Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bagi Penyandang Disabilitas, Paralimpiade Bukan Sekadar Ajang Olahraga
4 Desember 2017 6:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1948, Sir Ludwig Guttman mencoba menghelat ajang olahraga bagi para veteran Perang Dunia II yang mengalami gangguan pada saraf tulang belakang. Ajang ini sendiri terkenal dengan nama “Stroke Mandiville”.
ADVERTISEMENT
Selang empat tahun, peserta bertambah, Belanda memutuskan untuk ikut andil dalam ajang olahraga tersebut. Bergabungnya Belanda, manambah ketat persaingan, dan “Stroke Mandiville” semakin menggoda untuk disaksikan.
Di perhelatan yang kesembilan, tepatnya pada tahun 1960, nama “Stroke Mandiville” mulai memudar dan menghilang. Tepatnya di Roma, Italia, “Stroke Mandiville” berubah menjadi Paralimpiade, atau dalam bahasa Yunani berarti berdampingan, di mana ajang ini diselenggarakan setelah Olimpiade selesai dihelat. Semenjak saat itu, Paralimpiade menjadi ajang olahraga yang besar dan semakin dinantikan perhelatannya.
Bahkan, pada tahun 2008, terdapat 20 cabang olahraga yang dipertarungkan di Beijing, China, yaitu anggar kursi roda, angkat berat, atletik, balap sepeda, berkuda, boccia, bola basket kursi roda, bola gawang, hingga sepak bola dengan lima atau tujuh pemain.
ADVERTISEMENT
Banyak yang beranggapan bahwa Paralimpiade atau Paralympic (ajang setelah perhelatan olahraga lainnya, seperti Sea Games dan Asian Games) hanya sekedar ajang olahraga yang diperuntukkan bagi atlet yang mengalamai cacat fisik, mental, dan sensoral untuk mendapatkan medali.
Namun, anggapan tersebut tidak berlaku bagi dua peyandang disabilitas, Wawan Setiawan (21) dan Asma (24). Bagi mereka, Paralimpiade atau Paralympic bukan hanya sekadar ajang olahraga, lebih dari itu, ajang olahraga itu dapat menjadi bukti nyata bahwa peyandang disabilitas masih bisa berprestasi di bidang olahraga.
“Kemarin Paralympic di Malaysia kami banyak merebut medali emas bahkan menjadi juara umum, itu adalah salah satu bukti soheh bahwa kami tidak bisa dianggap remeh,” ucap Wawan kepada kumparan (kumparan.com) saat ditemui di Monumen Nasional, Minggu (3/12).
ADVERTISEMENT
“Banyak teman saya yang ikut (Paralympic), kalau enggak salah namanya Vina, dia atlet angkat besi ... dia juga pengguna kursi roda juga. Dia menjadi salah satu kebanggaan buat saya pribadi, dia dapat membuktikan bahwa sebenarnya kami itu bisa, kami enggak bisa dianggap remeh dengan kondisi kami yang seperti ini,” kata Asma.
Wawan sendiri sudah meyandang disabilitas sejak lahir. Meski sempat diremehkan di lingkungan sekitarnya, ia selalu yakin bahwa ia pun memiliki kelebihan sama seperti yang lain. Para atlet yang berlaga di Paralympic, menjadi motivator baginya untuk mulai menorehkan prestasi di bidang yang ia tekuni.
“Yang saya ambil adalah semangat teman-teman (atlet Pralympic), semangatnya bisa menjadi acuan bagi kami untuk menggapai prestasi yang sama meskipun di bidang berbeda,” ujar pria asal Garut dengan suara yang berat.
ADVERTISEMENT
Di Hari Difabel Dunia, Wawan dan Asma berharap agar kelak semua peyandang disabilitas tidak dianggap lemah dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum. Di akhir percakapan, Wawan mencoba mengajak semua peyandang disabilitas untuk menunjukkan diri kepada masyarakat umum bahwa peyandang disabilitas mampu berprestasi.
“Aku juga mengimbau ke seluruh peyandang disabilitas yang masih belum keluar dari rumah ya, masih banyak di rumah, saya himbau mereka untuk percaya diri, memberanikan diri untuk keluar,” imbau Wawan dengan sedikit derai air mata.
“Sebagai bukti buat orang-orang kalau sebenarnya, kami mampu, kami bisa melakukan apa yang mereka bisa lakukan, walaupun dengan keterbatasan yang kita punya ini,” tutup Asma.