Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Di Atas Lapangan Tenis, Serena Williams Adalah Aturan Itu Sendiri
31 Agustus 2018 10:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat (AS) Terbuka 2018 ditandai dengan kedatangan Serena yang meriah. Di atas lapangan, ia bertanding dengan mengenakan kostum rok tutu, persis seperti penari balet.
Di pertandingan pertamanya pada Selasa (28/8/2018) waktu AS, Serena mengenakan kostum tutu warna hitam legam. Modelnya mirip one shoulder. Serena memakainya dengan tenang, setenang kemenangan dua set 6-4 60 atas petenis Polandia, Magda Linette.
Di pertandingan kedua, kostum serupa penari balet itu masih belum terlepas dari tubuhnya. Kali ini, warnanya ungu muda. Setelah menutup laga melawan petenis asal Jerman, Carina Witthoeft, dengan kemenangan 6-2 6-2, ia tak segera meninggalkan lapangan.
Di atas lapangan Arthur Ashe Stadium itu, ia melakukan gerakan memutar tubuh. Lagi-lagi, persis penari balet. Serena merayakan kemenangannya dengan caranya sendiri.
ADVERTISEMENT
“Let the world watch us conquer,” Biarkan dunia menyaksikan kita menjadi pemenang, seperti itu Serena menulis soal penampilannya di pertandingan pertama AS Terbuka 2018 tadi.
Kostum Serena kembali menjadi pembicaraan. Di Prancis Terbuka 2018, ia mengenakan kostum yang kelewat berbeda. Alih-alih memakai gaun tenis, ia memilih kostum hitam. Bawahannya adalah celana ketat warna hitam dengan aksen merah menyala pada pinggangnya. Rambutnya dicepol tinggi. Ketika ditanya para wartawan, ia menyebut kostum tadi dengan istilah Wakanda Catsuit.
“Saya menyebutnya.. Seperti apa, ya, seperti catsuit yang terinspirasi dari Wakanda. Kami mendesainnya jauh sebelum film itu tayang. Namun, kostum ini tetap mengingatkan saya tentang film Black Panther."
"Saya selalu hidup di dunia fantasi. Saya selalu ingin menjadi pahlawan super, dan ini cara saya untuk menjadi seorang pahlawan super,” seperti itu Serena berkisah tentang kostum Wakanda-nya di konferensi pers Prancis Terbuka.
ADVERTISEMENT
Ternyata, untuk menjadi pahlawan super, Serena hanya perlu mengayun raket dengan mengenakan kostum Black Panther di atas lapangan tanah liat.
Kostum yang dikenakannya itu mengundang masalah berbulan-bulan kemudian. Beberapa hari jelang AS Terbuka 2018 dimulai, kostumnya itu dicekal dari gelaran Prancis Terbuka untuk selamanya. Serena tak mengamuk. Sepintas, ia terlihat diam. Tapi, Serena selalu bekerja dalam diamnya. Tahu-tahu, AS Terbuka dimasukinya dengan kostum tutu yang meriah.
Tenis adalah olahraga yang begitu karib dengan tatanan. Ada banyak aturan ruwet yang konon, harus dipatuhi oleh para petenis. Mereka yang memberontak tak akan punya tempat, tak akan diterima dengan baik di atas lapangan tenis.
Namun, sebagian dari para petenis itu tak punya urusan apa-apa dengan penerimaan. Yang menjadi urusan mereka adalah bagaimana merengkuh prestasi sehebat-hebatnya.
ADVERTISEMENT
Segala hal yang dilakukan Serena dengan kostum-kostumnya itu mengingatkan dunia tenis pada Billie Jean King. Sosok yang menjadi pelopor ‘perlawanan’ petenis wanita. Bila ditarik mundur, 1968 menjadi kali pertama kompetisi tenis era terbuka. Kompetisi ini memungkinkan para petenis profesional dan amatir bertanding di atas satu lapangan yang sama.
Wimbledon pertama di era kompetisi terbuka dimenangi oleh Billie Jean King. Uang hadiah yang diterimanya saat itu sebesar 750 poundsterling. Seketika ia menyadari bahwa jumlah ini jauh lebih kecil daripada yang diterima pria. Waktu itu, juara nomor pria, Rod Laver, menerima uang hadiah sampai 2.000 poundsterling.
Billie Jean memberontak dengan caranya. The Original IX lahir pada 1971. Bersama delapan orang petenis wanita dan pendiri majalah khusus tenis bernama World Tennis, Gladys Heldman, Billie Jean membangkang pada kebijakan Federasi Tenis Amerika Serikat (USTLA) dan memboikot turnamen.
ADVERTISEMENT
Dengan kontrak masing-masing sebesar USD 1, mereka mengikuti turnamen bentukan mereka sendiri yang bertajuk Virginia Slims Circuit. Koneksi dan tangan dingin Heldman pada akhirnya berhasil menggandeng sebuah perusahaan rokok sebagai sponsor. Hadiah USD 309.100 pun ada dalam genggaman mereka.
Keputusan Billie Jean dan delapan petenis wanita lainnya ini berisiko tinggi. Aksi mereka membuat USTLA mendepak kesembilannya. Akibatnya, mereka tak akan bisa menerima tunjangan hidup yang biasa mereka dapat dari federasi.
Karena selalu ada harga yang harus dibayar untuk setiap hal, maka Billie Jean memutuskan untuk membayar harga tersebut. Lunas, tanpa tabiat berlagak susah.
Dalam kisahnya kepada The Guardian, Billie Jean memulai tenisnya dengan pertanyaan seperti ini, “Waktu saya berumur 12 tahun, saya menyadari para petenis mengenakan kostum tenis yang seragam. Terusan putih, sepatu putih, semuanya berwarna putih. Lantas saya bertanya: Kenapa harus putih melulu? Ke mana warna yang lain?”
ADVERTISEMENT
Dan setelahnya, mereka yang bertanding di Virginia Slims mulai mengenakan kostum yang tak putih melulu. Pemandangan yang sederhana, tapi menjadi penanda bahwa era tenis yang baru sudah dimulai. Tenis yang tak lagi takut-takut untuk menggebrak tatanan.
Serupa Billie Jean yang begitu gemar melanggar tatanan lewat permainan tenisnya, Serena pun demikian. Di era 1990-an, tenis bagi orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat adalah perkara yang mendekati muskil.
Amerika Serikat bukan negara yang karib dengan tenis. Bisbol, basket, dan rugbi adalah olahraga yang paling populer. Untuk mendalami ketiganya juga terbilang mudah. Sarana dan fasilitasnya bisa ditemukan di banyak tempat. Sementara tenis, fasilitas dan sarananya hanya ada di sekolah-sekolah mewah.
Namun, Serena tak peduli dengan 'aturan-aturan' itu. Ia tak ingin terbenam dalam keadaan yang katanya, menjadi takdirnya sebagai orang kulit hitam. Serena membuat peraturannya sendiri. Ia menjadi aturan yang hidup di ranah tenis itu sendiri, memasukkan namanya sebagai bagian dari sejarah tenis.
ADVERTISEMENT
Tenis adalah panggung prestasi bagi orang-orang kulit putih. Sepanjang sejarah, hanya ada enam petenis kulit hitam yang pernah mendapatkan gelar Grand Slam: Arthur Ashe, Yannick Noah, Althea Gibson, Venus Williams, Serena, dan Sloane Stephens.
Tenis milik Serena tidak mengambil lapangan mewah dan akademi tenis sebagai tempat kelahiran. Alih-alih berguru pada seorang pelatih mumpuni, Serena dan kakaknya, Venus, berlatih bersama ayahnya. Lucunya, sang ayah juga bukan seorang petenis. Untuk melatih kedua putrinya ini, sang ayah hanya bermodalkan video-video pertandingan tenis.
Di atas lapangan umum seadanya, Serena berlatih melakoni servis, smes, ace, dan winner. Di atas lapangan yang membikin lutut babak-belur bila terjatuh, Serena memupuk asa untuk menjadi petenis dunia.
ADVERTISEMENT
Asa itu tak dibicarakannya lantang-lantang. Apalagi, sang ayah juga tak punya rencana panjang mengenai karier tenis anak-anaknya. Ayahnya ini hanya ingin anaknya bermain tenis sampai umur 25 tahun. Dengan karier yang pendek itu, ia berharap kedua putrinya memenangi uang hadiah. Lantas, uang itulah yang dijadikan modal bisnis bagi keduanya saat sudah menggantung raket.
Namun, hitung-hitungan logis macam itu tak pernah menjadi urusan Serena. Ia tetap bertanding dari satu lapangan ke lapangan lainnya. Empat tahun setelah terjun ke ranah tenis profesional, atau tepatnya saat berusia 18 tahun, Serena memenangi gelar Grand Slam pertamanya.
Di usianya yang sudah memasuki angka 35 tahun, ia merebut gelar Grand Slam ke-23-nya di nomor tunggal putri. Bagi kebanyakan orang, itu bukan usia yang wajar untuk merebut gelar Grand Slam. Namun, Serena terbiasa mempersetankan kewajaran.
ADVERTISEMENT
Saat orang-orang menilai ia tak akan mungkin lagi bertanding di turnamen kompetitif seusai melahirkan, Serena tetap turun lapangan. Ia bahkan mencapai final Wimbledon 2018, walau semua tahu, Serena kalah dua set langsung di babak final.
Orang-orang boleh terkejut, terbengong-bengong dengan kostum Serena yang begitu berbeda. Namun, Serena terbiasa untuk menjadi berbeda sejak terjun pertama kali ke dunia tenis. Saat petenis-petenis wanita lain merayakan kemenangannya dengan tetap menjaga etika, Serena berteriak lantang. Tanpa ragu, ia mengacungkan tinju setinggi-tingginya ke udara. Meneriakkan kata-kata kasar bila gagal merebut angka dan kemenangan.
Lengannya terlalu berotot, kata sejumlah pelatih petenis wanita. Kata para kritikus, perawakannya terlalu kasar, seperti mengkhianati keanggunan tenis yang begitu dijaga para pegiatnya. Kostumnya sudah meriah sejak dulu. Tak jarang jepretan kamera wartawan menangkap kostum warna-warni Serena di sejumlah laga. Rambutnya dikepang banyak-banyak. Pokoknya, lapangan tenis menjadi begitu heboh bila Serena ada di sana.
ADVERTISEMENT
Karena terlalu berbeda itulah, Serena menjadi sosok yang kerap disisihkan dari dunia tenis. Ada begitu banyak hinaan yang diterimanya. Pakailah waktu dua atau tiga menit dengan mesin pencari internet untuk menemukan hinaan yang menyebutnya sebagai gorila atau apa pun yang berusaha menjatuhkan gambar dirinya.
Namun, Serena tak ambil pusing. Ia tetap bertanding dari satu lapangan ke lapangan lain, mengembangkan senyum di seremoni-seremoni penyerahan trofi Grand Slam. Saat dunia berusaha menjatuhkannya, Serena tetap mendaki puncak gunung prestasi. Menjadi ratu, menjadi yang tak tergoyahkan.
Di laga keduanya di AS Terbuka 2018, Serena bertanding di atas Arthur Ashe Stadium, yang terkenal sebagai lapangan utama di venue yang bertajuk USTA Billie Jean King National Tennis Center. Nama lapangan itu begitu keramat di ranah tenis.
ADVERTISEMENT
Sebabnya, Arthur Ashe dikenal sebagai pria kulit hitam pertama yang menjadi bagian dari Tim Amerika Serikat yang berlaga di Piala Davis (1963). Tak cuma di Piala Davis, Ashe pun mashyur sebagai petenis pria kulit hitam pertama yang memenangi nomor tunggal Amerika Serikat Terbuka (1968), Australia Terbuka (1970), dan Wimbledon (1975).
Pada 1980, Ashe memutuskan untuk mundur dari dunia tenis karena masalah pada jantungnya. Namun, ceritanya tak berhenti di situ. Pada 1992, secara terbuka Ashe mengumumkan bahwa ia adalah ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Ia terjangkit AIDS kala melakoni transfusi darah untuk operasi bypass jantungnya.
AIDS tak cukup hebat untuk membuat Ashe mundur dari kehidupannya. Ia mendirikan Arthur Ashe Foundation for the Defeat of AIDS, yang fokus memberikan pengajaran dan pendampingan tentang AIDS, serta memperjuangkan kehidupan para ODHA.
ADVERTISEMENT
Meninggal dunia pada 1993, namanya diabadikan sebagai nama lapangan utama venue AS Terbuka pada 1997. Lapangan itu menjadi bukti, Ashe tak mengindahkan 'aturan' bahwa hidup seseorang bakal habis sesaat setelah terjangkit AIDS. Lapangan itu menjadi saksi bahwa nasib bukanlah perkara yang terlalu hebat sehingga tak bisa dilawan sama sekali. Perjuangan Ashe menjadi dasar bagi mereka yang menapakkan kaki di atas lapangan itu, termasuk Serena.
Tak ada yang tahu, di AS Terbuka tahun ini, di babak berapa langkah Serena akan terhenti. Namun, selama ia masih bisa mengayun raket, selama itu pulalah ia akan merebut tempat dari mereka yang berusaha menyingkirkannya dari lapangan tenis. Kali ini, Serena merebut tempatnya dengan rok tutu, dengan keanggunan yang tak kehilangan kekuatan dan kejenakaannya. Dengan caranya sendiri, dengan aturannya sendiri.
ADVERTISEMENT