Kevin Sanjaya: Mengapa Dia Perlu Bersikap Sengak kepada Pemain Eropa

1 Mei 2017 13:39 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kevin Sanjaya di Pelatnas Cipayung. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kevin Sanjaya di Pelatnas Cipayung. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
Peluh mengucur deras dari tubuh Kevin Sanjaya ketika dia akhirnya menghampiri saya. Tanpa banyak basa-basi dia mengulurkan tangan dan berkata, "Kevin." Saya pun segera membalas uluran tangan itu seraya memperkenalkan diri.
ADVERTISEMENT
Ada sesuatu yang membuat saya sulit untuk melepaskan pandangan dari sosoknya. Tubuhnya tidak terlalu kekar tetapi tegap dan kencang. Selain itu, sorot matanya pun tajam. Meminjam kata-kata Massimiliano Allegri untuk mendeskripsikan sorot mata Paulo Dybala, di sana ada tatap mata seorang 'pembunuh'.
Di arena tempatnya berlaga, Kevin Sanjaya memang seorang pembunuh berdarah dingin. Di lapangan bulu tangkis, dia adalah sosok yang ditakuti oleh lawan-lawannya. Wajar, karena dia, bersama pasangan gandanya, Marcus Gideon, adalah kampiun All England, turnamen bulu tangkis paling bergengsi di muka bumi.
Meski fokusnya masih terkunci, kelelahan sulit untuk disembunyikan olehnya. Ketika itu, jam sudah menunjukkan pukul 12.26 siang WIB. "Dari jam delapan tadi latihannya," ujar Kevin. Ah, pantas saja.
ADVERTISEMENT
Saya menemui Kevin usai latihan di Pelatnas Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) di Cipayung, Jakarta Timur, Kamis (27/4) lalu. Di luar, panas menyengat dengan kejinya, dan di dalam aula tempat para pebulu tangkis top Indonesia berlatih, panas itu terkungkung.
"Langsung mulai aja, mas," usul Kevin sejurus setelah kami berdua duduk di kursi lengan yang banyak berjajar di tepi aula.
Saya memang ingin mengenal lebih sosok Kevin lebih dekat. Bukan hanya karena dia merupakan seorang juara. Lebih dari itu, di usianya yang baru 21 tahun, Kevin sudah memiliki trademark.
Orang-orang menyebutnya arogan. Well, setidaknya mereka yang pernah menjadi korbannya di lapangan menyebut Kevin demikian.
Alasannya, cara Kevin bermain memang kerap mengundang reaksi negatif. Dia suka sekali mengeluarkan trik-trik yang membuat lawan merasa dilecehkan. Pernah dia berlagak hendak memukul shuttlecock, kendati tahu itu sudah pasti out. Pemain bulu tangkis Denmark, Mads Conrad, juga pernah kesal dengan tindakan Kevin di atas lapangan.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika saya bertanya apakah dia sengaja melakukan itu, pemuda kelahiran Banyuwangi punya respons yang cukup menarik.
"Ya, nggak lah. Kita main dengan style kita sendiri," jawabnya sembari tertawa kecil. "Lawan memang nggak bikin kesel sebenernya? Hahahaha."
"Biasanya yang suka rese, ya, [pemain-pemain] Eropa. Mereka lebih egois, suka provokasi. Kalau kita diem aja, pasti semakin ditindas."
Akan tetapi, bagi Kevin, ini bukanlah serangan balasan untuk lawan-lawan yang mengesalkan itu. Baginya, ini memang gaya dia, gaya yang dimainkannya bersama sang rekan. "Bagi saya, yang penting jadi diri sendiri aja."
Pada tahun 2017 ini, sudah ada tiga gelar bergengsi yang disabet oleh pasangan Kevin dan Marcus. Setelah menjuarai All England, dia kemudian juga melanjutkan keberhasilan di India Terbuka dan Malaysia Terbuka. Akan tetapi, jalan yang harus dilalui Kevin ternyata tak semulus yang dikira orang.
ADVERTISEMENT
"Dari umur 11 [tahun] saya sudah main di Kudus. Saya ikut audisi PB Djarum tahun 2006 tapi nggak diterima. Baru tahun 2007-nya saya akhirnya diterima," tutur Kevin.
Kecintaan Kevin pada bulu tangkis datang dari orang terdekatnya, sang ayah. "Dulu papa sering main di belakang rumah, terus ya, akhirnya ikutan seneng," bebernya.
"Dari kecil saya selalu gonta-ganti pelatih, pokoknya cari yang terbaik di klub-klub seputaran Banyuwangi."
Selain itu, seperti atlet-atlet pada umumnya, Kevin mengaku banyak belajar dari para pendahulunya di arena. Meski mengaku tak memiliki sosok khusus yang diidolai, Kevin menyebut bahwa ketika kecil dulu, dia sering menyaksikan Taufik Hidayat, Chandra Wijaya, Sigit Budiarto, dan Tony Gunawan di televisi.
“Udah banyak yang lupa, mas. Waktu itu masih kecil soalnya,” katanya sembari membetulkan posisi duduk.
ADVERTISEMENT
Jadwal Kevin memang tampak lebih berat dibanding para penghuni Pelatnas lain. Di saat para pebulu tangkis lain sudah meninggalkan aula latihan, dia bersama Marcus masih harus menjalani latihan drill.
Pada latihan itu, mereka tidak berlatih bersama. Masing-masing dari mereka dilatih oleh pelatih yang berbeda. Di situ, mereka dilatih refleksnya untuk menghadapi shuttlecock yang datang dengan tiba-tiba di area yang berbeda-beda pula.
Di lapangan tempat mereka dilatih, bertebaran ratusan shuttlecock yang ketika sudah selesai digunakan, harus segera dirapikan dan dimasukkan ke dalam bak putih besar. Tidak sembarangan tentunya. Sepuluh shuttlecock harus dirangkai menjadi satu terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke sana.
Siang itu, Kevin dan Marcus memang menjadi beberapa orang tersisa di aula tersebut. Hanya lampu di bagian tengah saja yang masih menyala.
ADVERTISEMENT
“Biasanya kalau udah selesai gini ngapain aja, Kev?” tanya saya.
“Ya, main, mas. Seringnya, sih, main game di laptop. Main DOTA,” ceritanya sembari agak terkekeh.
“Kalau nggak main game paling, ya, keluar sama teman-teman. Tapi kalau keluar harus pakai izin dan harus tertib pulangnya.”
Seorang petugas keamanan yang berjaga di pos pintu gerbang mengatakan bahwa untuk bisa keluar, seorang pemain memang membutuhkan surat. Tetapi, katanya, di dalam Pelatnas Cipayung semuanya sudah disediakan. Paling-paling, kalau ingin menyantap makanan ringan, pemain-pemain itu bisa membelinya di minimarket yang terletak tak jauh dari Pelatnas.
Kevin Sanjaya (kanan) dan Marcus F Gideon (kiri). (Foto: Antara/Lucky R.)
zoom-in-whitePerbesar
Kevin Sanjaya (kanan) dan Marcus F Gideon (kiri). (Foto: Antara/Lucky R.)
Kevin sendiri mengaku tidak terlalu merindukan rumah karena sudah terbiasa jauh sejak kecil dulu. Akan tetapi, jika ada satu hal yang selalu dicarinya ketika pulang, itu adalah seafood. Banyuwangi memang merupakan kota yang terletak di ujung timur Pulau Jawa dan ia berbatasan langsung dengan Selat Bali.
ADVERTISEMENT
Selain video game, seafood, dan tentunya bulu tangkis, satu hal lain yang menjadi bagian penting dari hidup Kevin Sanjaya adalah MotoGP. Kata orang, it takes one to know one, dan dari situ, agak tidak mengherankan jika sosok pebalap yang menjadi idolanya adalah sang legenda, Valentino Rossi.
Agak sial, memang, bagi Kevin, karena dengan begitu, berarti kali terakhir dia menyaksikan Rossi menjadi juara dunia, usianya baru 14 tahun. Saya pun sempat menggodanya dengan menyebut bahwa Rossi sudah menurun.
Akan tetapi, Kevin dengan cepat menyergah, “Ah, nggak juga. Yang penting ‘kan gimana hasil akhirnya.”
Ah, benar sekali, Kevin. Di dunia olahraga, yang terpenting pada akhirnya memang hasil akhir, meski koridor sportivitas tetap tak boleh dilangkahi begitu saja.
ADVERTISEMENT
Rossi sendiri, seperti halnya Kevin, tidak terlalu asing dengan kontroversi. Pebalap Italia itu juga kerap membuat lawan-lawannya meradang.
Namun, selama Kevin mampu membayar itu semua dengan gelar juara yang direngkuh, mengapa tidak?