Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Jendi Pangabean: Difabel Harus Dihargai, Bukan Dikasihani
4 Oktober 2018 9:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
"Saya tahu punya bakat di air, karena sejak kecil senang renang. Dulu bukan di kolam, tapi sungai. Jadi saya punya bakat alami. Haha," kelakar Jendi Pangabean.
ADVERTISEMENT
Begitulah tawa Jendi mengalir, menggerus batas halangan antara dirinya dan orang normal, sebelum segalanya dibuka dengan serembah-serembih rasa iba yang (selalu) ditujukan kepadanya.
Jendi adalah lelaki berkaki satu, tetapi tak mau hanya menjadi sumber cerita haru. Lebih dari itu, ialah perenang nomor satu dari Kabupaten Muara Enim. Kecintaannya pada air pun berawal dari keberadaan sungai di desanya yang kerap menjadi ‘taman bermain’ bagi Jendi kecil.
Jendi remaja merantau ke Kota Palembang, kurang lebih empat jam perjalanan darat dari Muara Enim. Di sanalah Jendi mengenal keberadaan olahraga bagi para penyandang disabilitas. Dari seorang remaja yang sekadar suka renang, ia menjelma menjadi atlet para renang andalan Indonesia.
"Saya dulu normal. Usia 12 tahun kecelakaan dan kaki harus amputasi. Tapi, dengan kondisi seperti ini, saya lebih menikmati hidup. Saya sadar bahwa ini menandakan saya orang yang kuat. Saya latihan terus, program latihan sama seperti orang normal. Pernah dibedakan, tapi saya tidak mau. Jadi, kecepatannya sama," tegas Jendi.
ADVERTISEMENT
Jendi tak asal bicara. Lima medali emas berhasil direngkuhnya di Asean Para Games 2017, multievent penyandang disabilitas se-Asia Tenggara. Kelima emas itu diraih dari nomor perorangan 400 meter gaya bebas, 100 meter gaya punggung, dan 200 meter gaya ganti, serta nomor beregu 4x100 meter estafet gaya bebas dan 4x100 meter estafet gaya ganti.
Lewat prestasinya juga, atlet kelahiran 10 Juni 1991 itu getol menyuarakan kesetaraan antara penyandang disabilitas dan orang normal. Sayang, dalam kehidupan sehari-hari, harapannya itu masih terhalang fasilitas di Tanah Air yang belum cukup accessible (mudah diakses) bagi penyandang disabilitas, khususnya pengguna kursi roda.
"Saya sendiri 'kan sudah kerja di Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sumatera Selatan, kantornya belum ada lift untuk disabilitas, tapi kalau toilet ada. Kalau venue-venue olahraga saya rasa sudah ramah (penyandang) disabilitas, karena itu salah satu syarat standar venue internasional," kata Jendi kepada kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
"Tapi, pengguna kursi roda memang sulit ke mana-mana. Selain mereka mungkin masih minder untuk keluar, salah satu faktornya juga akses mereka yang kurang. Mau keluar rumah saja kadang harus melewati tembok dan lainnya, yang sulit dilewati kursi roda," ucap atlet berusia 27 tahun itu.
Upaya pemerintah sendiri, lanjut Jendi, sudah tercermin dari bertambahnya akses untuk para difabel di perkantoran maupun gedung besar. Namun, permasalahan belum selesai. Ketika sudah tersedia fasilitas bagi penyandang disabilitas, giliran pemahaman masyarakat yang dirasa Jendi masih kurang.
"Tapi, kadang masyarakatnya kurang paham bahwa (fasilitas) itu untuk penyandang disabilitas. Mereka malah tempatin buat jualan. Jadi, selain membangun fasilitas untuk difabel, pemerintah juga harus sosialisasikan kegunaannya kepada masyarakat,".
ADVERTISEMENT
Seruannya bagi pemerintah tak berhenti di situ. Jendi menyoroti sarana transportasi, objek vital yang mendukung kemandirian mobilitas seorang penyandang disabilitas. Dengan tongkatnya --yang lebih suka ia pakai ketimbang kaki palsunya, Jendi mengaku kerap merasa capai ketika berjalan jauh. Contohnya, di area luas seperti bandara.
"Di bandara harus ada hal yang mendukung, misal ada kursi roda. Ketika di bandara sudah ada kursi roda, tinggal harus diperbanyak juga akses disabilitas juga yang bisa sama-sama dilewati, seperti eskalator berjalan. Itu memudahkan kami," katanya.
Dewasa ini, kota-kota besar seperti Jakarta memang mewujud sebagai kota yang dilimpahi dengan kecanggihan infrastruktur. Namun, tak jarang kecanggihan tak ada sangkut-pautnya dengan keramahan bagi difabel.
Ketimbang Jakarta, Jendi lebih memilih Solo untuk disebutnya sebagai ‘rumah’. Kota itulah yang menyedikan keramahan dan kehangatan baginya. Di mata Jendi, Solo adalah kota yang selalu memperlakukan difabel dengan wajar. Dan di Solo pula, Jendi melakoni pemusatan latihan National Paralympic Committee (NPC) Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Secara masyarakat, sosialnya, Kota Solo yang terbaik. Saya sudah hampir enam tahun tinggal di sana selama pelatnas. Masyarakat di sana terbiasa dengan kaum disabilitas jadi mereka ramah. Dari segi fasilitas mungkin kurang, tapi masyarakat di sana lebih mengerti, ibarat tahu harus diapakan kaum disabilitas. Harus dihargai, kami tidak perlu dikasihani, tapi perlu diberi semangat,".
"Kalau di jalan tidak perlu dipandang. Jangan dibedakan, harus sama. Di luar negeri sudah welcome. Kalau saya jalan di luar negeri terutama negara maju, kami bedanya cuma pakai tongkat saja atau kaki palsu. Yang lainnya sama. Semoga Indonesia mengarah ke sana (ramah disabilitas)," tutur Jendi.
Kini, sebagai salah satu ujung tombak Kontingen Indonesia di Asian Para Games yang dibuka 6 Oktober mendatang, Jendi tak pernah lelah menyuarakan kekuatan atlet difabel sebagai inspirasi dunia. Ia ingin membuktikan bahwa penyandang disabilitas bisa berprestasi, hal yang bahkan tidak semua orang umum bisa melakukannya.
ADVERTISEMENT
Namun, terlepas dari upaya pembuktian Jendi dan atlet lainnya lewat raihan prestasi, penyandang disabilitas memang memiliki hak, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Di antaranya, para penyandang disabilitas memiliki hak hidup, aksesibilitas, dan bebas dari diskriminasi. Kemudahan berpindah tempat (transportasi), pekerjaan, serta peran aktif dalam kehidupan masyarakat, pun merupakan hak para disabilitas.
"Jadi ini pekerjaaan rumah pemerintah untuk memperhatikan kaum disabilitas. Saya dan atlet lain sebagai duta disabilitas ingin membangkitkan gairah kaum disabilitas bahwa mereka bisa, mereka punya kakak-kakak (para atlet) yang membanggakan Indonesia walau punya kekurangan.”
"Kami punya kekurangan, tapi sama seperti orang lain. Setiap kali punya prestasi, saya selalu ingin buktikan ke orang-orang: jangan pandang kami sebelah mata," pungkas Jendi.
ADVERTISEMENT
====
*Simak pembahasan mengenai perhelatan Asian Para Games 2018 dan fasilitas publik untuk difabel di konten khusus “Ramah Difabel ”.