Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Di Atas Lapangan, Federer Tahu Caranya Menikmati Hidup
20 Februari 2018 16:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Bagi Roger Federer, tenis tidak lagi menjadi tumpukan deadline yang mesti selalu ditaati. Ia sudah memutuskan untuk mengubah ambisi di dunia tenis menjadi hal yang bukan urusannya.
ADVERTISEMENT
13 Februari 2018, tiga hari sebelum Federer kembali dinobatkan sebagai petenis peringkat satu dunia, ia berkata demikian, “Filosofi saya adalah, saya akan bertanding bila saya siap.”
Lewat kata-katanya itu, Federer sekali lagi ingin menegaskan, tidak perlu memaksa-maksanya bertanding. Tidak ada gunanya mengiming-iminginya dengan gelar, trofi, rekor, dan uang hadiah. Kalau ia tidak mau, ia tidak akan bertanding. Kalau ia merasa belum siap, jangankan bersusah-payah, mendaftarkan diri ikut turnamen dan bertanding asal-asalan saja ia tidak akan mau.
Federer kembali menjadi pemuncak peringkat tenis dunia pada 16 Februari 2018. Gelar semerbak ini direbutnya kembali setelah berhasil masuk ke babak semifinal Rotterdam Terbuka 2018. Di perempat final, ia berhasil mengalahkan petenis asal Belanda, Robin Haase, dalam pertandingan tiga set 4-6, 6-1, 6-1.
ADVERTISEMENT
Kemenangan ini tak cuma mengantarkannya menjadi pemuncak peringkat tenis dunia, tapi mencatatkan rekor sebagai petenis tertua yang menduduki peringkat satu dunia. Ia mengalahkan pemegang rekor sebelumnya, Andre Agassi.
Legenda asal Amerika Serikat ini mendapatkan rekornya seteleh menduduki peringkat satu dunia waktu berusia 33 tahun pada 2003. Federer berhasil memecahkan rekor karena menjadi nomor satu saat usianya menginjak 36 tahun 195 hari.
Gelar sebagai petenis peringkat satu dunia itu dilanjutkan Federer dengan meraih gelar juara di Rotterdam Terbuka 2018. Berhadapan dengan Grigor Dimitrov di partai final, ia berhasil menang dalam dua set langsung 6-2, 6-2. Kemenangan ini mengantarkan Federer kepada gelar juara ke-97 (nomor tunggal putra) di sepanjang perjalanan kariernya sebagai petenis profesional.
ADVERTISEMENT
Namun, sebenarnya, ada rekor menggiurkan lain yang bisa dipecahkan Federer: Mengalahkan Jimmy Connors yang berhasil merebut 109 gelar juara nomor tunggal di era kompetisi terbuka.
Di usianya yang tak lagi muda itu, seharusnya Federer bergegas. Mumpung masih ada waktu. Apalagi santer terdengar, ia akan pensiun setelah melakoni Olimpiade 2020.
Sugesti bagi Federer untuk bergegas ini bukannya tidak masuk akal. Tenis, bagaimanapun juga, adalah olahraga memecah rekor. Terlalu banyak rekor yang ditawarkan di ranah tenis.
Pembicaraan tentang tenis adalah pembicaraan tentang manusia. Dan manusia, adalah satu-satunya spesies yang begitu senang dengan bergegas-gegas dan mencapai sesuatu.
Alasan kecenderungan untuk bersegera itu, manusia tidak ingin berhadapan dengan target dengan wajah tertunduk. Manusia enggan berdiri di hadapan cita-cita dengan bersimbah malu. Semuanya harus tercapai. Waktu yang ada harus diisi dengan prestasi demi prestasi dan rekor demi rekor.
ADVERTISEMENT
Namun, Federer menolak segala macam tawaran menggiurkan nan logis itu. Dalam satu wawancara seusai final Rotterdam Terbuka 2018, Federer menjelaskan bahwa ia sadar bahwa ia punya kewajiban dan hak sekaligus.
Sebagai petenis, ia punya kewajiban untuk meraih gelar. Namun, ia juga punya hak untuk menolak bertanding sewaktu ia memang tidak ingin bertanding.
Sebelumnya, dalam satu wawancara menjelang semifinal Rotterdam Terbuka 2018 yang bertepatan dengan kembalinya ia sebagai petenis nomor satu dunia, Federer bahkan menjelaskan ia memilih untuk menikmati momentum ketimbang fokus pada pertandingan selanjutnya dan mencapai final.
Sebelum ini, Federer terakhir kali menduduki peringkat satu pada November 2012. Adapun, gelar pertamanya sebagai peringkat satu dunia direbutnya tahun 2004, saat usianya menginjak 22 tahun.
ADVERTISEMENT
Federer menanggapi keberhasilan itu dengan kejenakaan dan pengertian sekaligus. Katanya, ia sadar bahwa ini yang pertama kali setelah enam tahun. Yang bersaing memperebutkannya adalah petenis-petenis yang jauh lebih muda daripadanya, dengan segala macam kelebihan dan kekuatan fisiknya.
Namun, Federer juga sadar bahwa menjadi nomor satu di ranah tenis dalam usia yang tak lagi muda adalah perkara surreal. Apa-apa yang surreal kerap mementingkan aspek non-rasional.
Makanya, ketimbang fokus pada pertandingan selanjutnya dan mempertahankan peringkat, ia lebih memilih untuk menikmati waktu dengan minum sampanye dan tidak memikirkan apa pun tentang semifinal, apalagi kemungkinan mencapai final.
Membicarakan Federer yang sekarang seperti membicarakan rekan kerja yang wataknya sukar dipahami. Orang seperti ini tidak serupa rekan kebanyakan. Ia adalah orang yang dilimpahi bakat, apa-apa yang diselesaikannya kerap mendekati sempurna. Namun, masalahnya, orang seperti ini biasanya kelewat santai. Ia kerap tampil sebagai pekerja yang tak ambil pusing dengan tenggat waktu.
ADVERTISEMENT
Bila ia diperhadapkan dengan dua jalan, ketimbang memilih jalan tol yang mengantarkannya sampai ke tempat tujuan secepat mungkin, ia akan memilih jalan yang berkelok-kelok, naik-turun, dan memakan waktu lebih lama untuk sampai ke tujuan. Namun, dalam waktu yang lebih lama ini pula, ia akan mengisi mata para penumpang dengan pemandangan indah.
Beberapa tahun terakhir, gelagat seperti ini pula yang kerap ditunjukkan oleh Federer. Gelar peringkat satu dunia dan rekor-rekor lainnya bakal lebih cepat dicapai jika ia mengikuti banyak kompetisi. Namun, dibandingkan bekerja terlalu keras dan mengikuti banyak turnamen, petenis asal Swiss ini lebih memilih untuk mengikuti ternamen yang penting-penting saja.
Hasilnya, comeback Federer tahun 2017 membuahkan hasil tak sepele. Ia memenangi Australia Terbuka dan Wimbledon 2017. Setelahnya, awal tahun 2018 ia juga menjadi juara di Piala Hopman dan Australia Terbuka 2018.
ADVERTISEMENT
“Sama seperti Anda dapat bertanding lebih sering jika Anda menginginkannya, Anda juga dapat bermain lebih jarang jika Anda menginginkannya. Tentu saja saya tidak menginginkan orang lain -terlebih petenis- yang usianya masih 25 tahun, sudah berpikiran seperti saya.”
Federer yang sekarang memang tampil sebagai petenis yang santai. Ia menjadi antidot di ranah olahraga yang begitu disibukkan dengan kompetisi. Namun, ucapannya tadi (kalimat terakhir) membuktikan bahwa ia pun memperhatikan kepresisian dalam hidupnya.
Bagi Federer, prinsip itu berlaku bagi orang-orang sepertinya, yang sudah mendekati garis akhir perjalanan kariernya. Sehingga pada akhirnya, ia dapat bercerita tentang bagaimana nikmatnya menjalani hidup sebagai petenis sampai ke puncak-puncaknya.
Karena ini pula, ia memberikan dua pelajaran berbeda di gelaran Australia Terbuka 2018 lalu. Di pertandingan semifinal, ia mengajari Chung Hyeon , untuk tetap logis dalam berkarier. Menjadi logis berarti tidak memaksakan diri saat kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan.
ADVERTISEMENT
Kala itu, Hyeon harus mundur karena cedera. Bukan keputusan mudah, tapi jauh lebih bijaksana daripada harus pensiun muda akibat terlambat membereskan cedera.
Sementara di final, ia mengajari Marin Cilic bagaimana caranya menggantungkan hidup sebagai petenis seperti orang gila. Saat kau kalah di set pertama, sepayah apa pun keadaanmu, kau harus berusaha sedapat-dapatnya membalasnya di set kedua. Terus, sampai set kelima, sampai ke akhir pertandingan.
Sebelum cedera yang didapatinya tahun 2016, Federer selalu menjejali tubuhnya dengan pertandingan dan kompetisi. Hidupnya digerakkan oleh hasrat meraih gelar juara sebanyak-banyaknya. Barangkali, karena itu pula, sebagian besar pencinta tenis menyukai dan mengagumi Federer.
Namun, dalam dua tahun terakhir, tenis Federer keluar dari kendali kompetisi dan pertandingan. Ia menjadi lebih sederhana, tidak lagi dicacah-cacah oleh beragam tuntutan nama besar dan gelar juara.
ADVERTISEMENT
Federer mulai memasukkan kesenangan demi kesenangan ke dalam cerita tenisnya. Bukan karena ia sudah tak peduli dengan kariernya sebagai petenis, tapi karena sudah waktunya bagi Federer untuk menikmati tenisnya sendiri.