Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Christian Hadinata soal Generasinya dan Zaman Now: Dulu Jarang Tanding
26 November 2018 19:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Jangan bilang penggemar bulu tangkis jika Anda tidak tahu Christian Hadinata . Mantan pebulu tangkis ini merupakan peletak batu pertama kejayaan sektor ganda putra Indonesia di All England. Koh Chris --sapaan akrabnya-- juga menancapkan taji di Asian Games nomor perorangan dengan empat emas, satu perak, dan satu perunggunya.
ADVERTISEMENT
Jadi, sebelum teriakan penggemar menyebut nama Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan berganti ke Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo, lebih dulu ada generasi Christian Hadinata/Ade Chandra yang menguasai sektor ganda putra. Selain itu, Koh Chris juga bermain rangkap untuk sektor ganda campuran. Prestasinya bersama Imelda Wiguna hingga Regina Masli, boleh diadu.
Maka, tak ada yang menyangsikan pengalaman Koh Chris selama aktif berkarier. Legenda hidup asal Purwokerto ini lantas mengaku kehidupannya dulu sebagai atlet jauh berbeda dengan sistem pemusatan latihan nasional (pelatnas) milik Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sebagai payung skuat nasional Indonesia saat ini.
Bahkan, juara dunia ganda putra dan ganda campuran musim 1980 itu nyaris meninggalkan dunia bulu tangkis karena keterbatasan dana. Raket, shuttlecock, sepatu, hingga pergantian senar membuat bulu tangkis berstatus olahraga mahal di era 1970-an. "Kalau tidak diajak sama sahabat saya itu (Wie Wie Kian) maka saya tidak main. Saya main pun tanpa alas kaki karena tidak punya uang untuk beli sepatu,” ujar Koh Chris dikutip dari laman resmi PB Djarum.
ADVERTISEMENT
Namun, dia yang bertahan di bulu tangkis itu berhasil menjadi juara di berbagai ajang. Saat memutuskan pensiun dari skuat nasional pada 1988, Koh Chris pun bisa gantung raket dengan warisan segudang prestasi bagi Indonesia. Lalu, Koh Chris beralih menjadi pelatih dan aktif di PB Djarum hingga sekarang.
"Pemain sekarang memang lebih berat dari segi fokus dan konsentrasi. Semakin top dan sering juara, tekanan makin besar. Latihan juga tidak boleh menurun. Kompetisi dengan negara lain juga semakin ketat seperti balapan lari, kalau fisik menurun, ya, kita ketinggalan. Saat ini juga dengan begitu banyaknya turnamen, kondisi fisik paling sulit dijaga," kata Koh Chris kepada kumparanSPORT di Jakarta Pusat.
Dulu, lanjut Koh Chris, para atlet bulu tangkis nasional tidak memiliki agenda turnamen sepadat zaman now. Saat ini, pebulu tangkis Top 10 di sektor ganda dan Top 15 sektor tunggal wajib mengikuti 12 turnamen rutin BWF. Belum lagi jika di tahun itu bertepatan Thomas & Uber, Sudirman, atau multiajang Asian Games dan Olimpiade.
ADVERTISEMENT
"Dulu pemain jarang sekali bertanding. Sebagai bayangan, ketika main di All England bulan Maret, Januari dan Februari kosong turnamen. Setelah All England, agenda tergantung tahunnya. Dulu Piala Thomas & Uber dan Kejuaraan Dunia tiga tahun sekali. Multievent Asian Games empat tahun sekali," tutur Koh Chris.
"Di generasi saya persiapan fisik dan mental memang lebih lengkap karena banyak waktu latihan. Tapi jadi muncul masalah untuk mengatasi kebosanan itu karena latihan terus dan jarang ke luar negeri (untuk bertanding)," imbuhnya.
Solusinya, Koh Chris dan para legenda lain menjajal olahraga lain, misalnya sepak bola, basket, dan tenis. Selain untuk menjaga kondisi tubuh agar selalu fit, mereka bermain di luar bulu tangkis untuk mengatasi jemunya mengisi banyak waktu kosong hanya di lapangan hijau bulu tangkis.
ADVERTISEMENT
"Sering juga pertandingan persahabatan, misalnya main basket dengan atlet tinju atau main sepak bola dengan atlet sepak takraw. Selain mencari kedekatan, suasana bosan latihan (bulu tangkis) juga bisa dinetralkan dan dieliminasi," katanya.
Kisah sang legenda hidup ini berganti ke fragmen tips menjadi juara. Bagi Koh Chris, atlet harus bisa menjaga mental dan fokus latihan. Mental juara menjadi modal melawan rival-rival berat di lapangan. Sementara fokus berlatih, bukan rahasia lagi merupakan obat pahit di balik manisnya kesuksesan atlet-atlet kelas dunia.
"Sebelum bertanding itu pasti tegang. Grogi, sih, tidak, tapi tegang memikirkan bagaimana nanti main, bisa bagus tidak. Tapi kalau dilengkapi dengan latihan dan persiapan yang baik, bisa jadi modal untuk mengatur pola bertemu lawan," ucap Koh Chris.
ADVERTISEMENT
"Di sektor ganda lebih nyaman, karena ada teman untuk diskusi. Ketegangan dibagi dua, ada bertukar strategi juga. Ini bagus menurunkan tensi ketegangan. Begitu start pertandingan 0-0 sih hilang, kok, groginya,".
Apalagi dengan agenda padat turnamen dalam semusim, para pemain top juga mendapat tugas tambahan selain berprestasi, yakni dipaksa memikirkan cara menjaga gelar. Dari syarat beratnya menjadi juara itu, contoh teranyar yang lolos ujian bagi Koh Chris adalah Marcus/Kevin.
Duo berjuluk 'Minions' itu sudah mengoleksi delapan gelar BWF dan satu emas Asian Games tahun 2018, bahkan sebelum musim resmi ditutup. Torehan itu memecahkan rekor mereka musim lalu dengan tujuh gelar BWF. Menurut Koh Chris, kelebihan Marcus/Kevin adalah mental juara dan cuek alias main tanpa beban di setiap pertandingan. Koh Chris yakin, mereka bisa menambah gelar jadi sepuluh di World Tour Finals.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Koh Chris berharap prestasi 'Minions' itu bisa menjadi role model para pemain lain di pelatnas saat ini, juga menjadi panutan bagi para pemain junior maupun calon-calon juara yang tersebar di klub-klub Tanah Air.
"Ini satu kondisi yang positif. Dalam artian, anak-anak pelatnas sekarang harus bisa jadi panutan bagi generasi berikutnya yang ada di klub. Anak-anak usia dini juga pasti melihat idola mereka seperti apa. Tergantung juga dengan prestasi setiap nomor, di sektor ganda putra ada Marcus/Kevin. Lalu tunggal putra tenar di Asian Games, jadi banyak yang mau jadi pemain tunggal. Yang sulit itu sektor tunggal putri, belum ada yang jadi idola lagi," tutupnya.