Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jepang Tak Cuma Mencetak Petenis, tapi Orang yang Gemar Bermain Tenis
28 Januari 2019 20:01 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Jepang bersorak untuk Naomi Osaka. Hingga kini ia menjadi satu-satunya petenis di nomor tunggal putri Jepang yang sanggup menjuarai kompetisi Grand Slam. Tak cuma sekali, sudah dua kali ia menimang trofi paling prestisius di jagat tenis itu. Yang pertama, di Amerika Serikat (AS) Terbuka 2018. Bahkan lawan yang dikalahkannya di laga puncak itu adalah idola masa kecilnya, Serena Williams.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, di Australia Terbuka 2019. Serupa di Flushing Meadow, kemenangan itu tidak ia torehkan atas petenis biasa-biasa saja. Petra Kvitova yang menjadi lawannya di partai puncak itu adalah pemegang gelar juara Wimbledon 2011 dan 2014. Kualitasnya tak cuma soal pencapaian di masa lalu. Petenis Republik Ceko itu berhasil memberikan perlawanan sengit secara konstan.
Bila mengingat kembali jalannya pertandingan, Osaka seharusnya tinggal mencetak beberapa poin karena sudah unggul 5-3 di set kedua dan sudah menang 7-6 (7-2) di set pertama. Tapi apa daya, pertandingan harus berlanjut ke set ketiga karena Kvitova berhasil merebut set kedua.
Skenario serupa berpotensi terulang di set pamungkas. Usai menutup gim delapan dengan kemenangan yang berarti Osaka memimpin 5-3, Kvitova justru menutup gim sembilan dengan kemenangan. Hanya, pada akhirnya memang berhasil menutup laga sebagai ratu di Melbourne Park berkat kemenangan 6-4 di set ketiga.
ADVERTISEMENT
Atas keberhasilannya ini, Osaka tak cuma diganjar sebagai juara tunggal putri Australia Terbuka 2019. Peringkatnya melesat naik, dari duduk di posisi keempat menjadi petenis nomor satu dunia di nomor tunggal putri. Tak heran jika keberhasilan Osaka di kompetisi elite digadang-gadangkan sebagai buah dari keberhasilan Jepang melahirkan petenis-petenis papan atas. Apalagi jika mengingat bahwa Osaka tidak sendirian di Melbourne Park. Masih ada 31 petenis Jepang lainnya yang baku hantam di segala nomor Australia Terbuka, termasuk Kei Nishikori yang perjalanannya terhenti di perempat final tunggal putra akibat cedera.
Sebagai perbandingan, pada Australia Terbuka 2014, ada 21 petenis Jepang yang ikut berlaga. Bukan jumlah peningkatan yang signifikan, tapi peningkatan yang jumlahnya sepintas tak seberapa itu akan terlihat wajar jika melihat bagaimana cara Jepang mengembangkan tenis.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan muncul tentang keberhasilan Jepang melahirkan Osaka dan Nishikori setelah melihat seperti apa latar belakang tenis milik keduanya. Osaka memang bertanding mewakili Jepang walaupun ayahnya orang Haiti. Tapi, Osaka tidak tinggal di Jepang dalam waktu lama. Saat berusia tiga tahun--tepatnya pada 2006--ia dan keluarganya pindah ke Florida, Amerika Serikat, dan di sanalah tenis milik Osaka dimulai. Tujuan keluarganya hengkang ke Florida pun demi mendapatkan fasilitas serta pelatihan tenis yang baik untuk Osaka dan kakaknya, Mari Osaka.
Nishikori juga serupa Osaka. Saat usianya menginjak 13 tahun, ia pindah ke Florida supaya mendapatkan pelatihan di Nick Bollettieri Tennis Academy. Nishikori bahkan tinggal di Florida sampai sekarang. Apa boleh buat, Amerika Serikat memang menjadi negara favorit bagi mereka yang ingin berkarier sebagai petenis. Metode kepelatihan dan akademinya dinilai sebagai yang terbaik di dunia.
ADVERTISEMENT
Bertolak belakang dari keberhasilan AS menjadi rumah bagi Osaka dan Nishikori, jagat tenis Jepang sempat carut-marut. Mengutip esai Michelle Bruton yang berjudul Osaka is just the Beginning: The Rise of Tennis in Japan, pembinaan tenis Jepang bahkan sempat mengalami kesulitan untuk berkembang, terutama sejak 1993 hingga 2003. Menurut data yang dihimpun Bruton, dalam kurun waktu tersebut ada penurunan jumlah orang yang bermain tenis (bukan cuma petenis) secara drastis: dari 4,23 juta orang dari 1993 menjadi 3,73 juta orang pada 2013.
Jepang bukan negara yang menganggap remeh olahraga. Tapi di satu sisi, mereka juga bukan negara yang muluk-muluk soal olahraga.Sejak 16 Juni 1961, Jepang membangun konsep pemberdayaan olahraga yang bernama Sports Promotion Act. Pada dasarnya konsep ini adalah rencana jangka panjang untuk dapat mewujudkan Jepang sebagai negara olahraga (istilah yang mereka gunakan adalah creating a sport nation).
ADVERTISEMENT
Dalam konsep program jangka panjang yang mereka bangun, tak ada istilah meraih prestasi dalam sekejap. Bagi Jepang, lima atau 10 tahun bukan hitungan yang logis. Di dalam konsep yang mereka bangun ini, segala program dikerjakan untuk jangka waktu yang panjang: 50 tahun. Pengembangannya pun masih berlanjut sampai sekarang.
Orang-orang Jepang, sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 1 Sports Promotion Act, menyepakati bahwa olahraga merupakan unsur yang dapat menyediakan kebahagiaan dan energi, yang merupakan aspek budaya umum di seluruh dunia, yang dikembangkan bersama-sama oleh manusia tanpa memandang bahasa dan gaya hidup. Perhatikan kata kebahagiaan, budaya, dan dikembangkan.
Sejalan dengan pengertian ini, Jepang mempraktikkannya dengan membiasakan orang-orang untuk berolahraga. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya untuk membuat orang-orang gemar berolahraga--termasuk tenis--dan menjaga agar orang-orang tetap gemar berolahraga.
ADVERTISEMENT
Lantas, bila merangkum keseluruhan isinya, Jepang mempraktikkan konsep tersebut dengan menyediakan fasilitas olahraga, menyelenggarakan ajang olahraga, dan membangun serta merawat pembinaan olahraga. Begitu pula dengan tenis. Sejak 2012, Asosiasi Tenis Jepang (JTA) bekerja dengan melakoni tiga visi utama: mempromosikan tenis, mengembangkan infrastruktur dan lingkungan untuk kompetisi tenis, serta peningkatan tata kelola--termasuk pembenahan federasi secara konstan.
Di antara ketiganya, yang paling menarik adalah bagaimana Jepang mempromosikan tenis. Bila ditelaah, Jepang memiliki tiga program utama: mempromosikan tenis sebagai olahraga jangka panjang, olahraga kompetitif, dan olahraga yang menarik untuk ditonton. Itu artinya, Jepang tidak hanya fokus untuk mencetak atlet, tapi juga orang yang gemar bermain dan menonton tenis.
Program untuk membuat orang-orang gemar bermain tenis pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan akar rumput. Jadi sebelum bicara jauh soal pembinaan, JTA mengambil langkah untuk memasyaratkan tenis. Bagaimana membuat orang-orang Jepang akrab sejak usia dini dengan tenis adalah taktik yang dijalankan JTA. Salah satu program yang dijalankan bertajuk Tennis Play and Stay yang merupakan adaptasi dari program Federasi Tenis Interasional (ITF) yang dirilis pada 2007.
ADVERTISEMENT
Program ini pada dasarnya bertujuan untuk membongkar stigma yang mengakar lama soal tenis sebagai olahraga mahal, rumit, dan sulit. JTA memperkenalkan tenis ke sekolah-sekolah dan lingkungan masyarakat sejak 2013. Pembinaan sudah masuk dalam program ini. Hanya, metodenya dibuatkan semenyenangkan mungkin, termasuk dengan memakai lapangan yang lebih kecil dan bola yang geraknya lebih lambat daripada yang biasa digunakan di level profesional. Tujuannya supaya orang-orang Jepang tidak antipati duluan dengan tenis.
Hasilnya manis, di Jepang sana jumlah orang yang bermain tenis jadi meningkat: dari 3,73 juta orang menjadi 4,39 juta orang. Yang meningkat tidak hanya jumlah orang yang bermain tenis, tapi juga lapangan tenis indoor. Pada 2016, ada 4.114 lapangan tenis yang sudah disertifikasi dengan 520 di antaranya merupakan lapangan indoor yang dapat dipakai pada segala musim.
ADVERTISEMENT
Pada tahun yang sama, ada 12.237 petenis dari semua kategori (profesional, amatir, dan veteran) dan 4.723 pelatih yang teregistrasi. Dari 4.723 pelatih itu, 66 di antaranya sudah memiliki lisensi untuk melatih pemain yang berlaga di turmamen internasional--termasuk dalam bentuk sirkuit (turnamen berseri).
Hanya karena Jepang memilih untuk tak berisik persoalan prestasi, bukan berarti mereka tak memasang target tinggi. Salah duanya adalah meraih medali di Olimpiade dan Paralimpiade 2020 di rumah mereka sendiri, Tokyo.
Menyoal medali Olimpiade di cabor tenis, raihan pertama Jepang didapat pada 1920. Kala itu, Ichiya Kumagae yang mencetak sejarah dengan mempersembahkan medali perak sekaligus medali pertama untuk Jepang di cabor tenis. Yang mengenaskan, raihan medali itu terhenti selama 96 tahun. Baru pada 2016, Nishikori memecah kutukan itu dengan meraih perunggu setelah mengalahkan Rafael Nadal di perebutan tempat ketiga.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Jepang adalah penanda bahwa dalam konsep olahraga--termasuk tenis--cepat tidak sama dengan instan. Cepat di sini tidak berbicara soal mendapatkan hasil dalam waktu cepat--walau siapa pula yang tidak ingin--tetapi memulai segala sesuatunya dengan cepat dan bergegas membangun sesuatu.
Jepang memulai rencana jangka panjangnya dengan menumbuhkan kesenangan. Tetapi saat kesenangan itu mulai tumbuh, mereka tidak berhenti pada kesenangan. Osaka dan dua trofi Grand Slam-nya itu mungkin lahir berkat campur tangan pembinaan dan akademi Florida. Tapi melihat kegigihan Negeri Sakura membangun tenis, bukannya tidak mungkin tujuh atau lima tahun lagi juara-juara Grand Slam asal Jepang merupakan anak kandung dari upaya mereka sendiri.