KONTEN RUN, RunStyle, COVER

Jam Kesebelas Hannah Gavios

8 Januari 2020 15:37 WIB
comment
34
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cover RunStyle.  Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Cover RunStyle. Foto: kumparan
Frasa itu, The Eleventh Hour, pertama kali muncul dalam Alkitab versi Raja James dalam kisah orang-orang yang bekerja di kebun anggur. Kisah itu mengajarkan bahwa siapa pun yang menerima tawaran kerja di kebun tersebut, tak peduli seberapa terlambat, akan tetap mendapat upah setara.
Dari situlah kemudian kata-kata eleventh hour menjadi populer. Maknanya pun semakin ke sini semakin bergeser dengan mengalami penyederhanaan. Pokoknya, apa pun yang datang terlambat akan disebut 'datang di eleventh hour' atau jam kesebelas.
Bagi Hannah Gavios, sebelas jam adalah waktu yang begitu penting dalam hidupnya. Itulah waktu yang dihabiskannya untuk melahap 26,2 km di New York City Marathon 2019. Itulah waktu yang dibutuhkannya untuk mengajarkan kepada kita semua bahwa menjadi lumpuh tak berarti menjadi tidak berguna.
Gavios kini berusia 26 tahun. Tiga tahun sebelumnya, dia mengalami sebuah peristiwa tragis yang membuat sumsum tulang belakangnya mengalami kerusakan. Rusaknya sumsum tulang belakang itulah yang membuat dirinya menjadi lumpuh.
Hannah Gavios. Foto: Instagram/ @hannahgavios
Pada 2016 Gavios berdomisili di Vietnam sebagai guru bahasa Inggris. Saat liburan tiba dia memutuskan untuk berwisata ke Thailand. Namun, wisata itu berujung petaka.
Hari sudah malam ketika Gavios tengah berjalan kembali ke hotelnya. Karena takut tersasar, dia pun bertanya arah jalan pulang pada seorang pria lokal. Tak dinyana, pria yang ditanyai itu rupanya punya niat jahat.
Berpura-pura ingin mengantarkan Gavios sampai ke hotel, pria itu justru membawanya ke semak-semak. Di situ, pria tersebut berupaya memperkosa Gavios. Gavios pun lari menyelamatkan diri.
Namun, di upayanya menyelamatkan diri itu Gavios terjatuh dari tebing setinggi lebih dari 45 meter. Berjam-jam lamanya Gavios terbaring di dasar jurang tersebut dan baru diselamatkan pada pagi harinya.
Gavios kemudian dilarikan ke rumah sakit setempat dan menghabiskan 18 hari di sana. Setelahnya, dia kembali ke New York dan dirawat selama dua bulan. Namun, sumsum tulang belakangnya tidak terselamatkan dan Gavios pun lumpuh.
Hannah Gavios. Foto: Instagram/ @hannahgavios
Butuh waktu lama bagi Gavios untuk sekadar memulihkan fungsi dasar tubuhnya. Bahkan, untuk duduk saja dia sempat sangat kesulitan. Akan tetapi, lewat terapi yang panjang, menyakitkan, dan melelahkan, akhirnya dia bisa berjalan dengan bantuan kruk.
Sudah sampai di situ, Gavios tidak puas. Dia ingin menunjukkan bahwa kakinya yang lumpuh itu bukanlah halangan untuk beraktivitas layaknya orang kebanyakan. Dia juga ingin agar bencana yang dialaminya menjadi manfaat.
Keinginan Gavios itu muncul setelah melihat sosok Amanda Sullivan di berita. Sullivan sukses merampungkan maraton dalam kondisi lumpuh setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah itu, pada Maret 2018, Gavios menjalin kontak dengan Christopher & Dana Reeve Foundation.
Christopher & Dana Reeve Foundation adalah sebuah yayasan yang didirikan oleh keluarga Christopher Reeve, aktor film 'Superman' yang lumpuh setelah terjatuh dari kuda pada tahun 1994.
Christopher Reeve (kiri) bersama presenter berita Barbara Walters. Foto: AFP/ABC News/Ken Regan
Lewat yayasan ini, Gavios menemukan dua hal: Pelatih dan tujuan berlari. Gavios ingin mengumpulkan dana untuk riset kelumpuhan akibat kerusakan sumsum tulang belakang dengan berlari. Uang yang dia kumpulkan itu disalurkan lewat yayasan Reeve tadi.
Gavios sendiri sudah merampungkan dua half-marathon dalam dua tahun terakhir dan semuanya dia lakukan di NYC Marathon. Pada 2018, dia butuh waktu 11 jam dan 20 menit untuk merampungkan lomba. Tahun lalu, dia memangkas catatan waktunya 18 menit.
Dari dua maraton itu Gavios berhasil mengumpulkan dana hingga 29 ribu dolar AS. Dia pun berharap agar riset di Christopher & Dana Reeve Foundation bisa membuatnya bisa berlari tanpa kruk suatu hari nanti.
"Aku bahagia bisa melangkah mewakili mereka yang belum bisa ikut serta. Namun, aku juga ingin suatu hari nanti bisa mengikuti maraton tanpa bantuan kruk. Kupikir, riset ini akan bermanfaat bagi kita semua," tuturnya kepada CNN.
Hannah Gavios. Foto: Instagram/ @hannahgavios
Bagi Gavios, ini adalah sebuah pembuktian bahwa hidupnya tidak serta merta berakhir karena sebuah tragedi. Justru, lewat tragedi itu dia menjadi sosok yang lebih kuat dan bisa menguatkan orang lain.
Ketika mengakhiri lomba edisi 2019, langit New York sudah gulita. Namun, tak sedikit orang yang berkumpul di dekat garis finis untuk memberi selamat dan menyampaikan rasa hormatnya bagi Gavios. Momen itu membuat Gavios sedikit terenyuh.
"Aku tidak menyangka ada banyak orang yang menyambut. Ini menunjukkan bahwa aku mendapat sokongan penuh dari kotaku. Aku tidak tahu ada berapa banyak yang menungguku. Ini semua sangat berarti bagiku," katanya kepada NY Post.
Ya, Gavios memang datang terlambat ke garis finis. Dia tiba ketika semestinya gelaran itu sudah bubar berjam-jam sebelumnya. Dia sampai ketika orang-orang semestinya sudah kembali ke rumah masing-masing. Namun, di jam kesebelasnya itu, kemenangan tetap jadi milik Gavios.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten