'Carpe Diem!', dari Wimbledon 2019 untuk Kita

4 Juli 2019 17:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cori Gauff di babak pertama tunggal putri Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Carl Recine
zoom-in-whitePerbesar
Cori Gauff di babak pertama tunggal putri Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Carl Recine
ADVERTISEMENT
Di hadapan orang-orang Inggris yang begitu menggilai tatanan, Wimbledon 2019 menolak menjadi tua dan membosankan.
ADVERTISEMENT
Peter Weir, sineas kelahiran Australia yang kerap menelurkan film tentang manusia yang terisolasi, bercerita tentang sepenting apa keberanian untuk melepaskan diri dari jerat tatanan lewat karyanya yang berjudul 'Dead Poets Society'.
Rilis pada 1989, film ini memenangi Piala Oscar 1990 untuk kategori Skenario Asli Terbaik. Mendiang Robin Williams ikut ambil bagian dengan berperan sebagai John Keating, guru Bahasa Inggris di sekolah elite, Akademi Welton.
Film ini memang menggunakan latar sekolah yang acap memproduksi siswa-siswa terbaik yang sanggup menembus ketatnya persaingan Ivy League alias universitas-universitas terbaik Amerika. Tapi, keliru berat bila menyangka film ini akan menampilkan Keating yang begitu gigih menggembleng anak didiknya dengan nilai-nilai yang dianut oleh Akademi Welton.
ADVERTISEMENT
Lewat metode mengajarnya yang nyeleneh, Keating ingin menanamkan satu pelajaran: Carpe diem. Itu adalah frasa yang dikutipnya dari penyair Horatius yang bila diterjemahkan akan menjadi seize the day. Atau bila digubah secara plastis ke dalam Bahasa Indonesia akan menjadi raihlah kesempatan.
Tidak masalah jika membangkang tatanan. Bukan persoalan jika kau menolak diatur-atur oleh aturan yang tidak berfungsi untuk melindungimu, tapi malah membatasi langkah.
Peduli setan jika kau dicap sebagai anak bandel, bengal, degil, atau apa pun namanya. Kalau Weir di masa itu sudah mengenal istilah YOLO, bukannya tak mungkin ia akan mengarahkan Williams untuk mengucapkan akronim itu sebagai pengganti carpe diem.
Di bawah didikan Keating, salah tujuh siswanya--Neil Perry, Todd Anderson, Knox Overstreet, Charlie Dalton, Richard Cameron, Steven Meeks, dan Gerard Pitts--yang memang merasa terganggu dengan aturan super ketat sekolahnya berubah.
ADVERTISEMENT
Todd bahkan menjadi siswa yang lebih berani walau pada dasarnya ia begitu pemalu dan tertutup. Neil yang memiliki renjana di dunia akting tambah berani.
Diam-diam Neil memberontak dari kedua orang tuanya yang begitu menginginkannya menjadi dokter, lantas mengikuti audisi teater secara sembunyi-sembunyi. Meski kita tahu bahwa pada akhirnya Neil mengambil langkah kelewat nekat: Bunuh diri.
Venus Williams dan Cori Gauff usai laga babak pertama tunggal putri Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Toby Melville
Pemberontakan-pemberontakan sejenis itu yang muncul di Wimbledon tahun ini. Barangkali setelah 132 tahun menjadi turnamen yang begitu tunduk pada tatanan, Wimbledon mulai bosan. Maka, untuk sekali ini saja, di edisinya yang ke-133, ia membuka diri dan memberi tempat bagi para pembangkang.
Jika tenis adalah olahraga yang sangat menghargai tatanan, Wimbledon adalah bukti bahwa jagat tenis diisi oleh orang-orang yang sangat mengibadahi tatanan.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh aturan kostum para petenis yang mesti putih-putih. Tak boleh ada warna lain. Mesti putih bersih, bahkan off-white pun dilarang. Sebenarnya aturan ini sudah ada sejak era 1800-an.
Wimbledon tidak menjadi satu-satunya turnamen yang menerapkan aturan ini. Alasannya sederhana, warna putih dipilih supaya keringat yang membasahi tubuh para petenis tidak terlampau terlihat, terutama bagi para petenis wanita.
Pada 1972, AS Terbuka menggebrak, melepaskan diri dari aturan kostum putih bagi para petenisnya. Itu berarti, Wimbledon menjadi satu-satunya turnamen yang memegang teguh tradisi kostum putih para peserta.
Kalau dipikir-pikir, namanya saja olahraga. Berkeringat adalah perkara wajar. Toh, yang terpenting dalam kompetisi olahraga adalah performa dan hasil. Percuma kau terlihat begitu klimis jika bermain buruk.
ADVERTISEMENT
Stefanos Tsitsipas di babak pertama Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Hannah McKay
Keating tidak mengajar murid-muridnya dengan jejalan teori sastra. Di hari pertama mengajar, ia bahkan menyuruh mereka merobek halaman text book yang berisi tulisan karya Dr. J. Evans Pritchard Ph. D, yang berjudul 'Understanding Poetry'.
Wajarnya, guru yang baik akan mengajar murid sesuai kurikulum. Bukannya tidak mungkin anak-anak asuhnya itu gagal dalam ujian jika melewatkan bagian tadi.
Namun, puisi bukan bangunan yang bisa diukur secara saklek. Ia menolak rumus dan struktur tertentu dan abai dengan perhitungan. Yang dibutuhkan puisi untuk hidup adalah kebebasan sebagai corong bagi suara yang ingin diperdengarkan si penyair. Di benak Keating, puisi bukan jelmaan upaya si penyair supaya diterima dalam satu mazhab dan kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Serupa dengan Keating dan murid-muridnya yang merobek tulisan profesor sastra ternama tadi, Cori ‘Coco’ Gauff juga merobek struktur unggulan di hari pertamanya berlaga di Wimbledon.
Venus Williams, lawannya di babak pertama itu, tahun ini memang tidak datang sebagai unggulan. Tapi, ia adalah pemegang liga gelar juara tunggal putri Wimbledon. Tak heran jika laga itu akhirnya digelar di Court No.1, salah satu lapangan ternama di Wimbledon.
Lewat kemenangan straight set atas Venus di babak pertama itu Coco ingin berkata bahwa tenis tak bisa dibatasi oleh pencapaian masa lalu. Tidak peduli sebanyak apa torehan trofi lawan, kemenangan tetap bisa direngkuh.
Struktur unggulan yang muncul di dalam setiap turnamen, termasuk Wimbledon, adalah ukuran yang secara tidak sadar membentuk ekspektasi publik. Mereka yang berstatus unggulan dipandang sebagai orang-orang yang pantas menang. Bahwa kekalahan petenis non unggulan dari nama besar dipandang sebagai perkara wajar karena memang sudah seperti itu seharusnya.
ADVERTISEMENT
Lewat kemenangannya hingga ke babak kedua, Coco ingin bicara bahwa ia menolak dipandang sebelah mata hanya karena usianya masih muda. Lewat kematangan permainannya Coco ingin menegaskan bahwa ia ingin melepaskan diri dari jerat sebagai petenis peringkat 313 dunia yang mencapai Wimbledon via jalur kualifikasi.
Yang membawa pesan demikian bukan cuma Coco. Masih ada Sam Quarrey, Jiri Vesely, Thomas Fabbiano, dan Yulia Putintseva yang menyingkirkan Dominic Thiem, Alexander Zverev, Stefanos Tsitsipas, dan Naomi Osaka dari perburuan gelar juara. Kemenangan yang mereka rengkuh membuktikan, carpe diem tidak cuma bisa dilakukan oleh mereka yang berstatus unggulan.
Kekuatan kata-kata Henry David Thoreau, Walt Whitman, Percy Bysshe Shelley, George Gordon Byron, dan Robert Frost yang berulang kali dibicarakan Keating memberikan pengalaman baru bagi murid-muridnya. Yang terjadi kemudian adalah transformasi.
ADVERTISEMENT
Lewat puisi, para murid yang semula hidup kelewat tertib dan takut itu memahami bahwa hidup dibangun oleh rangkaian petualangan yang dahsyat dan asyik. Kata-kata menjadi mantra. Mereka tak takut lagi menjelajah, menemukan impian, dan menerima keunikan pribadi masing-masing.
Simona Halep di babak pertama Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Toby Melville
Wimbledon adalah kompetisi yang amat tertib. Dari masa ke masa, Wimbledon membentuk diri sebagai turnamen yang begitu beradab.
Namun, Nick Kyrgios memberi dimensi baru bagi Wimbledon. Dimensi yang lebih meriah, jenaka, dan heboh ia tunjukkan lewat rangkaian kegilaaan di laga babak pertama melawan sesama petenis Australia, Jordan Thompson.
Entah sudah berapa lama Wimbledon tak menampilkan petenis yang merayakan kemenangan set dengan berlari-lari girang mengelilingi bidang permainannya seperti pesepak bola. Bagi para pemain, mengacungkan tinju sambil selalu menjadi perayaan yang cukup. Tapi, perayaan seperti itu tidak cukup bagi Kyrgios yang baru saja menyelesaikan set ketiga yang berjalan selama 76 menit dengan kemenangan.
ADVERTISEMENT
Tenis ala Wimbledon adalah khotbah yang disampaikan dalam bentuk permainan. Jika pertanyaannya adalah apa yang dikhotbahkan, jawabannya muncul dalam nukilan sajak 'If' karya Rudyard Kipling yang ditulis di dinding ruang tunggu Centre Court alias lapangan utama.
“If you can meet with triumph and disaster and treat those two imposters just the same.” Jika kau dapat menerima kejayaan dan kehancuran dan menyikapi kedua cobaan itu dengan sama ringannya.
Nick Kyrgios di babak pertama tunggal putra Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Hannah McKay
Sajak itu pada dasarnya bicara bahwa siapa pun, termasuk para petenis yang berlaga di Wimbledon, dapat menjadi manusia utuh jika mereka dapat memperlakukan kemenangan dan kekalahan, hal baik dan buruk, dengan sama, dengan tetap beradab.
Rupanya, Kyrgios tidak sepakat dengan sajak tadi. Baginya, jika kemenangan dapat dirayakan dengan meriah, buat apa menyambutnya dengan sikap kalem? Bila kekalahan adalah musuh yang selama ini dilawannya dengan berlatih sekeras mungkin, buat apa menerima kekalahan dengan anteng?
ADVERTISEMENT
Sebelum pertandingan itu tuntas tidak ada yang tahu apakah Kyrgios bisa memenangi partai itu atau tidak. Toh, di set keempat, dia kalah 0-6 dari Thompson. Tapi, yang terjadi setelahnya, pintu babak kedua itu benar-benar dibukakan untuk Kyrgios. Artinya, Wimbledon bisa lebih lama menikmati dimensi mengasyikkan tadi.
Serupa dengan Keating yang meminta murid-muridnya untuk naik ke meja sebagai analogi untuk melihat dunia dari perspektif lain, Andy Murray juga mengajak jagat tenis melihat dari sudut pandang berbeda.
Musim ini Murray kembali menjejak ke Wimbledon setelah pergulatan panjang melawan cedera pinggul. Bedanya, ia tidak bermain di nomor tunggal, tapi ganda putra dan ganda campuran.
Nomor tunggal selama ini dipandang sebagai komoditas unggulan. Sementara, nomor ganda dinilai sebagai kompetisi kelas sekian yang hanya diisi oleh mereka yang tak sanggup berkompetisi di nomor tunggal.
ADVERTISEMENT
Namun lewat keikutsertaannya di ganda campuran bersama Serena Williams, Murray menegaskan bahwa nomor ini juga layak diperhitungkan, bahwa nomor ganda bukan semata-mata sarang bagi petenis semenjana mencari peruntungan.
Dengan keputusannya itu Murray bersikap seperti Todd yang menutup mata ketika diminta Keating membacakan puisi karangannya. Tadinya, kawan-kawan sekelasnya menertawakan. Tapi begitu kalimat-kalimat itu meluncur habis dari mulut Todd, olok-olok berganti dengan puja-puji dan tepuk tangan.
“Saya ingin kamu mengingat hari ini selamanya,” begitu pesan Keating sambil memegang kepala Todd dengan kedua tangannya.
Publik bisa saja menganggap remeh keputusan Murray untuk turun di nomor ganda putra dan campuran. Hanya, bukannya tidak mungkin gelar juara bahkan sejarah baru lahir lewat performanya.
ADVERTISEMENT
***
Dalam salah satu fragmen, Keating menyampaikan nukilan puisi 'The Road Not Taken' karya Robert Frost kepada murid-muridnya.
Katanya,"Two roads diverged in the wood and I, I took the one less traveled by, and that has made all the difference." Atau bila diterjemahkan menjadi: 'Ada dua jalan menyimpang di hutan dan saya, saya mengambil jalan yang paling jarang dilalui. Dan keputusan itu pada akhirnya menciptakan perbedaan.'
Entah akan selama apa perjalanan para pembangkang ini di Wimbledon 2019. Tak peduli sepanjang atau sesingkat apa pun itu, keberanian untuk mengambil jalan berbeda dan kegigihan untuk melepaskan diri dari jerat ekspektasilah yang membuat diri mereka tak ‘habis’ digempur tradisi dan tatanan.
Serupa dengan apa yang terjadi pada murid-murid Keating tadi, carpe diem juga dapat menjadi mantra yang membius para petenis di Wimbledon 2019 untuk menciptakan momentumnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dan serupa dengan para petenis itu, carpe diem yang sama juga bisa menjadi mantra bagi kita, tak peduli seaneh apa pun jalan yang kita ambil hari ini, tak peduli berapa pun usia kita besok, tak peduli ulang tahun keberapa yang kita lalui hari ini.