Jurnal: Menunggu Kevin Sanjaya, Mengintip Cipayung

1 Mei 2017 14:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aula latihan Pelatnas Cipayung. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
"Tempatnya susah [dicari] lho, mas. Masuk-masuk gitu.”
Rekan saya, Bergas Brilianto, sudah memperingatkan saya sebelumnya. Hari itu, Kamis (20/4), untuk pertama kalinya saya bakal menyambangi Pelatnas Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) di Cipayung, Jakarta Timur.
ADVERTISEMENT
Bergas benar. Untuk menuju ke sana memang tidak mudah, khususnya bagi mereka yang baru pertama kali berkunjung.
Letaknya memang tidak jauh dari tempat saya tinggal. Well, sebenarnya "jauh" dan "tidak" di kota ini tidak diukur dari berapa jarak yang memisahkan antara dua tempat, tetapi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menuju ke sana.
Dari tempat saya tinggal di Pasar Minggu, waktu yang dibutuhkan untuk menuju ke Pelatnas Cipayung kurang lebih 30 menit. Dalam perjalanan itu, saya memang tidak terlalu memperhatikan jalan karena pertama, saya memang tidak tahu, dan kedua, saya percaya kepada pengemudi yang membawa saya ke sana.
Sesekali, saya mengintip Google Maps di ponsel saya dan tak pernah sekali pun sang pengemudi melenceng dari arah yang seharusnya dilewati. Usut punya usut, pengemudi itu ternyata juga mengandalkan Google Maps untuk bisa mencapai lokasi.
ADVERTISEMENT
Ah, teknologi memang luar biasa.
Jika Anda membayangkan Pelatnas Cipayung sebagai sebuah area raksasa di mana atlet-atlet bulu tangkis terbaik negeri ini bertempat tinggal dan berlatih, Anda sebenarnya sudah benar. Akan tetapi, gang-gang sempit yang harus dilalui untuk bisa mencapainya dapat dengan mudah membuat seseorang mengira bahwa tempat itu tidak semegah reputasinya.
Pelatnas Cipayung terletak di ujung sebuah gang sempit. Di sekelilingnya, berjajar rumah-rumah warga yang jauh dari kesan mewah.
Ketika sampai di sana, saya disambut oleh sebuah pagar listrik besar berwarna oranye. Di sebelah kanan, terdapat sebuah pos jaga besar. Sang pengemudi diminta membuka kaca mobil agar petugas keamanan bisa melihat dengan jelas siapa saja yang berada di dalamnya.
ADVERTISEMENT
"Silakan," kata petugas keamanan itu singkat. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB.
Dari pintu gerbang itu, jalan menurun. Dari situ sudah terlihat gedung raksasa tempat para pebulu tangkis terbaik Indonesia berlatih sehari-harinya. Seharusnya, saya turun di persis di depan sana.
Akan tetapi, untuk bisa mencapai area drop-off itu, mobil diharuskan untuk memutar terlebih dahulu. Di belakang gedung besar itu, terdapat beberapa bangunan yang lebih kecil.
"Yang di belakang itu buat tempat tinggal pemain, mas," terang salah seorang petugas keamanan. "Di sana, semua udah disediain. Makan pagi, siang, malam. Paling kalau pada pengen snack aja mereka keluar.”
Di area tempat tinggal para pemain itu, pekarangannya luas. Meski tidak banyak pohon, atap-atap yang menaungi bangunan-bangunan tersebut sudah cukup untuk mencegah agar sinar mentari tidak terlampau terik.
ADVERTISEMENT
Saya melihat belasan pebulu tangkis berjalan di sana. Pakaian mereka warna-warni dan betis-betis mereka terlihat kukuh. Namun, pemandangan itu dengan cepat berlalu seiring terus melajunya mobil yang saya tumpangi.
Semenit kemudian, saya sudah tiba di area drop-off. Setelah mengucap terima kasih kepada sang pengemudi, saya pun turun dengan langkah agak gontai.
Persis ketika itu, entah mengapa saya baru sadar. Ini adalah Pelatnas Cipayung. Legenda-legenda agung dan bintang-bintang masa depan dilatih di sini. Pikiran itu tiba-tiba saja menghajar benak saya bak palu godam dan itulah yang membuat kaki-kaki saya mendadak agak terasa lemas.
"Kalau di (sepak) bola, ini Clairefontaine," batin saya.
Di teras gedung itu, ada sebuah shuttlecock raksasa yang merupakan pemberian dari sponsor utama PBSI, Yonex. Di atas hiasan yang sebenarnya tidak terlalu estetis itu terdapat sebuah tulisan yang menegaskan apa sebenarnya tempat itu: Pusat Bulu Tangkis Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelah menjejakkan kaki di teras, saya segera mengirim pesan singkat untuk Mbak Ria, staf PBSI yang menjadi penghubung antara saya dengan tujuan saya hari itu: Kevin Sanjaya.
Saya mengabarkan pada Ria via layanan pesan WhatsApp bahwa saya sudah sampai. Tak lama kemudian, Mbak Ria membalas.
"Langsung masuk aja, mas. Itu kan ada kok besar. Di sebelahnya ada pintu kaca. Masuk aja lewat situ, nanti langsung ke hall.”
Ada dua pintu kaca di sana dan saya langsung membuka yang saat itu paling dekat dengan saya.
Di belakang pintu kaca itu, ada sebuah koridor sempit dan gelap. Di dinding sebelah kanannya, terdapat sebuah papan besar yang tak terlalu saya perhatikan isinya.
Siang itu banyak pemain melakukan latihan. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mata saya langsung tertuju ke ujung koridor tersebut; ke hall —atau aula— raksasa tempat para pebulu tangkis berlatih. Ada aroma khas yang langsung menusuk hidung dan rasanya, aroma itu sangat familiar.
Kata seorang karib di bangku kuliah dulu, aroma itu adalah aroma kejayaan. Tetapi, saya tak mau melebih-lebihkan. Aroma yang saya cium itu, tak lain dan tak bukan, adalah aroma keringat yang menumpuk dalam ruangan tertutup, seperti halnya di pusat-pusat kebugaran atau, ah, saya baru ingat, sauna portabel milik ibu saya. Dengan langkah yang dipasti-pastikan, saya segera menuju ke aula tersebut.
Aula itu besar. Besar sekali, malah. Mungkin, tiga lapangan futsal bisa dijejalkan di sana.
Ada 21 lapangan bulu tangkis di aula tersebut. Tiga berbanjar dikali tujuh berbaris. Di tepi aula itu, berjajar kursi-kursi lengan yang empuk. Setelah sempat melirik lemari es berisi minuman ringan yang tampak menggiurkan di siang yang terik itu, saya menelan ludah dan segera duduk di salah satu kursi yang telah disediakan.
ADVERTISEMENT
Belum sampai satu menit, tiba-tiba seorang perempuan berhijab datang menghampiri dan bertanya, "Mas Yoga, ya?”
Ini pasti Mbak Ria, pikir saya.
"Tunggu dulu, ya, mas. Kevin-nya masih latihan. Nanti paling jam 11.00 juga udah selesai.”
"Oke, mbak. Santai aja. Saya juga masih pengin lihat-lihat dulu," jawab saya.
"Oke, saya tinggal dulu, ya. Masih ada yang harus saya kerjain soalnya," kata Mbak Ria berpamitan.
Saya mengangguk.
Pandangan pun segera saya arahkan ke sekeliling tempat itu. Warna yang dominan adalah hijau. Selain karena lapangan bulu tangkis yang memang berwara hijau, banyak bagian dinding bangunan ini yang dicat hijau.
Atapnya yang tinggi didesain supaya sirkulasi udara lebih lancar. Maklum saja, sejauh mata memandang, saya hampir tidak menemukan jendela yang terbuka.
ADVERTISEMENT
Ini memang sengaja dibuat demikian, ujar saya dalam hati. Supaya lemak yang terbakar bisa optimal.
Entah benar atau tidak perkiraan saya itu, yang jelas saya kemudian teringat pada pernyataan Ketua Umum PBSI, Wiranto, saat baru terpilih lalu. Ketika itu, dia menyebut bahwa ada rencana untuk melakukan renovasi pada Pelatnas Cipayung, dan setelah berada di sana, saya akhirnya tahu penyebab digulirkannya rencana itu.
Rasanya seperti membayangkan The Cliff, markas latihan lawas Manchester United yang tingkat kemewahannya jauh sekali dari Carrington. Walau begitu, dari sana lahirlah legenda-legenda besar "Setan Merah". Mungkin, pikir saya lagi, Wiranto ingin membuat Carrington-nya bulu tangkis Indonesia.
Nyaris semua lapangan yang ada diisi oleh para pemain pelatnas. Ada yang bertanding betulan, ada yang bermain-main biasa, ada yang melakukan latihan drill, dan ada pula yang cuma duduk-duduk sembari bercanda bersama rekan-rekannya. Mungkin latihan mereka sudah selesai.
ADVERTISEMENT
Jika ada satu hal baru yang saya pelajari dari kunjungan itu adalah bahwa ternyata, para pebulu tangkis pria suka sekali berteriak. Setiap kali mereka melakukan pukulan smash, selalu saja ada teriakan yang menyertai.
"Hooaahhh, hoooaaahh, hooaaahh!”
Persis di depan saya adalah lapangan yang digunakan untuk bertanding betulan itu. Di sana, ada wasit, ada hakim garis yang merangkap sebagai tukang pel lapangan, dan ada pula pelatih-pelatih yang tak terlalu banyak bicara. Ketika itu, yang sedang bertanding adalah dua pasangan ganda.
Walau begitu, ada satu hal yang tak luput dari pengamatan saya. Satu dari dua pasangan ini belum bisa membangun komunikasi sebaik pasangan lawannya. Seringkali, pasangan ini bermain sendiri-sendiri. Mereka kerap kebingungan siapa yang harus membalas pukulan.
ADVERTISEMENT
Dan, benar saja. Pada akhir laga yang berjalan kurang lebih 40 menit itu, pasangan yang saya maksud tadi kalah. Tidak telak, memang, tetapi tetap saja kalah.
Agak sulit untuk terus berkonsentrasi di tempat sepanas itu. Entah sudah berapa kuis BuzzFeed yang sudah saya selesaikan untuk menghabiskan waktu. Dalam diam, saya tak henti-hentinya membayangkan jus jeruk dingin.
Waktu menunjukkan pukul 10.50 ketika dua pasangan ganda itu selesai bermain. Di lapangan sebelahnya, dua pasangan ganda lain memutuskan untuk bermain-main.
Dua pasangan ganda baru ini tak henti-hentinya menebar tawa dan olok-olok. Tak jarang, pukulan-pukulan trik berhasil mereka daratkan ke lapangan milik lawan. Ah, seandainya saja mereka bisa berbuat begitu di laga-laga internasional.
Sedang asyik-asyiknya melamunkan pukulan-pukulan trik ala Chandra-Sigit itu, tiba-tiba saja ada sebuah energi yang mendesak saya ke bagian sandaran kursi.
ADVERTISEMENT
“Apa-apaan ini?" pikir saya.
Masih terasa bingung, pandangan saya alihkan ke arah depan dan dengan segera, kebingungan itu terjawab. Ah, jadi ini yang namanya aura juara itu.
Liliyana Natsir (Foto: Pierre-Yves Beaudouin/Wikimedia Commons)
Di sana, Lilyana Natsir sedang berjalan.
Langkahnya pasti, meski lutut kanannya dibebat perban, dan dia sedang berjalan ke arah saya. Saya pun langsung hanyut dalam kebingungan: apa yang harus saya lakukan? Pura-pura cool? Dengan canggung memperkenalkan diri? Atau bagaimana?
Setelah terlibat perdebatan selama sepersekian detik, tim "pura-pura cool" yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Sebisa mungkin, tanpa terlihat starstruck, saya menyembunyikan diri di balik layar ponsel. Sialan. Begini ternyata rasanya berada hanya beberapa sentimeter dari atlet kelas dunia.
Lilyana, atau Butet, tentu saja tidak mempedulikan saya. Dia pun terus berjalan menghampiri orang yang tampak sudah dikenalnya lama itu. Dari balik layar ponsel, saya pun mencuri-curi pandang.
ADVERTISEMENT
Setelah Lilyana berlalu, saya akhirnya memutuskan untuk keluar sebentar. Panas dan pengap sekali di dalam.
Ingin sekali rasanya saya mengeluarkan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Sekali lagi, siang itu benar-benar terik. Untuk berjalan menuju pos jaga saja malasnya setengah mampus. Itulah mengapa, saya pun hanya berjalan mondar-mandir untuk mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin agar tidak kolaps di dalam.
Setelah itu, saya kembali masuk. Di sana, Mbak Ria ternyata sudah mencari saya.
"Mas, ini latihannya belum selesai juga. Nggak tahu kenapa nih kok belum selesai. Tapi gini, mas. Kevin sama Sinyo (panggilan akrab pasangan ganda Kevin, Marcus Gideon) ada wawancara juga sama radio. Kalau misalnya nanti mereka wawancara duluan sama radio, nggak apa-apa, ya.”
ADVERTISEMENT
Sebuah anggukan kecil keluar sebagai respons dari kata-kata Mbak Ria tersebut.
Saya melirik ponsel. Sudah hampir 11.30 dan latihan drill yang tampaknya menjadi porsi latihan spesial bagi Marcus/Kevin belum menunjukkan tanda-tanda bakal usai. Padahal, janji awalnya adalah pukul 10.30.
Kemampuan konsentrasi saya semakin menurun saja. Apalagi, migrain kemudian ikut-ikutan menghampiri. Saya pun tak banyak mengingat apa yang saya lakukan untuk menunggu Kevin Sanjaya selesai berlatih dan selesai meladeni wawancara radio. Pokoknya, saya berusaha keras untuk mengembalikan mood dan rasa-rasanya, setelah kehabisan konten menarik di BuzzFeed, saya juga kemudian beralih ke Bored Panda dan situsweb-situsweb sejenis lainnya.
Sampai akhirnya, mendekati pukul 12.30 siang WIB, Kevin Sanjaya yang bermandikan peluh datang menghampiri saya dengan didampingi Mbak Ria.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya!” pekik saya girang, dalam hati.