Jalan Panjang Carolina Marin Bangkit dari Cedera

10 Januari 2020 17:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Carolina Marin (kostum merah) dan Saina Nehwal di final Indonesia Masters 2019. Foto: ADEK BERRY / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Carolina Marin (kostum merah) dan Saina Nehwal di final Indonesia Masters 2019. Foto: ADEK BERRY / AFP
ADVERTISEMENT
Di hadapan cedera yang membuatnya luluh lantak, Carolina Marin berdiri, memungut puing-puing, dan membangun kembali segala yang runtuh.
ADVERTISEMENT
Musim 2019 adalah periode yang sulit bagi Marin. Tantangan yang dihadapinya sebagai pebulu tangkis tunggal putri di tahun tersebut bukan performa brilian lawan atau pebulu tangkis rising star yang menjegal para senior. Yang menjadi lawan terberatnya di sepanjang musim adalah cedera.
Mala itu didapatnya saat turun arena di final tunggal putri Indonesia Masters 2019. Marin yang sedang berlaga melawan wakil India, Saina Nehwal, mendapat cedera ligamen di gim pertama.
Ia menyerah lantas mengundurkan diri dari turnamen sehingga gelar juara jatuh ke tangan Nehwal. Marin langsung terbang ke Spanyol, negara asalnya, untuk mendapatkan perawatan secepat dan seintensif mungkin.
Pebulu tangkis Spanyol, Carolina Marin. Foto: MOHD RASFAN / AFP
Keputusan itu tepat karena ternyata Marin harus naik meja operasi. Bayangkan bakal seburuk apa jadinya jika ia memaksakan diri untuk tetap berlaga dan melanjutkan tur.
ADVERTISEMENT
Marin menepi dari lapangan selama 130 hari. Selama itu pula ia tidak berlatih bulu tangkis. Tanpa raket, tanpa shuttlecock.
Hari-harinya dipenuhi dengan proses pemulihan. Tak tanggung-tanggung. Hampir setengah hari dalam 24 jam dihabiskannya untuk mengurus diri, membereskan semua efek yang bercokol akibat cedera tersebut.
"Saya menangis sejadi-jadinya waktu dokter menunjukkan hasil CT-scan yang menegaskan bahwa saya cedera ligamen. Saya benar-benar patah hati," jelas Marin dalam wawancara eksklusifnya kepada El Pais, dilansir Olympic Channel.
"Setelah itu, saya mendedikasikan 10 jam setiap harinya untuk rehabilitasi, untuk pemulihan. Sepuluh jam itu dibagi dalam beberapa sesi, mulai dari fisik sampai teknik. Setiap pagi dan siang, saya menjalani sesi fisioterapi serta terapi di kolam renang," tutur Marin.
ADVERTISEMENT
Perhatikan setiap aspek secara detail. Marin tidak mau ada yang terlewat dari proses tersebut. Berangkat dari situ, ia tidak hanya memberi perhatian pada aspek fisik. Mental juga perlu diurus, dirawat, dan dijaga. Terlebih, ia atlet bulu tangkis nomor tunggal.
Carolina Marin merayakan gelar juara Olimpiade 2016. Foto: GOH Chai Hin / AFP
Pertandingan yang dihadapinya saban hari adalah pertarungan satu lawan satu. Itulah sebabnya, bahkan sebelum cedera, Marin kerap didampingi oleh dua psikolog sekaligus.
Yang pertama untuk kehidupan pribadinya, yang kedua untuk perjalanannya sebagai atlet, termasuk ketika dilanda cedera parah.
"Saya tinggal di Madrid selama 12 tahun. Saya datang ke sini saat berusia 14 tahun mulai memiliki psikolog sejak 15 tahun. Saya pikir mendapatkan pertolongan mental itu sangat penting, apalagi saya hidup di ranah olahraga satu lawan satu."
ADVERTISEMENT
"Orang-orang berpikir psikolog untuk orang gila. Saya pikir mereka salah. Psikolog adalah orang yang dapat membantumu untuk menjalani hidup dari hari ke hari," jelas Marin.
Psikolog olahraga Marin, Maria Martinez, bahkan mengakui setinggi apa komitmen Marin untuk segera turun arena. Di sepanjang proses pemulihan, Martinez menilai Marin sebagai orang yang punya toleransi tinggi terhadap rasa sakit.
"Sikap dan cara berpikirnya memampukannya memberikan yang terbaik untuk dirinya sendiri di sepanjang proses pemulihan. Ia punya sikap yang sama saat latihan, pemulihan, dan bertanding. Kekuatannya luar biasa," jelas Martinez.
Pebulu tangkis Spanyol, Carolina Marin. Foto: Kazuhiro NOGI / AFP
Tak hanya dua psikolog. Marin bahkan memiliki dua anjing yang punya peran penting untuk membantunya relaks dalam proses pemulihan.
Nama keduanya adalah Thori dan Suka. Kedua sahabatnya ini bahkan sudah setia menemani Marin bertahun-tahun sebelum cedera tersebut. Merekalah yang pertama kali menyambut Marin di bandara usai menjuarai Olimpiade 2016.
ADVERTISEMENT
Salah besar jika mengira usaha Marin sampai di situ. Selama proses pemulihan, Marin dan timnya memutuskan untuk menggunakan sensor telinga. Bukan, sensor di sini bukan istilah psikologi. Sensor secara harfiah, sensor betulan.
Jadi, selama latihan ia selalu menggunakan alat sensor di telinganya yang berfungsi untuk mengukur tingkat stres. Sensor tersebut mampu mengirim semacam sinyal ke komputer yang juga digunakannya selama latihan dan pemulihan.
"Kami menggunakan variabel detak jantung dan mengukur apakah tubuh bekerja secara koheren. Ini bisa dilakukan jika sistem saraf simpatis dan parasimpatis diatur dengan baik," jelas Marin, dikutip dari Olympic Channel.
"Sensor ini terhubung ke perangkat lunak yang memproses data sedemikian rupa sehingga dapat memberikan feedback secara real time. Salah seorang pelatih akan mengamati data yang muncul di sistem dan menggunakannya sebagai tolok ukur untuk sesi latihan hari itu," tutur Marin.
Carolina Marin merayakan gelar juara di China Open 2019. Foto: STR / AFP
Marin datang sebagai pendobrak hegemoni bulu tangkis Asia. Sebagian orang tahu bahwa bulu tangkis acap didominasi oleh atlet Asia.
ADVERTISEMENT
Namun, Marin datang dan menggebrak. Sebelum juara Olimpiade, ia sudah menggamit medali emas Kejuaraan Dunia (2014 dan 2015) serta Kejuaraan Eropa (2014 dan 2016).
Setelah emas Olimpiade itu pun, Marin masih menghentak. Ia menjadi juara Eropa pada 2017 dan 2018 serta juara dunia pada 2018.
Itulah sebabnya, ia tak mau setengah-setengah dalam proses pemulihan. Pun dengan keputusan comeback. Ia tak mau buru-buru.
Carolina Marin cedera di final Indonesia Masters 2019. Foto: ADEK BERRY / AFP
Ia baru turun arena kembali pada September 2019 di Vietnam Open. Itu artinya, ia harus absen di turnamen sebesar Kejuaraan Dunia pada Agustus 2019.
Segala keputusan itu diambil bukan karena ia takut. Namun, Marin menjadikan Olimpiade Tokyo 2020 sebagai target utamanya. Itulah sebabnya ia tidak mau sembrono.
ADVERTISEMENT
Segala upaya Marin mulai menunjukkan hasil. Gelar juara China Open 2019 menjadi torehan pertama setelah comeback.
Turnamen itu level 1.000, itu berarti lawan-lawannya juga bukan atlet sembarangan. Di final pun, Marin berhadapan dengan Tai Tzu Ying yang dua hari setelah laga puncak itu menjadi tunggal putri peringkat satu dunia.
Pebulu tangkis Spanyol, Carolina Marin. Foto: STR / AFP
Carolina Marin memulai musim 2020 dengan Malaysia Masters. Ia sampai di perempat final. Yang menjadi lawannya pada duel ini adalah Saina Nehwal. Yep, lawan yang sama di hari ia mendapat cedera.
Marin berlaga seperti tanpa ampun. Tiket semifinal diraihnya hanya dalam 30 menit. Ia memulangkan Nehwal dalam dua gim langsung, 21-8 dan 21-7.
Tidak ada yang tahu bakal seperti apa perjalanan Marin musim ini, termasuk cerita apa yang dibawanya dari Malaysia Masters 2020. Namun jika ada satu kepastian yang boleh dibawa Marin, itu adalah keteguhan untuk melawan nasib buruk.
ADVERTISEMENT