Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Mungkin, selain korupsi dan fakta bahwa orang-orangnya malas berjalan kaki, satu hal lain yang sulit dipisahkan dari Indonesia adalah narsisisme para pejabatnya. Entah seberapa kontribusinya terhadap sebuah acara, persetan. Yang penting, dia bisa naik ke atas panggung dan memberikan sambutan.
ADVERTISEMENT
Nah, bicara soal sambutan, selama di Flores ini, saya sudah dicekoki lima pidato sambutan berbeda. Mulai dari Maumere, Ende, Mbay, Borong, sampai Ruteng. Celakanya, isinya sama semua!
Pokoknya, Tour de Flores adalah ajang untuk promosi pariwisata, kabupaten sudah kontribusi sekian miliar, dan harapannya begini-begitu. Tinggal copy-paste dan edit sedikit pun jadi sudah pidato para bupati itu.
Di sini saya bukannya mau mengkritik. Ya, biar bagaimana juga, kejuaraan ini melintasi beberapa kabupaten dan lucu juga kalau para bupati tidak ikut menyambut. ‘Kan sama saja dengan kita bertamu ke rumah orang, lalu si tuan rumah justru tidur nyenyak.
Saya pribadi bukan orang yang betah mendengarkan sambutan dan ketika saya dipaksa untuk mendengarkan, saya pun lebih sibuk dengan ponsel yang tak ubahnya tasbih itu. Namun, ada satu hal yang selalu membuat saya mendongak dari kekhusyukan.
ADVERTISEMENT
Acapkali para bupati itu bicara soal betapa ajang TdF ini merupakan ajang berkelas dunia dan sudah membuat Flores dikenal masyarakat internasional, nada mereka sedikit meninggi. Mereka tidak marah, tentunya, tetapi bangga. Mereka berusaha meyakinkan warganya agar mau menanggapi serius keberadaan ajang ini.
Saya pun tertegun. Berkelas internasional? Hmm, mungkin belum, ya. Usia ajang ini baru dua tahun dan bagi saya, ajang balap sepeda berkelas internasional, ya, seperti Tour de France atau Giro d'Italia itu. Dan kedua ajang itu pun usianya sudah tua. Masing-masing sudah berusia 104 dan 100 tahun. Itu baru kelas dunia.
Tetapi saya mengerti kok maksudnya.
Berkelas dunia, dalam hemat mereka, berarti sudah diakui Union Cycliste Internationale (UCI) dan masuk dalam kalender mereka. Tidak salah, tetapi tidak tepat juga, dan bagi saya, selama itu mereka gunakan untuk membangun rasa percaya diri rakyat mereka, silakan.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah TdF ini mampu membuat Flores dikenal masyarakat internasional? Bisa ya, bisa juga tidak.
Bagi para pebalap itu, mungkin saja. Namun, ketika saya terbang ke Maumere, saya menjumpai sedikitnya enam turis mancanegara di pesawat yang saya tumpangi dan saya sangsi kalau mereka datang ke Flores untuk menonton balap sepeda.
Artinya, Flores sebenarnya sudah dikenal, meski mungkin masih untuk kalangan terbatas dan mereka sebenarnya tidak berangkat dari nol dengan lantas membonceng TdF. Tidak. TdF ini hanya pendorong saja.
Bukti bahwa sebuah daerah sudah dikenal luas adalah keberadaannya di mesin pencari Google. Persis setelah mendarat, saya langsung meng-gugel ihwal daerah ini, terutama soal makanan khasnya. Dan saya berhasil. Dari hasil pencarian itu, saya menemukan makanan-makanan seperti Ubi Noubosi, Kena Kita (sejenis bubur yang dicampur dengan ubi dan kacang-kacangan), Kue Rambut, Tongkol Bakar, Se'i (Daging Asap), dan Jagung Catemak.
ADVERTISEMENT
Namun, selain tongkol bakar yang saya beli di sebuah warung makan, saya tidak pernah menemukan makanan-makanan tersebut selama berada di Flores. Untuk mencarinya pun sulit karena saya harus terus menjadi satu dengan rombongan. Nah, di sini, satu makanan yang justru bagi saya menjadi hidangan khas Flores adalah pisang goreng.
Sejak di Maumere, pisang goreng tidak pernah absen dari hidangan di penginapan-penginapan. Selalu ada. Cara penyajiannya saja yang sedikit diubah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Di Maumere, pisang goreng dihidangkan dengan dilumuri susu kental manis cokelat. Di Borong, pisang yang belum matang digoreng kering dan rasanya justru seperti ubi atau singkong goreng. Kemudian, di tempat-tempat lain, pisang goreng yang disajikan digoreng dengan metode standar: diigoreng dengan tepung.
ADVERTISEMENT
Namun, ada satu hal yang membedakan pisang goreng Flores dengan pisang goreng yang biasa saya temui di Jawa, yakni ukurannya. Jika di Jawa pisang diiris kecil-kecil sebelum dicampur dengan tepung, di Flores, pisang goreng yang senantiasa saya temui selalu berukuran besar.
Di sini, satu pisang itu dibelah persis di tengah menjadi dua bagian sama panjang, dicampur dengan tepung dan bumbu secukupnya, lalu digoreng. Alhasil, makan pisang goreng pun bisa cukup mengenyangkan.
Pisang yang dihasilkan di Flores sendiri merupakan jenis pisang kepok. Untuk ukuran pisang, pisang kepok memang tidak besar. Namun, rasanya begitu manis dan daging buahnya empuk. Ketika digoreng, ia pun meleleh lebih mudah. Para pedagang pisang goreng di Jawa pasti bakal malu jika dihadapkan dengan pisang goreng buatan Flores. Kalah besar, kalah nikmat.
ADVERTISEMENT
Dalam hemat saya, Pisang Goreng Flores ini pun sebenarnya sangat layak dipromosikan sebagai salah satu makanan khas daerah. Secara teknis, penganan ini memang jamak ditemui di tempat lain.
Kalaupun ada pisang goreng yang benar-benar khas, paling-paling ia hanya ada di Pontianak sana. Namun, percayalah. Pisang Goreng Flores ini lain dari yang lain dan seharusnya berada sejajar dengan hidangan-hidangan lainnya itu.
Di setiap sambutan, di setiap laman hasil telusuran Google, seharusnya ada Pisang Goreng Flores. Ini serius, dan saya masih tak habis pikir kenapa sampai sekarang saya belum temui orang Flores yang bangga dengan pisang gorengnya.
Ah, mentari sudah naik sepenggalahan pagi ini. Kopi yang sedang saya seruput ini tiba-tiba saja tak mampu lagi mengompensasi perut yang kosong. Tujuan hidup saya hari ini cuma satu: mencari pisang goreng lagi
ADVERTISEMENT