Permainan depan netnya tak kalah hebat. Sembilan puluh dari 125 upaya depan netnya sukses.
ADVERTISEMENT
Yang berulang kali dilakukan Nadal untuk mendulang poin adalah mematikan langkah Thiem lebih dulu--bahkan lewat permainan baseline. Apalagi, sehari sebelum final, stamina Thiem juga dikuras habis-habisan lewat thriller lima set melawan Novak Djokovic di semifinal.
"Saya harus bertanding melawan tujuh petenis luar biasa di turnamen ini. Bahkan, dua di antaranya merupakan legenda hidup. Pengalaman unik dan brutal sekaligus," ucap Thiem.
Tidak berlebihan untuk menyebut set ketiga sebagai momentum kebangkitan Nadal. Tampil impresif di set kedua, Thiem justru mati kutu di set ketiga. Petenis asal Austria ini bahkan tertinggal 0-4.
Nadal bahkan memulai gim ketiga set ketiga dengan membaca drop shot Thiem dan membalasnya dengan drop shot yang tak mampu dikembalikan. Tambah celaka karena Thiem berulang kali melakukan eror.
ADVERTISEMENT
Pukulan-pukulan forehand-nya acap membentur net. Tak heran jika akhirnya Nadal mampu mendulang poin demi poin dan menutup set ketiga dengan kemenangan telak 6-1.
Situasi serupa juga muncul di gim keempat meski perlawanan Thiem lebih menjanjikan. Masalahnya, pukulan forehand yang seharusnya merupakan cara termudah untuk menyegel poin justru menjadi bumerang yang menyerang balik.
"Saya seperti tidak percaya ada petenis yang mampu tampil seperti itu. Ia benar-benar tangguh. Bahkan angka-angka soal Nadal juga gila. Dua belas kali ia mengalahkan lawan di final (Roland Garros)," kata Thiem.
"Ia menjuarai 18 Grand Slam yang mana merupakan angka yang besar. Ia hanya tertinggal dua angka dari Roger (Federer). Di pertandingan ini saya menyaksikan sendiri mengapa Rafa layak disebut sebagai petenis terbaik," jelas Thiem.
ADVERTISEMENT