Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Kita memiliki cerita ini entah berapa tahun lalu, ketika ujian menjadi satu-satunya perkara menakutkan.
ADVERTISEMENT
Yang berputar-putar dalam otak bukan bagaimana caranya mendapatkan nilai terbaik, tapi acara bersenang-senang macam apa yang kita lakukan begitu pekan ujian memuakkan itu selesai. Yang kita pikirkan sedapat-dapatnya adalah strategi menyontek berjemaah agar seisi kelas mendapat nilai yang baik. Yang membuat kita pening waktu itu cuma menyembunyikan nilai yang buruk dari orang tua kita masing-masing.
Di sela-sela babak akhir kualifikasi Wimbledon 2019 , Cori 'Coco' Gauff adalah kita. Oke, kita di tahun-tahun lampau yang mengerjakan soal-soal ujian sains dengan kening berkerut. Bedanya, ia tak menempuh ujian di kelas, tapi via remote karena mesti mengadu nasib di atas lapangan rumput Wimbledon.
Begitu ujian tuntas, Coco mencetak sejarah. Ia menjadi pemain termuda yang berlaga di Wimbledon lewat jalur kualifikasi.
ADVERTISEMENT
Tak perlu menanyakan apa yang kita lakukan saat berusia 15 tahun karena setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Untuk setiap manusia di muka Bumi, palu nasib menjatuhkan 'vonis' berbeda.
"Saya mendapat nilai B di ujian kemarin. Tapi, saya memberi nilai A untuk laga melawan Venus," seperti itu jawaban Coco di konferensi pers usai laga babak pertama Wimbledon 2019.
Berlaga melawan Venus, idolanya yang sudah lima kali menjuarai tunggal putri Wimbledon itu, di babak pertama Wimbledon sepertinya tak menjadi perkara memuakkan seperti ujian sains. Alih-alih gentar, Coco justru menyambutnya dengan keceriaan khas masa muda, "Wah, laga ini adalah mimpi yang jadi kenyataan."
Padahal, babak pertama adalah laga yang tak kalah krusial ketimbang partai final. Kalah di laga perdana, sudah pasti jalan untuk merengkuh juara kandas. Tapi, Coco melewatinya dengan brilian.
ADVERTISEMENT
Perlawanan dibangun Coco dengan pukulan-pukulan yang acap mematikan langkah Venus terlebih dahulu. Lewat keputusan taktiknya Coco menegaskan bahwa ia memahami kekuatan dan kelemahan senior sekaligus idolanya itu.
Catatan statistik Coco memang unggul atas Venus. Tapi, keunggulan itu bukan keunggulan yang berjarak kepalang lebar.
Ambil contoh lesakan winner-nya yang mencapai 18, sedangkan Venus ada di angka 16. Atau, empat ace Coco yang berbanding dengan dua ace Venus. Pun dengan poin yang dimenangi. Coco memenangi 63 poin, sementara Venus 52 poin.
Yang menjadi masalah terbesar adalah permainan Venus yang cukup 'jorok'. Di sepanjang laga, ia membuat 26 unforced error dan empat double faults. Sementara, Coco membuat lima double faults dan delapan unforced error.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, bukan berarti Coco tak gugup sama sekali. Apalagi, ini Wimbledon , turnamen tenis yang disebut-sebut paling masyhur dan elegan.
"Saya berulang kali bicara kepada diri sendiri supaya tetap tenang di sepanjang laga. Saya tidak pernah bermain di lapangan yang sebesar ini. Saya harus mengingatkan diri sendiri bahwa di mana pun, ukuran lapangan tenis itu sama."
"Saat kami berjabat tangan, ia memberikan ucapan selamat. Saya mengucapkan terima kasih atas segala hal yang dilakukannya di atas lapangan tenis. Tanpanya, tidak mungkin saya ada di sini," jelas Coco.
Kemenangan di babak pertama memang terlalu dini dirayakan dengan meriah. Tapi bagi Coco, menghargai setiap momen adalah cara untuk membuat tenis tetap menyenangkan walau ia sudah terjun sebagai profesional.
ADVERTISEMENT
Maka yang terlihat di No.1 Court itu adalah Coco yang menangisi kemenangannya. Ia termenung beberapa saat, menunjukkan tatapan tak percaya, dan gestur lain yang biasa tampak di pengujung laga final.
"Ini pertama kalinya saya menangis setelah pertandingan. Sebelum pertandingan ini, saya terakhir kali menangis ketika menonton adegan Iron Man mati di Avengers: Endgame. Mata saya berkaca-kaca setiap kali mengingatnya. Saya sangat menyukai Iron Man," cerita Coco.
Stark internship, Tony?