Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kei Nishikori: Orang Asing di Lapangan Grand Slam
7 September 2018 16:23 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Kei Nishikori ada di persimpangan jalan. Di antara jalan yang mengantarkannya kepada nama besar perengkuh Grand Slam dan jalan bagi nama besar yang tak cukup kuat untuk mengangkat trofi Grand Slam.
ADVERTISEMENT
Walau tampangnya terlihat lebih muda daripada umurnya, Nishikori sudah 28 tahun. Tapi tetap ada geli yang menggelitik setiap menyaksikannya bertanding. Kostumnya jarang terlihat pas, seperti kebesaran sampai harus dipaksa supaya tak kedodoran.
Tubuhnya mungil di mata para pesaingnya. Posturnya tak kekar, wajahnya panjang, senyumnya khas orang Asia. Di atas lapangan tenis yang memuja keindahan trofi Grand Slam, Nishikori tampak asing.
Nishikori masuk dalam kelompok para petenis hebat, tapi tak cukup dahsyat untuk menjadi petenis top. Servisnya kencang, backhand-nya kokoh dan akurat, forehand-nya membikin orang-orang berpikir apakah ia titisan Roger Federer dan calon juara. Masalahnya, belum ada gelar prestise yang berhasil diraih. Lemari trofinya masih kosong melompong, tak akrab dengan gelimang nama besar Grand Slam.
ADVERTISEMENT
Nishikori dan petenis yang bernasib serupa cuma bisa melangkah ke atas lapangan, berjibaku mengayun raket melesakkan groundstroke, sambil berharap suatu saat pertanyaan tentang kepantasannya berdiri di jajaran elite petenis dunia berakhir.
Satu dua hari setelah bertemu kegagalan di dekat partai puncak, ia hanya akan mengangkat bahu. Melemparkan pandangan ke daftar tur dan kompetisi yang bakal diikutinya.
Michael Chang adalah juara Wimbledon 1989. Ia pertama kali bertemu dengan Nishikori pada turnamen ekshibisi di Tokyo pada 2011. Yang diingat Chang waktu itu, Nishikori sibuk bercerita tentang Federer, meluapkan kekagumannya akan sang idola walau keduanya tak lebih dari sekadar dua orang asing yang kebetulan bertemu.
“Di depan saya, ia terlihat seperti bocah. Mendongak, melemparkan pandangan jenakanya ke arah dinding yang tinggi yang ditutupi oleh poster Federer.”
ADVERTISEMENT
Chang memulai pertaruhannya dengan Nishikori pada Desember 2013. Disebut pertaruhan karena Chang belum pernah melatih di ATP World Tour. Kehidupan keluarganya bahkan sempat goyah perkara tenis, setidaknya itulah yang ia akui dalam wawancara bersama The Times.
Nishikori menutup musim 2013 di peringkat 17 dunia. Servisnya tak buruk, tapi juga tak istimewa. Agresivitas serangannya tak menakutkan. Namun, ada hal tak kasatmata yang dilihat Chang yang membuatnya kukuh untuk menjadi pelatih Nishikori.
Yang berdiri di hadapannya itu adalah petenis berpotensi, tapi babak belur dihajar ketidakpercayaan diri yang tak kalah dahsyat. Kepercayaan diri itulah yang ingin dibentuk oleh Chang.
Ia ingin Nishikori mendapatkan pelajaran tentang hal paling mendasar, yang tak mungkin diterimanya di pelatihan-pelatihan tenis terkemuka. Chang dan Nishikori menjalin kerja sama. Status keduanya berubah, dari orang asing menjadi pelatih dan anak didik.
ADVERTISEMENT
Potensi yang diyakini Chang itu bukan ilusi. Di babak keempat Australia Terbuka 2014, Nishikori mesti berhadapan dengan Nadal. Petenis asal Spanyol itu tak membutuhkan cedera punggung untuk kepayahan menghadapi perlawanan Nishikori.
Drive-nya datar, tapi mengejutkan. Tembakan-tembakannya sepintas terlihat tak bertenaga, tapi intens dan merepotkan. Backhand-nya sanggup menahan forehand kiri Nadal. Bahkan, footwork Nishikori memampukannya bergerak melebar ke kedua sisi lapangan, dan menutup reli dengan pukulan forehand dari area baseline.
Di atas lapangan itu, Nishikori mempermainkan Nadal. Namun, lawannya itu masih terlalu kuat untuk diruntuhkan. Pertandingan tiga set tadi tetap berhasil dimenangi Nadal walau dalam skor ketat 7-6(3), 7-5, 7-6 (3). “Melawan Nadal, saya masih jauh dari kemenangan,” kata Nishikori seusai laga.
ADVERTISEMENT
Setiap kali hendak melakoni pertandingan, Nishikori selalu bertanya kepada Chang, “Menurutmu, apa saya bisa memenangi pertandingan?” Di kotak pelatih hari itu, Chang menemukan jawabannya. Di ruang ganti, ia berkata kepada Nishikori, “Sekarang kamu tahu jawabannya.”
Dua bulan setelah laga melawan Nadal itu, ia bertemu dengan Federer di atas satu lapangan yang sama. Ini menjadi pertemuan ketiganya. Pertemuan pertama di Basel ditutup dengan kemenangan Federer. Pertemuan kedua di Madrid (2013) ditutup dengan kemenangan Nishikori. Ia bahkan melangkah ke partai final dan bertemu kembali dengan Nadal.
Cerlang Nishikori sedang terang-terangnya, laga tiga set melawan Federer di Miami 2014 dimenanginya dengan skor 3-6, 7-5, 7-4. Sayangnya, langkah Nishikori di turnamen itu terhenti di semifinal, saat melawan Novak Djokovic, karena cedera.
ADVERTISEMENT
AS Terbuka 2014 mempertemukan Nishikori dengan final Grand Slam pertamanya. Sebelum ke puncak, ia mengalahkan Wayne Odesnik, Pablo Andujar, Leonardo Mayer, dan Milos Raonic yang waktu itu berstatus sebagai petenis peringkat enam dunia.
Laga melawan Raonic itu adalah laga yang khas. Pertandingan maraton lima set yang berakhir dengan kemenangan 4-6, 7-6 (7-4), 6-7 (6-8), 7-5, 6-4 untuk Nishikori itu dimulai pada pukul 22:00 dan berakhir pada pukul 02:26. Durasi pertandingan itu menorehkan rekor baru sebagai pertandingan terlama di gelaran AS Terbuka.
Di perempat final, giliran Stan Wawrinka yang dikalahkannya. Lantas, di semifinal, ketangguhan Nishikori berhasil mengandaskan perlawanan Novak Djokovic dan menjadikannya sebagai petenis pria asal negara Asia pertama yang melangkah ke final kompetisi Grand Slam .
ADVERTISEMENT
Chang memang memenangi Wimbledon pada 1989, tapi ia tak bisa disebut sebagai petenis asal Asia karena berstatus sebagai warga negara AS. Sayangnya, di final, Nishikori kalah melawan Marin Cilic dengan skor 3-6, 3-6, 3-6.
Perjalanan Nishikori di kompetisi Grand Slam setelah final AS Terbuka 2014 adalah perjalanan yang mengesalkan. Jangankan menjadi juara, sampai ke partai final pun ia tak sanggup. Pada 2015, ia hanya sampai di perempat final Australia Terbuka dan Prancis Terbuka.
Pada 2016, ia mengulang cerita yang sama di Australia Terbuka. Roland Garros 2017 ditutupnya dengan pertandingan perempat final. Di Wimbledon 2018 pun, langkahnya tak lebih jauh dari babak perempat final.
Pencapaian tanggung itu membikin orang-orang menyebut Nishikori sebagai petenis bermental kerdil. Memasuki kompetisi dengan menggebrak, tapi melempem saat mulai menanjak. Gelar juara Grand Slam pun disebut-sebut terlalu agung untuknya.
ADVERTISEMENT
****
Pada 1945, peraih Nobel Sastra yang juga berkebangsaan Jepang, Yasunari Kawabata, pernah menulis cerpen berjudul 'Buah Delima'. Ceritanya sederhana, tentang pasangan yang mesti berpisah -entah untuk sementara waktu, entah selamanya- akibat perang. Si laki-laki apa boleh bikin, harus pergi ke medan perang membela negaranya.
Keduanya bertemu terakhir kali pada suatu siang. Keduanya tak bicara banyak, pamit seadanya. Beberapa saat setelah si laki-laki pergi, si perempuan menemukan buah delima yang tadinya ia suguhkan sebagai kudapan, tapi tak dihabiskan si laki-laki tadi.
Tak ada emosi yang meledak-ledak sampai akhir cerita, yang ada cuma fragmen bisu saat si perempuan memakan sisa delima tadi. Walau tanpa letupan emosi, itu menjadi penggambaran paling pas bagi lara yang tak terucap. Lewat cerpen itu Kawabata berhasil menulis kisah cinta tanpa sekalipun menuliskan kata 'cinta' di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Nishikori yang berkali-kali berpisah dengan gelar Grand Slam pertamanya adalah cerita tentang kehilangan tanpa tahu batas waktunya. Tenis milik Nishikori adalah tenis yang sederhana, tapi indah.
Tenisnya lahir untuk memberi warna di ranah tenis yang didominasi oleh petenis yang itu-itu melulu, terutama di nomor tunggal putra. Kekuatan sekaligus sosoknya yang asing mengingatkan orang-orang bahwa tenis putra tak hanya diisi oleh kuartet Federer, Nadal, Djokovic, ataupun Andy Murray -walau nama terakhir juga sedang melempem-melempemnya.
Namun kekalahan berturut-turut menjelang partai puncak, cedera yang memaksanya terlempar dari peringkat 20 dunia, dan adagium bahwa Grand Slam adalah segalanya di ranah tenis, yang diterima Nishikori dengan senyum dan tanpa luapan emosi, ibarat jejalin diksi yang muncul di cerpen 'Buah Delima' tadi. Datar, halus, tapi sanggup menggambarkan kehilangan yang hebat.
ADVERTISEMENT
Nishikori kembali mendekat dengan raihan Grand Slam pertamanya. Tak bisa dibilang terlampau dekat, karena ia masih harus melakoni laga semifinal AS Terbuka 2018. Di perempat final, ia kembali bertanding melawan Cilic, lawan yang pernah mengandaskan asanya di lapangan yang sama, empat tahun silam. Laga itu adalah laga yang alot, tapi berakhir dengan kemenangan Nishikori 2-6, 6-4, 7-6 (7-5), 4-6, 6-4.
Tenis adalah cerita tentang manusia yang tak bisa berhenti sampai kemenangan menentukan pilihannya. Pertarungan di atasnya mengisahkan laga satu lawan satu. Tak peduli berapa jam yang dihabiskan, bahkan sampai berganti hari, laga tak tak bisa tuntas dengan hasil imbang. Harus ada yang menang dan yang kalah. Dan di atas lapangan Arthur Ashe Stadium, Nishikori menolak untuk menutup cerita sebagai pecundang.
ADVERTISEMENT
Melihat permainan Cilic di set pertama, orang-orang menyangka pertandingan bakal selesai di set ketiga. Menyaksikan kemenangan Nishikori di set kedua dan ketiga, orang-orang mengira ia akan menyegel tiket semifinal di akhir set keempat.
Tapi, toh, pertandingan berlanjut ke set lima. Waktu menjadi lebih panjang, stamina menjadi lebih pendek. Apa boleh buat, tenis memang seperti itu. Terkadang, kemenangan menjadi sosok yang angkuh. Ia mudah untuk didekati, tapi begitu sulit buat dimiliki.
Selepas laga itu, Nishikori menyalami Cilic, menepuk-nepuk dada sang lawan sambil memberikan pujian dan terima kasih. Nishikori tak langsung beranjak dari lapangan Arthur Ashe Stadium. Ia berdiri di tengah lapangan, berpegangan pada net, lalu berlari kecil membentuk lingkaran sambil melesakkan tinju ke udara.
ADVERTISEMENT
Untuk sesaat, dia berdiri di tengah lapangan. Mendongak, melepaskan tawa, dan menebarkan pandangan ke seantero Arthur Ashe. Entah apa yang diucapkannya. Barangkali ia sedang mempersiapkan diri untuk kehilangan hebat lainnya, atau mungkin menguatkan diri untuk menyambut gelar Grand Slam pertamanya. Yang jelas, saat ditanya tentang kemenangannya atas Cilic ini di konferensi pers seusai laga, tak sekalipun ia mengucap 'Grand Slam '.