news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Karisma Evi, Melawan Kekurangan Kaki dengan Raihan Medali

30 September 2018 9:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Atlet Asian Para Games 2018, Karisma. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet Asian Para Games 2018, Karisma. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pukul 05.30 WIB puluhan kontingen atletik Indonesia untuk Asian Para Games 2018 telah bersiap di stadion Sriwedari, Solo. Mereka tampak meregangkan badan sebelum latihan dimulai.
ADVERTISEMENT
Dari puluhan atlet itu terlihat sosok atlet remaja bernama Karisma Evi Tiarani. Usianya paling muda, baru 17 tahun. Sosoknya pun tampak paling kecil di antara atlet-atlet lainnya.
Tampak dari kejauhan Evi menggerakkan dua kakinya. Saat berlari, kaki kirinya tertatih. Namun ia tak terlihat kesakitan. Justru aura semangat yang terpancar dari wajahnya sepanjang pagi itu.
Evi adalah atlet para-atletik (atletik bagi penyandang disabilitas) dengan gangguan fungsional pada kaki. Ukuran kaki kanan dan kirinya tidak sama sehingga membuat setiap langkahnya agak tertatih. Namun dia justru berani memilih olahraga yang permainannya mengandalkan kaki.
Peluit panjang kemudian berbunyi, pertanda para atlet bisa mengambil rehat. Evi pun bergegas duduk ke tepi stadion bersama teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Saat situlah saya menyapa Evi. Dia menjabat dan mencium tangan saya. Aneh sekali rasanya. Mungkin itu adalah cara Evi menghormati orang yang lebih tua.
Perbincangan kemudian dimulai. Evi yang mulai terjun di dunia atletik di usia 15 tahun pada mulanya sempat berat berpisah dengan orang tuanya yang tinggal di Boyolali. Begitu pun orang tuanya, awalnya tak tega melepas Evi berlatih di Pelatnas Solo.
Atlet Boccia Karisma Evi Tiarani (Foto:  Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet Boccia Karisma Evi Tiarani (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
“Dipindah ke Solo itu pas masih lumayan kecil lah. Mungkin pertamanya belum bisa percaya soalnya masih kecil. Terus masak langsung dilepas gitu aja. Tapi terus lama kelamaan ya dibolehin,” cerita Evi, Selasa (11/9).
Setelah restu orang tua didapat, giliran Evi yang tak bisa menahan haru. Semasa awal di Pelatnas dia mengaku sering menangis teringat ayah dan ibunya.
ADVERTISEMENT
Beruntung baginya, dia dikelilingi oleh teman-teman sesama Pelatnas yang menyenangkan. Akhirnya dia merasa tak lagi kesepian. Evi pun kadang mengalihkan kerinduannya itu dengan membaca banyak buku di karantina.
“Baca buku soalnya kan kita enggak bisa masuk sekolah. Paling enggak dikit-dikit ngejar pelajaran lah,” ungkap Evi.
Meskipun hampir seluruh harinya dihabiskan di stadion, Evi hingga saat ini masih teguh melanjutkan pendidikan di SMA 8 Surakarta. Menurutnya, sekolah tetaplah penting meski kariernya telah melejit di usianya yang masih dini.
Evi adalah peraih medali emas di Peparnas 2016 dan Peparpenas 2017. Dia berjaya di tiga nomor yang menjadi spesialisasinya, yaitu lari 100 meter, 200 meter, dan juga lompat jauh.
ADVERTISEMENT
Beban berat di Asian Para Games
Berjaya di negeri sendiri membuat Evi dipercaya untuk turun di ajang internasional. Debut internasional perdananya adalah ASEAN Para Games di Malaysia 2017. Dia mengaku, dirinyalah yang paling muda di antara lawan-lawannya. Meski begitu, Evi berhasil memberikan yang terbaik. Tercatat 1 medali emas dan 2 medali perak berhasil dia persembahkan di ajang internasional perdananya itu.
Catatan apik Evi ini kemudian membuatnya didaulat menjadi kontingen Indonesia di Asian Para Games 2018. Dia dipercaya turun di nomor spesialisnya. Bahkan, pelatihnya mematok target medali emas untuk Evi. Hal itu sebenarnya sempat membuat Evi gundah gulana.
“Ya pertama kayak ada beban soalnya baru pertama ini kan ikut Asian Para Games, tapi tiba-tiba ada target,” curhat Evi.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, dia tak ingin berlama-lama terperangkap beban. Pemilik catatan lari 100 meter terbaik 14,85 detik itu meyakinkan dirinya, ini adalah kepercayaan besar yang membanggakan. Evi pun bangkit dan terus memupuk rasa percaya diri.
Evi berujar, salah satu hal yang membuatnya merasa terbebani karena rival terberatnya dari Jepang sudah lebih senior. Meski begitu, pelatih berkali-kali menguatkan Evi. Namun tak melulu dengan tempaan di arena, pelatihnya juga acap kali mengajaknya bercanda.
“Kalau misal berat atau kelihatan kayak serius gitu kadang pelatih ngajak bercanda biar enggak terlalu tegang lah,” tutup Evi tertawa.
kumparan akan menyajikan story soal atlet-atlet penyandang disabilitas kebanggaan Indonesia dan hal-hal terkait Asian Para Games 2018 selama 10 hari penuh, dari Kamis (27/9) hingga Sabtu (6/10). Saksikan selengkapnya konten spesial dalam topik ‘Para Penembus Batas’.
ADVERTISEMENT