Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
ADVERTISEMENT

Apa komentar Anda jika melihat pemuda ingusan, bau kencur, tapi pede dan arogannya selangit? Sialnya, si bocah ini jagonya minta ampun.
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu apakah Anda masih mengingat Jos Verstappen. Bukan, bukan… Verstappen yang ini bukan bocah yang saya maksud di atas. Nanti kita akan sampai ke sana untuk membicarakan si bocah yang satu itu.
Tapi, begini… Saya pernah mendengar semacam ujar-ujar yang mengatakan, jika Anda ingin melihat kecepatan, lihatlah “Silver Arrows”, jangan Arrows. Silver Arrows merujuk pada McLaren yang pada zaman itu sedang gila-gilanya bersaing dengan Ferrari —dengan Mika Hakkinen di kubu abu-abu dan Michael Schumacher di kubu merah—, sementara Arrows merujuk pada… well, Arrows.
Jika Anda melihat tim-tim seperti Manor Racing (sekarang sudah gulung tikar) ataupun Sauber pada Formula 1 hari-hari ini, ya, kira-kira begitulah Arrows dulu. Mereka tidak lebih dari sekadar tim semenjana yang hanya jadi pelengkap, mereka yang saban balapan mobilnya selalu di-overlap jet darat-jet darat jagoan.
ADVERTISEMENT
Tidak percaya? Oke, simak catatan yang satu ini: 382 kali ikut balapan, Arrows tidak sekalipun menang. Yah, ada catatan bagus juga, sih, seperti pernah naik podium 9 kali, di mana 5 di antaranya merupakan posisi kedua. Tapi, cuma 9 kali naik podium dari 382 kali balapan? Ayolah…
Nah, di tim seperti Arrows inilah Jos Verstappen menghabiskan pengujung kariernya di Formula 1. Verstappen sempat memperkuat Arrows pada musim 2000, sebelum akhirnya pindah ke Minardi pada 2003.
Selama dua musim membalap untuk Arrows, Verstappen hanya mampu menyumbang 6 poin. Pencapaian terbaiknya hanyalah menempati urutan keempat pada GP Italia tahun 2000. Itu pun dengan diwarnai 10 pebalap out karena berbagai alasan —mulai karena masalah mobil sendiri hingga crash.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, meskipun punya julukan “seram”, yakni The Dutch Devil, karier Verstappen di dunia jet darat tidak cemerlang. Sumbangsihnya untuk dunia F1 justru terjadi di luar trek manakala ia menikahi seorang wanita asal Belgia yang juga merupakan mantan pebalap KART, Sophie Kumpen.
Lho, apa hubungannya?
Begini… Dari pernikahan itu, Verstappen dan Kumpen dikaruniai dua orang anak, satu putra dan satu putri. Yang putra diberi nama Max, dan yang putri diberi nama Victoria. Kelak, kedua anak Verstappen ini sama-sama menjadi pebalap.
Max, yang lahir pada September 1997 saat ayahnya menjalani musim yang mengecewakan bersama Tyrrell —musim itu Verstappen senior tidak mendapatkan satu poin pun sepanjang musim, dan bahkan 9 kali gagal finis—, adalah bocah yang kita bicarakan di awal tulisan ini.
ADVERTISEMENT
***

“Aku membalap seperti nenek-nenek!”
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar pebalap Formula 1 berkomentar seperti itu? Pertama, jika si pebalap sudah senior, Anda bisa membayangkan betapa arogannya pebalap itu. Kedua, kalau tahu yang berkomentar adalah pebalap yang masih amat muda, tidakkah ia terdengar seperti bocah yang perlu dimanja?
Percayalah, Max Verstappen, pebalap yang mengeluarkan komentar itu, cukup sering melontarkan kalimat bernada arogan seperti itu. Ia melontarkannya tanpa tedeng aling-aling, ketika tengah memacu mobilnya, dan sedang mendapatkan perintah dari tim via radio.
Pada kesempatan lain, Verstappen mengatakan terang-terangan kepada timnya bahwa ia membalap tidak untuk finis di urutan keempat. Well, jika ini dikatakan oleh Lewis Hamilton atau Sebastian Vettel, misalnya, tentu tidak mengejutkan. Tapi, ini dikatakan oleh seorang pemuda 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Tidak heran jika kemudian cap arogan menancap pada Verstappen. Namun, mau protes pun susah. Pasalnya, dia memang genius. Bagaimana tidak, pada 2014, ketika usianya baru 17 tahun, ia sudah dikontrak untuk membalap bagi Toro Rosso. Pada musim yang sama, ia turun membantu tim pada sesi latihan bebas, menjadikannya pebalap paling muda yang pernah mengikuti akhir pekan Grand Prix —yang biasanya terdiri dari sesi latihan bebas, kualifikasi, dan balapan— di Formula 1.
Dan Verstappen tidak menunda-nunda untuk melejitkan diri. Setelah tampil lumayan di musim 2015, dan melanjutkan performa bagusnya pada tiga balapan pertama di 2016, Red Bull pun langsung tertarik untuk mendatangkannya. Aksi tukar guling dilakukan. Verstappen pindah ke Red Bull, sementara pebalap Red Bull, Daniil Kvyat, pindah ke Toro Rosso.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada balapan pertamanya bersama Red Bull, ia langsung finis di urutan pertama. Luar biasa.
Ini membuat segala kearoganan Verstappen menjadi terlihat wajar. Kalau mau diturunkan sedikit kadarnya, bolehlah kita menyebut kearoganan itu sebagai sebuah rasa percaya diri yang teramat tinggi.
“Di radio, saat berbicara dengan tim, saya terdengar seperti orang yang arogan dan tidak pernah mendengarkan tim. Tapi, sebagai pebalap, saya memang ingin menang,” kata Verstappen kepada Sky Sports, November 2016 lalu.
Ucapan “Saya membalap seperti nenek-nenek!” itu sendiri ia lontarkan lantaran disuruh tim untuk melambatkan mobil demi menjaga jarak dengan rekan setimnya, Daniel Ricciardo, yang jauh lebih santun itu. Verstappen rupanya tidak sabaran ketika disuruh melambatkan mobilnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, Formula 1 sendiri punya sejarah panjang dengan pebalap-pebalap arogan di dalamnya. Niki Lauda begitu, Kimi Raikkonen juga, lalu jangan lupakan Mika Hakkinen. Ingat, meskipun berpembawaan tenang, Hakkinen pernah menjawab dengan setengah ngeledek (“Ooh, so saad..”) kepada wartawan yang bertanya, “Bagaimana perasaan Anda setelah gagal menang?”
Lagipula apa yang dikatakan Verstappen terlihat lebih “mending” jika dibandingkan dengan Raikkonen yang terang-terangan membentak timnya —dengan suaranya yang sedingin es— “Shut up, I’m driving!” ketika diberi arahan lewat radio.
Jadi, ada satu pemuda arogan tambahan ke Formula 1 semestinya bukan sebuah dosa besar. Lagipula, jika bicara pencapaian di trek, ini Max Verstappen, bukan Jos Verstappen.