Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jurnal: Serpihan Surga di Pelataran Laut Flores
20 Juli 2017 10:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Di Flores, beberapa jam setelah etape terakhir Tour de Flores 2017 tuntas, saya menemukan surga itu.
ADVERTISEMENT
***
"Do you think, Madame, that in heaven we will really get to see God face-to-face?"
"We might."
"What if you're blind?"
"I'd expect that if God wants us to see something, we'll see it."
"Uncle Etienne says heaven is like a blanket babies cling to. He says people have flown airplanes ten kilometers above the earth and found no kingdoms there. No gates, no angels."
Percakapan di atas saya tukil dari novel 'All the Light We Cannot See' karya Anthony Doerr. Novel itu berkisah tentang sejarah pertemuan Marie-Laure LeBlanc, seorang gadis buta yang cerdas dan kritis, dan Werner Pfennig, seorang yatim-piatu ahli elektronika yang dipaksa masuk Hitler Jugend, di Saint-Malo, Prancis.
ADVERTISEMENT
Di situ, Marie-Laure sedang memikirkan tentang ayahnya yang sedang ditawan serdadu Nazi. Percakapan tadi dia lakukan dengan pengasuhnya, Madame Manec. Di bagian akhir, tulis Doerr, Madame Manec menyebut bahwa surga menurut dirinya adalah kesunyian malam.
Konsep surga-neraka memang sudah diperdebatkan manusia sejak zaman entah kapan. Bagi orang Viking, surga mereka adalah tempat di mana mereka bisa bertempur di siang hari dan pesta di malam hari. Bagi orang Islam, surga adalah tempat di mana kita bisa mendapat segala yang kita inginkan dalam sekejap. Intinya, bagi setiap orang, bagi setiap kaum, surga tidak pernah sama.
Saya pribadi belum sanggup memikirkan konsep surga yang ideal. Masih terlalu banyak hal-hal yang saya belum ketahui. Salah-salah, ketika saya nanti diminta untuk mendesain surga saya sendiri, saya tidak memasukkan hal-hal yang belum saya lihat, rasakan, dan nikmati itu.
ADVERTISEMENT
Namun terkadang, surga sudah bisa dinikmati tanpa konsep yang muluk-muluk. Hal-hal kecil saja. Hal-hal sederhana seperti kopi di pagi hari, misalnya, atau notifikasi WhatsApp dari orang terkasih, atau Kampung Ujung di Labuan Bajo bagi pencinta hidangan laut.
Jadi begini... Tidak ada pisang goreng untuk saya hari ini. Kecewa? Ya, tentu saja. Namun, itu semua terhapus ketika saya diajak mampir ke Kampung Ujung.
Tempat ini adalah area yang dirancang khusus untuk menyantap hidangan laut. Lokasinya persis menghadap ke Laut Flores dan Kampung Ujung ini memang sudah menjadi tempat wisata kuliner andalan Labuan Bajo.
Kampung Ujung ini berada di tepi jalan yang tidak terlalu lebar. Hanya cukup dilalui oleh dua mobil, kira-kira. Meski begitu, tempat ini sangat, sangat ramai. Sepanjang kurang lebih 500 meter, berjajarlah kurang lebih 20 warung makan yang semuanya menjual hidangan laut.
ADVERTISEMENT
Warung yang saya sambangi adalah Kedai Yana milik Ibu Yuliana. Tidak terlalu besar ukurannya; sekitar 5x6 meter. Di sana, terdapat tiga meja panjang yang cukup untuk 24 orang. Bersesakan, memang, tetapi itulah yang membuat suasana menjadi begitu hangat.
Warung-warung di Kampung Ujung ini buka dari sore hari sekitar pukul 17.00 WITA dan baru tutup lepas tengah malam.
"Tapi, kalau pengunjung lagi sepi, jam 12.00 biasanya udah tutup, mas," tutur Yuliana.
Saya sempat terperangah ketika pertama kali melihat ikan-ikan yang dipajang di depan warung. Ikan kakap yang dijual di sana panjangnya bisa mencapai 40 cm. dengan bobot 2 kg. Untuk ikan berukuran demikian, Yuliana menjualnya dengan harga Rp 150 ribu.
"Dari sananya soalnya udah Rp 100 ribu sendiri," terangnya. "Ya, kita kan masih harus beli bumbu, beli sayuran, beli beras juga. Jadi, ya, disesuaikan lah."
ADVERTISEMENT
"Sana" yang dimaksud Yuliana adalah Tempat Pelelangan Ikan yang letaknya tak jauh dari Kampung Ujung. Di situlah, aktivitas maritim Labuan Bajo berpusat. Selain TPI itu, ada pula pelabuhan feri dan pelabuhan Pelni. Malah, kata seorang penduduk lokal yang kami temui, nantinya akan dibangun pula sebuah marina. Hmm, lengkap sudah.
Nah, harga di TPI ini menjadi mahal karena para pengepul di sana harus membeli semua ikan yang ditangkap oleh nelayan, entah itu besar maupun kecil. Jadi, para pedagang makanan seperti Yuliana ini semacam harus memberi kompensasi kepada para pengepul untuk ikan-ikan kecil yang tak laku.
Malam ini, rombongan saya berisikan lima orang. Namun, karena sebelumnya sudah mencicipi tongkol bakar, saya pun memesan cumi-cumi bakar. Tidak bisa tidak. Pertama, saya memang penggemar cumi-cumi dan kedua, ukurannya pun luar biasa.
ADVERTISEMENT
Cumi-cumi yang saya makan itu panjangnya sekitar 25 cm dan lebarnya 10 cm. Besar sekali. Cumi-cumi malang yang lezat itu kemudian dipotong kecil-kecil dan cukup untuk memenuhi satu piring oval besar. Ia kemudian disajikan dengan nasi putih hangat dan sambal.
Sebenarnya, bagi lidah Jawa seperti yang saya miliki ini, bumbu yang digunakan agak sedikit kurang mantap. Terasa, memang, tetapi kurang nendang. Namun, justru di situlah menariknya. Dengan berkurangnya bumbu, rasa daging cumi-cumi jadi begitu terasa. Empuk, kenyal, dan gurihnya begitu otentik.
Meski harus memasak ikan dan cumi-cumi yang besar, saya tidak perlu menunggu terlalu lama. Hanya 20 menitan lah. Sembari berbincang dan tertawa bersama, apalah artinya 20 menit itu?
ADVERTISEMENT
Selain dibakar, makanan di sini sebenarnya punya penyajian bermacam-macam. Cumi-cumi, misalnya, bisa juga digoreng dengan tepung. Kemudian, bisa pula dimasak dengan saus tiram ataupun saus padang. Khusus ikan, ada satu yang spesial di sini, yakni kuah asam. Sayang, saya belum sempat menyicipinya malam ini.
Di Kampung Ujung ini, saya melihat berbagai jenis wajah manusia. Tak mengherankan, memang, mengingat reputasi tempat ini yang telah terdengar ke mana-mana.
"Kalau bulan enam, bulan tujuh, begini banyak turis asing yang datang," kata Yuliana.
Ah, benar. Mereka yang di belahan Bumi Utara sedang menjalani liburan musim panas, sementara tetangga kita di Selatan, sedang mencari suaka dari musim dingin yang jahanam. Ujung-ujungnya, mereka tetap sampai di Kampung Ujung.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri hanya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit untuk menghabiskan satu ekor cumi-cumi raksasa itu. Sudahlah, tak perlu pakai tanya-tanya lagi apakah saya kenyang atau tidak. Dengan perut penuh dan wajah semringah, saya pun tak berkeberatan sama sekali mengeluarkan selembar uang 50 ribuan dari dompet.
Malam ini, saya menemukan surga. Bagi pencinta kuliner laut seperti saya, Kampung Ujung adalah bukti bahwa terkadang, surga itu tidak perlu diperdebatkan apalagi dijadikan alasan untuk merampas nyawa manusia lain.
Sudahlah. Nikmati saja surga yang ada. Itu sudah cukup, kok.