Carlo Ancelotti dan Stockholm Syndrome yang Melengserkannya

3 Oktober 2017 18:35 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ancelotti dilengserkan Stockholm Syndrome. (Foto: Reuters/Wolfgang Rattay)
zoom-in-whitePerbesar
Ancelotti dilengserkan Stockholm Syndrome. (Foto: Reuters/Wolfgang Rattay)
ADVERTISEMENT
Jan-Erik Olsson alias Janne seharusnya tidak berkeliaran di kota Stockholm pada akhir Agustus 1973 itu. Sejak berusia 16 tahun, Janne sudah terlibat dalam berbagai tindak kejahatan dan penjara pun sudah seperti rumah kedua baginya.
ADVERTISEMENT
Hari itu, seharusnya Janne masih mendekam di penjara. Namun, lebih dari tujuh bulan sebelumnya, dia berhasil melarikan diri. 23 Agustus 1973 pagi, Janne melangkah masuk ke Sveriges Kreditbanken di kawasan elite Norrmalmstorg di Stockholm dan enam hari kemudian, dia baru keluar. Itulah, barangkali, enam hari terpopuler dalam sejarah kontemporer ibu kota Swedia tersebut.
Janne adalah orang yang membuat istilah Stockholm Syndrome kini jadi begitu familiar. Selama enam hari itu, dia menyandera empat orang pegawai bank sembari memaksa agar tiga permintaannya—uang senilai tiga juta krona, pembebasan karibnya di penjara, Clark Olofsson, dan sebuah mobil untuk melarikan diri—dipenuhi.
Sepintas, terlepas dari kehebohan yang ditimbulkannya, aksi Janne ini tak ubahnya aksi kejahatan biasa. Akan tetapi, yang kemudian menjadi menarik adalah munculnya simpati dari para korban penyanderaan terhadap si penyandera. Bahkan, ketika Janne akhirnya diadili, para korban ini justru menjadi saksi yang meringankan dirinya. Munculnya kedekatan antara korban dan penyandera inilah yang diberi nama Stockholm Syndrome oleh seorang kriminolog bernama Nils Bejerot.
ADVERTISEMENT
***
Ketika Pep Guardiola memutuskan untuk tidak memperpanjang masa bakti bersama Bayern Muenchen, tak sedikit pemain yang merasa lega. Franck Ribery, misalnya. Bagi pemain sayap asal Prancis itu, Guardiola terlalu banyak bicara.
"Aku tidak butuh diberi tahu ini itu. Aku butuh kebebasan di lapangan. Aku butuh situasi satu-lawan-satu. Aku butuh motivasi dan tepukan di pundak. Dengan Ottmar (Hitzfeld) dan Jupp (Heynckes) selalu seperti itu," ujar Ribery kepada Bild tahun lalu.
Di situ, Ribery juga secara tidak langsung menyebut bahwa obsesi Guardiola terhadap detail itu lahir dari minimnya pengalaman sang pelatih. "Dia 'kan belum lama jadi pelatih," kata mantan pemain Galatasaray tersebut.
Guardiola memang begitu. Dia selalu terobsesi pada detail dan kesempurnaan. Bagi pemain seperti Ribery yang selama ini memang senantiasa diberi kebebasan dalam berkreasi di lini depan, apa yang dilakukan Guardiola selama di Bayern bakal terasa seperti siksaan.
ADVERTISEMENT
Ribery (tengah) sudah satu dekade di Bayern. (Foto: Reuters/Michaela Rahle)
zoom-in-whitePerbesar
Ribery (tengah) sudah satu dekade di Bayern. (Foto: Reuters/Michaela Rahle)
Ribery tidak sendiri. Selain dirinya, ada Thomas Mueller dan Dante Bonfim yang juga pernah melontarkan kritikan untuk Guardiola. Mueller menyebut bahwa Guardiola hidup di dunianya sendiri, sementara Dante malah lebih keras lagi dalam mengkritisi. Pemain yang kini membela Nice di Ligue 1 itu secara terang-terangan mengatakan bahwa Guardiola bukanlah sosok manusia yang baik.
Kira-kira setahun setelah Guardiola akhirnya angkat kaki dari Bayern, tiba-tiba saja situasinya berubah. Sosok yang dulu tidak terlalu disukai itu kemudian justru dijadikan pahlawan oleh para pemain Bayern yang tak puas dengan gaya kepelatihan Carlo Ancelotti. Arjen Robben yang dulu pernah menyatakan bahwa "sempurnanya situasi klub di bawah komando Carlo Ancelotti" kini justru menjadi kritikus terbesar Don Carlo.
ADVERTISEMENT
"Latihan sepak bola anakku saja lebih bagus dari ini," sungut Robben.
Duet Robbery kini tinggal menyisakan Robben saja. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Duet Robbery kini tinggal menyisakan Robben saja. (Foto: Reuters)
Bagi Bayern Muenchen, Pep Guardiola memang seharusnya jadi sosok yang ideal. Bukan hanya karena Guardiola punya profisiensi taktikal nomor wahid, sosok kelahiran 1971 itu juga selalu lapar. Baginya, kalau kata sempurna belum didapat, berarti tugasnya belum selesai. Untuk manajemen Bayern, pendekatan Guardiola ini sempurna karena Bayern memang bukan hanya butuh menang, tetapi mereka juga bisa harus menang dengan cara tertentu. Dengan intensitas tertentu.
Namun, pada akhirnya Guardiola tetap (merasa) gagal. Masalahnya, selama tiga musim membesut Bayern, dia tak kunjung berhasil mempersembahkan gelar Liga Champions. Padahal, memenangi Liga Champions seharusnya merupakan sebuah kewajiban bagi siapa pun yang ditunjuk menjadi trainer klub. Upaya Bayern untuk memburu trofi Si Kuping Besar keenam itulah yang membuat mereka kemudian menunjuk Carlo Ancelotti.
ADVERTISEMENT
Sebagai sosok pelatih, Ancelotti adalah salah satu raja di Liga Champions. Bersama Bob Paisley, Ancelotti punya catatan spesial sebagai kolektor tiga gelar Liga Champions. Istimewanya lagi, tak seperti Paisley yang "hanya" memenanginya bersama Liverpool, Ancelotti menjuarainya dengan dua klub berbeda: Milan dan Real Madrid.
Ancelotti bersama Paolo Maldini. (Foto: AFP/Stringer)
zoom-in-whitePerbesar
Ancelotti bersama Paolo Maldini. (Foto: AFP/Stringer)
Ironisnya, justru akhirnya Liga Champions-lah yang membuat Ancelotti terdepak dari posnya sebagai trainer di Bayern. Di laga terakhirnya, Bayern dihajar tiga gol tanpa balas oleh Paris Saint-Germain. Namun, bukan kekalahan itu yang menjadi masalah, melainkan bagaimana penampilan Bayern ketika kalah itu.
Karl-Heinz Rummenigge menyebut bahwa yang tampil di Paris itu bukanlah Bayern yang dikenal orang dan Rummenigge benar. Masalahnya, pada laga di Parc des Princes itu, Bayern benar-benar tampil seperti tim kacangan. Celakanya lagi, penampilan semacam itu sudah kerapkali terlihat dari tim Bayern-nya Ancelotti, bahkan sejak musim lalu.
ADVERTISEMENT
Pada ajang pramusim, mereka kalah dari Internazionale dan Milan yang sebenarnya tengah membangun ulang kembali kebesaran mereka. Lalu, ketika Bundesliga sudah dimulai, mereka dikalahkan oleh Hoffenheim yang dua pemain kuncinya, Niklas Suele dan Sebastian Rudy, sudah mereka bajak. Kemudian, sebelum dua hasil imbang melawan Wolfsburg dan Hertha Berlin serta kekalahan dari PSG, Bayern juga tampil sangat mengecewakan kala menghadapi Anderlecht di matchday pertama Liga Champions.
Bayern menang 3-0 atas Anderlecht pada pertandingan itu. Akan tetapi, sekali lagi cara mereka bermainlah yang menjadi masalah. Seperti yang dikatakan oleh Arjen Robben pascalaga, di situ seharusnya Bayern bisa lebih agresif lagi dan mencetak gol lebih banyak lagi karena tim lawan sudah bermain dengan sepuluh orang sejak awal babak pertama. Namun, itu tidak terjadi.
ADVERTISEMENT
Bayern Muenchen di laga vs Anderlecht. (Foto: Reuters/Michaela Rehle)
zoom-in-whitePerbesar
Bayern Muenchen di laga vs Anderlecht. (Foto: Reuters/Michaela Rehle)
Jika kita ingat Bayern Muenchen di era kepelatihan ketiga Jupp Heynckes, satu hal yang niscaya bakal terus terngiang adalah bagaimana mereka mampu menghabisi Barcelona-nya Jordi Roura dengan permainan kolektif nan agresif. Bersama Guardiola, agresivitas ini pun masih tampak meski cara penyampaiannya berbeda. Jika tim Heynckes tak segan beradu fisik, tim Guardiola selalu mampu menekan ruang-ruang yang membuat permainan lawan tercekik.
Tim milik Ancelotti, seperti yang diujarkan Robben, tidak pernah menunjukkan ini dan dari sini saja, Ancelotti sudah gagal. Padahal, ini adalah filosofi penting yang seharusnya dipahami betul oleh setiap nakhoda tim.
Kini, setelah sebelumnya muak dengan (metode) Guardiola, para pemain Bayern kemudian justru rindu akan intensitas yang dulu dibebankan kepada mereka. Para pemain Bayern ini kemudian justru menganggap bahwa Ancelotti terlalu santai dan tidak cukup lapar untuk memimpin mereka menjadi juara. Dengan kata lain, setelah terlambat selama setahun, Stockholm Syndrome itu akhirnya menjangkiti para pemain Bayern.
ADVERTISEMENT
Namun, kesalahan Ancelotti tidak hanya ada di sini saja. Sebagai pelatih yang dikenal akan kehebatannya dalam menangani ego di ruang ganti, pria kelahiran 1959 ini entah mengapa justru gagal mencuri hati pemain-pemain berpengaruh seperti Thomas Mueller dan Franck Ribery. Hal ini menjadi sangat fatal karena Ancelotti sendiri kerap mencadangkan keduanya.
Thomas Mueller meratapi kekalahan. (Foto: Reuters/Benoit Tissier)
zoom-in-whitePerbesar
Thomas Mueller meratapi kekalahan. (Foto: Reuters/Benoit Tissier)
Untuk Ribery, Ancelotti memang punya penjelasan bahwa dia tidak bisa memainkan winger gaek itu setiap saat karena "dia bagaikan sebuah Ferrari" yang hanya layak dipakai untuk situasi-situasi spesial saja. Namun, untuk kasus Mueller, masalahnya lain lagi.
Seringnya Mueller absen di laga-laga besar ini disebut-sebut sebagai buah dari inkompetensi Ancelotti dari segi taktikal. Sebagai pemain, Mueller memang tiada duanya. Secara teknis, dia biasa saja, tetapi dia punya apa yang tidak dimiliki pemain mana pun di dunia, yakni kehebatan dalam menafsirkan ruang. Itulah mengapa, dia disebut sebagai raumdeuter.
ADVERTISEMENT
Ancelotti tidak paham akan hal ini dan awalnya, dia kerapkali salah menempatkan Mueller sebagai penyerang sayap. Karena salah posisi ini, penampilan Mueller pun jeblok dan imbasnya, pemain 28 tahun ini pun jadi kerap dicadangkan.
Padahal, buruknya performa bintang Tim Nasional Jerman ini bukan salah dirinya. Dari sinilah kemudian salah paham antara Mueller dan Ancelotti lahir. Karena sang trainer memang tidak tahu apa solusinya, situasi ini pun kemudian terus memburuk. Ketika Ancelotti akhirnya mau mengubah pakem 4-3-3 menjadi 4-2-3-1 di mana Mueller bisa beroperasi secara optimal, semuanya sudah terlambat.