Evonne Goolagong dan Tenis yang Berpihak pada Orang-orang Aborigin

26 Januari 2018 14:47 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Evonne bertanding di Prancis Terbuka 1973. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Evonne bertanding di Prancis Terbuka 1973. (Foto: AFP)
ADVERTISEMENT
Di tengah ingar-bingar pertandingan Roger Federer melawan Hyeon Chung di semifinal Australia Terbuka 2018, Australia diingatkan kembali tentang satu dari orang-orang Aborigin yang sempat tersisih dari negeri mereka sendiri. Namanya, Evonne Goolagong-Cawley. Ia tak menggenggam bumerang. Goolagong-Cawley menggenggam raket dan mengirim bola dari satu lapangan ke lapangan lain.
ADVERTISEMENT
Gelar Grand Slam pertama Goolagong-Cawley diraihnya pada gelaran Prancis Terbuka dan Wimbledon tahun 1971. Setelahnya, Grand Slam berlanjut di Australia Terbuka empat tahun berturut-turut, 1974-1977, serta Wimbledon 1980.
Di hari-hari terakhir gelaran Australia Terbuka 2018, negeri kanguru menggelar Australia Day Awards. Tanggal 26 Januari diperingati sebagai hari ulang tahun Australia. Di peringatan ini, negara secara resmi menganugerahkan penghargaan kepada mereka yang dianggap punya jasa yang tak sedikit untuk Australia. Evonne Goolagong-Cawley menjadi salah satu penerimanya.
Penghargaan bertajuk Order of Australia ini diberikan kepada Goolagong-Cawley bukan hanya karena prestasinya di ranah tenis, tapi komitmennya untuk memperjuangkan hak-hak orang Aborigin lewat tenis. Goolagong-Cawley percaya bahwa tenis dapat membantu mereka mendapatkan hidup yang lebih sehat dan layak, serta tingkat edukasi yang lebih tinggi. Rencananya, seremoni penyerahan penghargaan ini bakal digelar menjelang pertandingan final nomor ganda wanita Australia Terbuka, Sabtu (27/1/2018), di Rod Laver Arena.
ADVERTISEMENT
Tenis Evonne Goolagong-Cawley tumbuh di antara nasihat sahih ibunya, “Segeralah bersembunyi tiap kali kamu melihat mobil melintas di jalanan atau orang kaya itu akan mengangkutmu entah ke mana.”
Kekhawatiran ibunya bukan tanpa alasan. Pada periode 1910 hingga 1970 lebih dari 100 ribu anak-anak suku Aborigin direbut paksa dari orang tuanya untuk dipasangkan dengan orang tua angkat kulit putih. Australia menyebutnya sebagai bagian dari program asimilasi untuk membereskan Australia dari kemiskinan dan kebodohan.
Orang-orang Aborigin juga diwajibkan berbahasa Inggris dan membuang semua kebudayaan asli mereka. Laporan pengacara khusus untuk isu-isu sosial, Ronald Wilson, juga menyebutkan praktik diskriminasi dan genosida pernah dijalankan, bahkan setelah Australia secara sukarela menandatangani traktat internasional Piagam PBB 1948.
ADVERTISEMENT
Menengok sejarah yang sudah-sudah, orang-orang Australia sempat lupa tentang diri mereka sendiri. Semacam terjangkit amnesia massal yang membikin mereka tidak ingat siapa pendatang dan siapa tuan rumah. Suku Aborigin adalah penduduk asli Australia. Namun, tanah mereka direbut. Keberadaan mereka ditolak. Para pendatang muncul menguasai negeri.
Tumbuh di pinggir kota Barellan, New South Wales, Australia, Goolagong-Cawley terbiasa untuk hidup di tengah-tengah perlakuan diskriminatif dari orang-orang yang tak suka dengan keberadaannya sebagai keturunan Aborigin. Umur sembilan tahun, Goolagong-Cawley mulai menunjukkan ketertarikannya kepada tenis. Pangkal ceritanya sederhana. Goolagong-Cawley membaca majalah yang menyebut Wimbledon sebagai lapangan ajaib.
Tenis milik Goolagong-Cawley tidak bermula dari ayunan raket. Ia berlatih memukul bola menggunakan (semacam) dayung yang terbuat dari kayu pohon apel. Waktu itu ia belum punya kawan berlatih tanding. Ia berlatih seperti orang yang bermain skuas (tenis dinding). Yang membedakan, ia tidak memukul bola ke dinding, tapi ke tangki air raksasa yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
ADVERTISEMENT
Evonne & Billie Jean King, Prancis Terbuka 1972. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Evonne & Billie Jean King, Prancis Terbuka 1972. (Foto: AFP)
Sampai akhirnya, ia bergabung sebagai ball girl di Barellan War Memorial Tennis Club berdasarkan saran dari warga sekitar. Saat usianya menginjak 11 tahun, pelatih tenis asal Sydney, Vic Edwards, bersedia untuk menjadi pelatihnya. Demi mendapatkan fasilitas tenis yang lebih baik, ia pindah ke utara Kota Sydney dan tinggal bersama keluarga pelatihnya itu.
Pernah suatu kali, Goolagong-Cawley bertanding dalam nomor ganda wanita. Ia dipasangkan dengan anak perempuan Vic Edwards. Mereka melawan pasangan petenis yang usianya lebih dewasa. Pasangan Goolagong-Cawley menang mudah. Ketika mereka hendak berjabat tangan, salah seorang lawannya itu berkata demikian, “Baru kali ini saya bertanding melawan Negro. Dan begitu saya mengetahuinya, saya benar-benar marah.”
Statusnya sebagai keturunan Aborigin membuat Goolagong-Cawley sering menerima perlakuan diskriminatif. Di masa itu, ada banyak tempat dan fasilitas umum yang tidak boleh dimasuki oleh orang-orang Aborigin. Berita-berita yang muncul di surat kabar sering berbicara tentang orang-orang Aborigin dan program asimilasi yang mereka terima. Lantas, Vic Edwards punya cara sendiri untuk melindungi Goolagong-Cawley.
ADVERTISEMENT
“Pelatih saya (Vic Edwards) sering melarang saya membaca banyak hal. Belakangan saya sadar, ia sedang melindungi saya. Surat kabar kerap menulis tentang orang-orang Aborigin dan program asimiliasinya. Ia tidak ingin pikiran saya terganggu dengan hal ini. Terlebih, ia tidak ingin bacaan-bacaan itu merusak gambar diri saya sendiri,” ungkap Evonne menyoal kehidupannya di bawah asuhan pelatihnya ini.
Tahun 1971 menjadi tahun pertama Goolagong-Cawley melakoni pertandingan internasional. Di tengah gejolak politik apartheid Afrika Selatan, ia tampil sebagai satu-satunya petenis non-kulit putih di gelaran Afrika Selatan Terbuka 1971. Walau demikian, penampilan pertamanya itu menuai beberapa kritik. Ia dianggap tidak merepresentasikan keberadaan orang-orang Aborigin itu sendiri. Kabarnya, ia bertanding sambil menyandang status honorary white di turnamen tersebut.
ADVERTISEMENT
Di atas segala kritik yang ditujukan padanya, Goolagong-Cawley melaju sampai babak final. Sayangnya, ia menelan kekalahan saat berhadapan dengan petenis asal Australia lainnya, Margaret Court, dalam dua set langsung 6-3 6-1.
Afrika Selatan Terbuka menjadi batu loncatan terbaik bagi karier tenis Goolagong-Cawley. Sebulan setelah turnamen ini, ia menjajal Grand Slam pertamanya di Prancis Terbuka 1971. Mirip dengan Afrika Selatan Terbuka, ia sampai ke putaran final, berhadapan dengan Helen Gourlay, yang juga berkebangsaan Australia. Yang menjadi pembeda, ia keluar sebagai pemenang. Mei 1971, Goolagong-Cawley mengangkat trofi Grand Slam pertamanya.
Evonne saat melawan Nathalie Fuchs, 1973. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Evonne saat melawan Nathalie Fuchs, 1973. (Foto: AFP)
Perjalanan gelar Grand Slam Evonne berlanjut ke Wimbledon. Ia sampai juga ke lapangan magis, serupa dengan isi artikel majalah yang dibacanya waktu kanak dulu. Di Wimbledon, ia kerap bertanding di lapangan utama. Padahal, waktu itu usianya baru menginjak 18 tahun. Ia masih minim pengalaman walau sudah menjuarai Prancis Terbuka.
ADVERTISEMENT
Belakangan baru ia sadari bahwa namanya sudah dikenal di ranah tenis Inggris. Publikasi tentang sepak-terjangnya bermula dari satu tulisan olahraga yang bercerita tentang perjalanan tenisnya di Prancis Terbuka. Di tulisan itu, ia dijuluki La Belle Evonne.
Di partai final, Evonne mengalahkan Margaret Court dalam dua set langsung, 6-4 6-1. Uniknya, Margaret Court merupakan pasangannya di nomor ganda wanita. Di nomor ini, mereka takluk di tangan pasangan Rosie Casals/Billie Jean King di partai puncak. Goolagong-Cawley menjadi ratu Wimbledon. Mengangkat trofi jauh lebih menakjubkan dibandingkan tenggelam dalam cerita magis.
Perlakuan diskriminasi berlatar belakang ras kerap diterima Goolagong-Cawley walau ia sudah menjuarai Prancis Terbuka dan Wimbledon. Dalam wawancara yang dipandu oleh Matt Wajandie, Goolagong-Cawley bercerita tentang pengalamannya dan dua temannya yang juga keturunan Aborigin saat tidak diperbolehkan masuk ke tempat hiburan di Brisbane.
ADVERTISEMENT
“Saya berkata kepada dua teman saya itu, tidak masalah bila kami pergi ke tempat lain. Ternyata, dibandingkan saya, kedua teman saya merasa lebih tersakiti karena perlakuan itu.”
Perlakuan diskriminatif yang kerap diterimanya mendorong Goolagong-Cawley untuk bertindak lewat tenis yang digiatinya. Prestasinya tak berhenti sampai Wimbledon 1971. Ia beberapa kali menjadi juara Grand Slam. Rentetan gelar juara yang dimenanginya membuktikan bahwa di lapangan tenis, selalu ada tempat untuk semua orang-orang yang tersisihkan.
Goolagong-Cawley pensiun sebagai petenis tahun 1983. Tahun 1975, ia menikah dengan mantan petenis asal Inggris, Briton Roger Cawley. Sebelum pulang ke Australia tahun 1991, Evonne dan suaminya tinggal di Florida. Kematian ibunya memantik keinginan mereka untuk pulang dan menetap di kampung halaman.
ADVERTISEMENT
“Saya ingin anak-anak saya hidup dekat dengan akar keluarga mereka. Saya ingin mereka belajar tentang orang-orang Aborigin dan mempersiapkan diri sedini mungkin. Saya tak mau mereka menerima perlakuan seperti yang saya terima sewaktu kecil dulu,” seperti itulah Goolagong-Cawley menjelaskan mengapa ia dan suaminya berkukuh menetap di Australia.
Upaya Evonne untuk tetap melekat dengan ‘akarnya’ tak berhenti sampai keputusan menetap di Australia. Sejak pensiun sebagai atlet, Evonne diangkat sebagai Duta Federasi Olahraga Australia untuk Aborigin dan Kepulauan Selat Torres. Tahun 2012, ia mendirikan Evonne Goolagong Foundation. Organisasi ini memfokuskan diri untuk memperjuangkan hak anak-anak Aborigin lewat tenis.
Sebagai profesional, Goolagong-Cawley memang sudah menggantung raket. Namun, tenis miliknya belum berhenti. Ia masih ada, menjadi tempat anak-anak Aborigin menggantung asa. Goolagong-Cawley memang sudah berhenti mengangkat trofi Grand Slam. Namun, ia masih belum berhenti mengangkat hidup orang-orang yang kerap tersisihkan.
ADVERTISEMENT