Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Formula 1 2019: Musim Baru, Aturan Baru, Pebalap Baru
13 Maret 2019 16:48 WIB
Diperbarui 20 Maret 2019 20:07 WIB
ADVERTISEMENT
Formula 1 memasuki musim 2019, para penggawa jet darat memacu diri untuk menjadi yang tercepat. Ini menjadi gelaran ke-70. Rangkaian perjalanan yang tak cuma panjang, tapi juga cepat dan menuntut siapa pun yang beradu cepat di atas sirkuit untuk mawas diri.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, ketika segala sesuatunya berjalan kencang, tubian mala yang berawal dari kelengahan gemar menerjang dalam sekejap. Dalam sekelebat, bayang-bayang podium juara beralih rupa menjadi penyesalan.
Perubahan demi perubahan menjadi makanan yang mesti ditelan oleh siapa pun yang bertekad untuk tetap tumbuh. Begitu pula dengan Formula 1. Aturan dan kebijakan baru bermunculan di gelaran musim ini.
Poin bonus untuk the fastest lap
Sistem poin menjadi kebijakan yang mendapat sorotan. Untuk pertama kalinya sejak 1959, Formula 1 menerapkan aturan poin bonus kepada pebalap yang mencatatkan predikat the fastest lap.
Penambahan poin bonus ini berlaku untuk setiap seri. Tapi, tambahan satu poin (ya, bonusnya cuma satu poin) ini hanya diberikan jika pebalap peraih the fastest lap itu menyelesaikan balapan di posisi 10 besar.
ADVERTISEMENT
Artinya, jika predikat tersebut direngkuh oleh pebalap yang menyelesaikan balapan di peringkat 11 dan seterusnya, poin tambahan tidak akan diberikan. Ini tidak menjadi kali pertama Formula 1 memberlakukan aturan poin tambahan. Pada gelaran 1950 hingga 1959, sistem ini sudah diterapkan.
Aturan ini mirip dengan yang diberlakukan oleh Formula E. Bedanya, Formula E tidak menyinggung soal 10 besar sehingga kalaupun peraih the fastest lap menyelesaikan balapan di posisi paling buncit, ia tetap akan diganjar dengan poin ekstra.
Sistem poin memang menjadi aturan yang paling sering diutak-atik di Formula 1. Alasannya sederhana. Sistem poin yang membuat balapan menjadi lebih seru. Misalnya, lihatlah apa yang terjadi pada 2014. Aturan double point untuk GP seri terakhir diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Mereka yang menutup balapan seri terakhir di urutan pertama hingga 10 akan diberi poin ganda. Jika pebalap podium puncak di seri-seri selanjutnya hanya diberi 25 poin, maka di seri terakhir akan diganjar 50 poin.
Sistem itu dirancang oleh Bernie Ecclestone, yang kala itu masih menjabat sebagai CEO Formula One Group, yang juga mengatur dan memegang hak siar Formula 1. Nah, aturan ini diperkenalkan sejak 2013 setelah Sebastian Vettel merengkuh hattrick sebagai juara dunia.
Musim itu memang menjadi periode emasnya Vettel. Pasalnya, ia berhasil menutup sembilan seri dengan podium puncak. Alhasil, gelar juara dunia sudah dapat dipastikan walau kompetisi masih menyisakan tiga seri.
Ketertebakan seperti inilah yang ingin disingkirkan FIA. Yang ada di benak mereka bagaimana membuat Formula 1 sebagai sarangnya kejutan. Dengan torehan poin ganda, peluang juara masih terbuka bagi para pebalap di akhir musim.
ADVERTISEMENT
Awalnya Ecclestone ingin menerapkan poin ganda ini di tiga seri terakhir: Austin, Brasil, dan Abu Dhabi. Namun, akibat pertentangan di sana-sini, Formula 1 akhirnya ketok palu dan menetapkan poin ganda hanya muncul di seri terakhir alias Abu Dhabi.
Utak-atik sistem poin memang acap berawal dari ide gila Ecclestone, tentu sebelum 2017, kala ia masih menjabat sebagai petinggi Formula One. Contohnya pada 2009. Kala itu ia mengusulkan aturan untuk memberi medali emas, perak, dan perunggu pada tiga pebalap tercepat. Lantas, gelar juara dunia ditentukan dari raihan medali emas terbanyak, bukannya akumulasi poin.
Ide itu bermula dengan rasa muaknya pada tim yang berfokus pada hitung-hitungan poin sehingga cenderung bermain aman. Balapan jadi membosankan, para pebalap memacu mobilnya dengan perhitungan yang kelewat presisi. Menurut pebisnis asal Inggris tersebut, sikap seperti ini tidak akan membuat balapan berlangsung seru.
ADVERTISEMENT
Walaupun cukup out of the box, usulan itu akhirnya batal direalisasikan karena kecaman di sana-sini. Kebanyakan pihak menolak karena percaya bahwa balapan adalah persoalan konsistensi.
Namun demikian, usulan radikal itu berdampak pada penambahan poin. Hingga 2009, para peraih podium puncak hanya mendapat delapan poin. Sementara sejak 2010, mereka diberi 25 poin.
Standar helm
Yang mengalami perubahan bukan cuma sistem poin, tapi juga standar keamanan. FIA menetapkan standar helm baru dengan penampakan visor yang lebih sempit ketimbang yang dipakai musim-musim sebelumnya. Sisi visor bagian atas memang sedikit diturunkan sekitar 10 milimeter demi memaksimalkan perlindungan balistik.
Helm standar baru ini mampu menahan benturan 9,5 meter per detik dan low lateral impact pada 8,5 meter per detik. Menariknya, helm ini juga diuji dengan menembakkan proyektil seberat 225 gram dengan kecepatan 155 mph.
ADVERTISEMENT
Helm ini dinyatakan lulus tes jika proyektil tidak menembus helm. Selain itu, helm tidak boleh rusak ketika dijatuhkan beban seberat 10 kg dari ketinggian 16 kaki (5.1 meter).
Untuk menyempurnakan, helm itu juga harus mampu melindungi pebalap dalam situasi kebakaran. Helm harus tahan paparan api 790 derajat celcius dan memiliki kemampuan untuk memadamkannya.
Penyederhanaan sistem ban
Ban bukan perkara rumit bagi kita yang tidak ikut membalap. Tapi bagi para pengendara jet darat, ban adalah perkara krusial. Makanya, lain medan dan situasi, lain pula ban yang digunakan. Untuk menandainya, Pirelli, sang pemasok ban, menggunakan warna yang berbeda.
Atas permintaan Formula One Group, Pirelli diminta untuk menyederhanakan pewarnaannya pada musim ini menjadi tiga warna. Warna merah akan digunakan untuk ban lunak (kompon lunak dan paling lunak).
ADVERTISEMENT
Sementara, warna kuning akan menjadi milik ban medium. Untuk ban keras (kompon keras dan paling keras) akan memakai warna putih.
Demi memudahkan para penonton memahami penggunaan ban pada Formula 1 , setiap kompon ban akan diberikan penomoran. Nah, seperti inilah penomoran dan pewarnaan kompon tersebut:
Kompon 1/C1 (paling keras) berwarna putih tanpa garis yang melingkari ban
Kompon 2/C2 (keras) memiliki garis melingkar warna putih
Kompon 3/C3 (medium) memiliki garis melingkar warna kuning
Kompon 4/C4 (lunak) memiliki garis melingkar warna merah
Kompon 5/C5 (paling lunak) berwarna merah tanpa garis melingkar.
Bila dibandingkan dengan musim 2018, jumlah kompon ban musim ini berkurang, dari tujuh menjadi lima. Kompon 1 memiliki racikan serupa dengan kompon hard musim lalu, sementara kompon 5 serupa dengan ban hypersoft.
ADVERTISEMENT
Batas bahan bakar dan pembakaran oli
Efisiensi menjadi perkara penting sejak Formula 1 memasuki era turbohibrida. Aturan demi aturan ditetapkan agar tidak melenceng dari prinsip yang satu ini. Akibatnya, FIA menaikkan batas bahan bakar dari 100 kg menjadi 105 kg pada 2018.
Kelonggaran tersebut dianggap belum cukup sehingga mulai 2019, batas bahan bakar dinaikkan menjadi 110 kg. Peningkatan batas bahan bakar ini juga setali tiga uang dengan keinginan penonton yang tentunya ingin menyaksikan balapan seru.
Kalau bahan bakarnya dibatasi terlalu ketat, para pebalap akan kesulitan untuk tampil ngotot. Lagipula, siapa juga yang mau menonton balapan yang tak adem-ayem?
Yang namanya balapan papan atas, tentu aturannya cukup njelimet dan membikin pening. Tapi, siapa yang ingin berpacu tak punya pilihan selain ikut aturan.
ADVERTISEMENT
Selain bahan bakar, pembakaran oli juga acap menjadi perbincangan. Sebenarnya kontroversi ini berawal dari pembakaran oli yang dilakukan oleh manufaktur Formula 1 demi menambah tenaga. FIA mengesahkan regulasi baru pada musim ini yang mewajibkan tangki oli cadangan mereka tetap kosong selama kualifikasi.
Menyalip setelah Safety Car
Di atas lintasan balap, setiap detik diperhitungkan. Terlambat sepersekian detik saja, bukannya tak mungkin podium juara melayang dari tangan. Karena ini pula, para pebalap mesti cerdik memanfaatan celah, termasuk dalam prosedur safety car.
Saat prosedur safety car diberlakukan, tak ada pebalap yang boleh menyalip. Tapi, aturan ini bukannya tanpa celah yang bisa dimanfaatkan. Pebalap bisa menyalip ketika safety car sudah kembali masuk pit, dengan syarat tambahan, pebalap sudah melintasi garis safety car, bisanya sebelum garis start/finis.
ADVERTISEMENT
Namun pada musim 2019, kelonggaran ini tidak diizinkan lagi. Pebalap hanya boleh melakukan overtake ketika sudah melintasi garis start/finish usai restart. Selain itu bendera hijau yang dulu dikibaskan di seluruh bagian sirkuit setelah balapan kembali berlangsung normal, kini hanya dikibaskan di garis start/finis.
Regulasi penalti grid
Aturan penalti grid juga acap membuat para pebalap mencak-mencak. Umumnya, penalti grid dijatuhkan kepada para pebalap yang memakai komponen mesin baru. Masalahnya, aturan tersebut membuat beberapa pebalap dihukum penalti lebih dari 100 grid.
Musim 2018, aturan ini dicoba untuk disederhanakan. Kalau para pebalap terkena hukuman lebih dari 15 grid, maka ia akan memulai balapan di garis terbelakang. Konyolnya, sistem yang demikian membuat munculnya antrean panjang di pit lane karena urutan grid ditentukan dari siapa yang keluar pertama kali saat sesi latihan bebas.
ADVERTISEMENT
Nah, mulai musim 2019, pebalap-pebalap yang memulai balapan dari grid paling belakang urutannya akan ditentukan dari hasil kualifikasi. FIA juga mengonfirmasi bahwa pebalap yang raihan waktu kualifikasinya di luar aturan 107% akan memulai balapan di belakang mereka yang terkena penalti mesin.
Bingung soal aturan 107%? Oke, begini penjelasan singkatnya. Aturan ini mengharuskan para pebalap menyimpan catatan waktu tidak melebihi 107% dari perengkuh pole position pada sesi kualifikasi.
Misalkan pemilik pole position catatan waktunya 60 detik, maka pebalap lain tidak boleh membukukan waktu catatan waktu lebih lama dari 64,2 detik (107% dari 60 detik). Tujuan dari pemberlakuan aturan ini jelas, yaitu untuk menjamin standar kecepatan Formula 1.
Pebalap baru, tim baru
ADVERTISEMENT
Yak, cukup dengan aturan-aturan barunya. Musim 2019 juga ditandai dengan perubahan pebalap. Yang pertama tentu Daniel Ricciardo yang hengkang ke Renault F1 Team menggantikan Carlos Sainz Jr setelah lima tahun membela Red Bull Racing.
Sementara, tempat Ricciardo digantikan oleh Pierre Gasly yang sebelumnya membalap bersama Scuderia Toro Rosso. Itu berarti, Gasly dan Max Verstappen akan membalap di bawah bendera yang sama.
Kalau Sainz Jr sendiri, berhasil mendapatkan tempat di McLaren yang ditinggalkan oleh Fernando Alonso, si perengkuh dua gelar juara dunia. Musim ini, Sainz Jr akan ditemani oleh juara Formula 3, Lando Norris, karena Stoffel Vandoorne memutuskan untuk melakoni musim 2019 di Formula E bersama HWA Team yang berafiliasi dengan Mercedes.
ADVERTISEMENT
Gonta-ganti skuat juga terjadi di Scuderia Ferrari. Kimi Raikkonen memutuskan untuk pulang kampung ke Sauber, tim yang dibelanya pada 2001. Tempat Raikkonen diduduki oleh Charles Leclerc yang meninggalkan Sauber. Sebagai catatan, tidak akan ada nama Sauber musim ini karena tim asal Swiss ini berganti tajuk menjadi Alfa Romeo Racing.
Raikkonen akan bertandem dengan pebalap asal Italia, Antonio Giovinazzi. Nama yang disebutkan terakhir bukan orang yang asing-asing amat di Alfa Romeo karena ialah yang dua kali menggantikan Pascal Wehrlein yang cedera pada 2017.
Bergeser ke ROKiT Williams Racing yang musim lalu menutup balapan di posisi 10, juara Formula 2, George Russel, menjadi pebalap yang penampilannya begitu dinanti. Pebalap asal Inggris itu akan bertandem dengan Robert Kubica yang memutuskan untuk kembali ke Formula 1 setelah hiatus sejak 2011.
ADVERTISEMENT
Cerita kembalinya Kubica ke Formula 1 bukan sebatas reuni, tapi kelahiran kembali. Pada 6 Februari 2011, ia terlibat kecelakaan hebat saat membela Renault yang membikin beberapa bagian tangannya diamputasi. Itu belum ditambah dengan patah di bagian siku, bahu, dan kaki.
Namun, Kubica tak menyerah. Pada September 2012, ia membuktikan comeback pun bisa terjadi di atas lintasan balap dengan memenangi Ronde Gomitolo Di Lana. Asanya untuk kembali membalap di Formula 1 meninggi usai direkrut Williams sebagai pebalap cadangan pada 2017 yang membuatnya beberapa kali turun lintasan saat tes pramusim.
Setelah berbagai tes dijalani, pujian menghujani Kubica. "Robert melakukan pekerjaan yang hebat. Kami sangat senang, tentu dengan melihat jumlah putarannya. Juga tak ada masalah dengan kondisi fisik Robert," kata Ketua Tim, Paddy Lowe, dilansir Express.
ADVERTISEMENT
Kisahnya bersama Tim Williams pun menguat, dari sekadar ikut tes pada 2017 hingga menjadi pebalap cadangan mulai 2018. Status resminya: Reserve & Development Driver, begitu dikutip dari laman resmi tim.
Selama menjadi pebalap cadangan Williams, Kubica berkesempatan menguji mobil FW41 dan segelintir sesi latihan bebas satu atau Free Practice 1 (FP1). Modifikasi untuk Kubica adalah ruang ekstra di kokpit mobil untuk tangan kanannya.
Jadi, begitulah. Formula 1 2019 diambang pintu. Pebalap-pebalap siap berpacu, tak hanya di atas lintasan, tapi juga dalam koridor aturan-aturan baru.
GP Australia akan menjadi seri pembuka, yang rangkaian latihan bebasnya akan digelar para 14-16 Maret 2019 di Sirkuit Grand Prix Melbourne. Sementara, kualifikasi dan balapan akan dihelat pada 17 Maret 2019.
ADVERTISEMENT