Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
King Kazu dan Mereka yang Menembus Batas di Ranah Olahraga
12 Januari 2018 18:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
Kompetisi olahraga itu perkara rumit. Ada banyak aturan yang membikin seorang layak untuk disebut atlet atau tidak.
ADVERTISEMENT
Salah satu aturan tadi adalah usia. Masalah umur memang krusial, sedikit-banyak ia memengaruhi kekuatan fisik. Apalagi bila menyoal olahraga, fisik menjadi salah satu yang utama. Kalau bukan karena cedera atau penyakit, atlet pensiun karena usia. Kekuatan fisik yang sudah tak segagah dulu kerap menjadi persoalan.
Dalam sepak bola, misalnya. Umumnya pesepak bola pensiun saat berusia 35 tahun. Ada juga yang belum mencapai 35 tahun. Namun, bukan berarti sepak bola kehilangan orang-orang gilanya. Orang-orang tua yang dianggap tidak masuk akal, yang kelewat batas perihal menembus batas.
Kazuyoshi Miura, atau yang biasa disebut King Kazu adalah salah satunya. 26 Januari tahun ini, usianya bakal menginjak 51 tahun. Orang-orang seumurannya sudah gantung sepatu, atau menjadi pelatih. Namun, Kazu berbeda. Ia tetap bermain sepak bola. Kompetisi yang diikutinya memang bukan divisi teratas. Kamis (11/1) kemarin, Yokohama FC mengonfirmasi bahwa Kazu sudah menandatangani kontrak terbarunya.
ADVERTISEMENT
Kiprah Kazu di ranah sepak bola, lepas dari apa pun kompetisinya, berarti melewati catatan rekor Sir Stanley Matthews. Ini adalah musim ke-33 Kazu bermain sebagai pemain sepak bola profesional. Memang, sekarang ini ia hanya tercatat sebagai pemain lapis kedua. Namun, itu bukan berarti ia tak pernah berbuat banyak untuk sepak bola Jepang. Sebelum Hidetoshi Nakata mencobai persaingan sepak bola Eropa, Kazu sudah lebih dulu bermain di Genoa pada musim 1994-1995.
Kazu memang tua, tapi bukan yang tertua. Buku rekor resmi FIFA mencatat nama Robert Carmona sebagai pemain sepak bola tertua di dunia. Pemain asal Uruguay ini masih aktif bermain di kompetisi regional Kepulauan Balearik, Spanyol, dalam usia 55 tahun.
ADVERTISEMENT
Namanya terdengar asing karena selama ini Carmona hanya bermain di kasta bawah liga-liga profesional di Uruguay, Amerika Serikat, dan Kanada. Namun, pada kenyataannya, sampai sekarang ia masih bermain di klub bertajuk Inter Ibiza.
Gianluigi Buffon barangkali juga bisa disebut sebagai orang tak masuk akal di ranah sepak bola. Usianya sekarang 39 tahun. Bukan usia yang muda dan ideal untuk seorang pesepak bola. Namun setua apa pun, ia masih menjadi yang utama di Juventus. Ban kapten melingkar di lengannya, hampir di seluruh pertandingan, ia yang ditunjuk sebagai penjaga gawang.
Sebenarnya agak lucu waktu menyadari bahwa Buffon yang setua ini masih menjadi penjaga gawang utama Juventus. Satu pertanyaan, memangnya tidak ada yang lain? Atau, sebegitu burukkah kiper-kiper muda Juventus, sampai-sampai Buffon masih menjadi yang utama di umurnya yang 39 tahun ini?
ADVERTISEMENT
Kata orang-orang, kayu tua bagus untuk dibakar, anggur tua nikmat untuk diminum. Agaknya, prinsip inilah yang dipegang Buffon. Pernah dalam satu wawancaranya ia berkata, "Saya akan pensiun saat berusia 65 tahun."
Tentu saja ia berseloroh. Kita semua tahu bahwa Buffon memang garang di lapangan, tapi terbilang lucu bila sedang tak bertanding. Bila pemain-pemain lain merasa tersinggung saat disebut badut, Buffon menjawabnya dengan tawa. Ia menyetujui bahwa keberadaan seorang kiper memang ibarat badut di panggung sirkus. Berseragam berwarna meriah, bersiap menangkap bola yang disepak lawan-lawannya.
Tapi bagi Buffon, sepak bola itu memang ibarat sirkus. Ia adalah olahraga yang menjadi sirkus. Pertemuan antara romantisme dan akal sehat, bisnis dan fanatisme. Makanya, ia tak pernah ambil pusing bila di usianya yang sudah uzur macam ini untuk tetap menerima candaan orang-orang.
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, Buffon pernah diwawancarai tentang usianya yang tak lagi muda. Katanya seperti ini, “Saya tidak merasa seperti orang tua berusia 38 tahun.”
Entah apa yang sebenarnya dimiliki Buffon. Sesulit apa pun mencari penggantinya, tidak mungkin tidak ada pemain lain yang bisa menggantikannya. Namun demikian, pada kenyataannya Buffon tetap bermain. Dan bukan hanya sebagai pelapis, tapi pemain utama. Idealnya, saat ini Buffon sudah pensiun. Kalaupun belum, seharusnya ada pemain muda yang sudah bisa menggeser posisinya.
Batasan-batasan untuk disebut ideal dalam melakoni olahraga dan berkarier sebagai profesional itu memang banyak. Membikin pening karena banyaknya. Dan batasan itu juga bukan melulu tentang usia. Terkadang tatanan juga menjadi perihal rumit yang membatasi langkah para atlet. Hal-hal yang sering dianggap sebagai jerat, yang bukannya tak mungkin mendorong atlet menyerah dan berhenti.
ADVERTISEMENT
Ranah tenis, terutama tenis wanita mengenal batasan macam ini. Ia mewujud dalam bentuk yang mengerikan: seksisme.
Tahun 1968 menjadi penanda dari era baru dunia tenis. Di tahun ini, format turnamen tenis diubah menjadi terbuka. Artinya, turnamen ini memungkin petenis amatir dan profesional bertemu dalam satu pertandingan. Perubahan era ini melahirkan banyak hal. Salah satunya, kelahiran asosiasi tenis.
Sialnya, perubahan ini semacam tak berpihak pada dunia tenis wanita. Lantas, dunia mengenal Billie Jean King. Di sepanjang kariernya, petenis wanita asal Amerika Serikat ini berhasil merebut 39 gelar Grand Slam. Namun, yang menarik perhatian dunia menyoal Billie Jean bukan hanya raihan Grand Slamnya, tapi juga perjuangannya melawan seksisme.
Singkat kata, petenis-petenis pria yang memutuskan untuk membentuk asosiasi tenis ini menolak untuk mengikutsertakan petenis wanita. Billie Jean menyadari bila mereka tak masuk asosiasi, maka suara mereka tidak bakal didengar. Sebagai catatan, masalah seksisme di dunia tenis juga mengambil wujud perbedaan hadiah uang kompetisi untuk nomor pria dan wanita. Perbandingannya seperti ini. Tahun 1968, Billie Jean menerima hadiah sebesar 750 pundsterling atas kemenangannya di Wimbledon. Sementara Rod Laver yang memenangi tunggal pria menerima 2.000 poundsterling.
ADVERTISEMENT
Yang dilakukan Billie Jean adalah membentuk Asosiasi Tenis Wanita (WTA). Bersama delapan petenis wanita, ia menandatangani kontrak simbolis sebesar 1 dolar AS, sebagai bentuk protes dari perbedaan uang hadiah tersebut. Kelompok itu belakangan dikenal sebagai The Original 9. Mereka menciptakan turnamen mereka sendiri, dua petenis dari Australia bahkan dikecam larangan bertanding karena aksi itu.
Lantas, highlight dari semuanya bertajuk The Battle of Sexes. 20 September 1973, digelar pertandingan tenis paling tidak masuk akal di dunia yang mempertemukan Billien Jean King dan Bobby Riggs. Sebelumnya, Bobby Riggs dikenal sebagai petenis pria perebut tiga gelar Grand Slam di tahun 1940-an. Ia dikenal sebagai salah satu “male chauvinist” paling terkemuka di dunia. Ia sebelumnya berhasil memenangi pertandingan melawan juara dunia wanita asal Australia, Margareth Court. Di buku biografinya yang kedua, Bobby Riggs menyebut bahwa kualitas petenis wanita hanya 25% dari petenis pria. Makanya, petenis wanita hanya layak mendapat hadiah 25% dari keseluruhan yang diterima petenis pria.
ADVERTISEMENT
Setelah menang melawan Margareth Court, Bobby Riggs menantang Billie Jean. Lantas, Billie Jean menerima tantangan itu. Mereka bertanding di Houston Court, di hadapan 30.000 penonton. Seharusnya, mustahil Billie Jean memenangi pertandingan itu. Usia Bobby Riggs memang tak lagi muda sewaktu melakoni pertandingan melawannya. Namun, tak sampai sebulan sebelumnya, Bobby menang melawan Court. Sebagai catatan, Court adalah rival terberat Billie Jean. Sewajarnya, bila Bobby berhasil mengalahkan Court, tentunya ia juga bisa mengalahkan Billie Jean.
Ternyata hasil pertandingan berbicara lain. Billie Jean menang dalam tiga set: 6-4, 6-3, 6-3. Riggs dan aksi seksisnya takluk. Tenis memasuki eranya yang baru. Bagi Billie Jean, batas di lapangan tenis adalah garis tepi, bukannya persoalan kelamin.
ADVERTISEMENT
Serena Williams menjadi salah satu petenis yang juga tak masuk akal. Keberadaanya sebagai petenis sulit diterima, karena barangkali, Serena terlalu berbeda. Ia tak terkalahkan di lapangan tenis. Lantas karena tak terkalahkan itu, banyak orang yang berusaha mengalahkannya di luar lapangan. Coba cari komentar-komentar miring atau ejekan rasialis perihal Serena di internet. Begitu mudah didapat. Namun, pada kenyataannya, Serena tidak berhenti. Ia memenangi gelar demi gelar.
Olahraga, sekali lagi, memang ranah yang unik. Di dalamnya banyak cerita yang tidak masuk akal. Selain kelima nama di atas, tentunya ada nama-nama lain yang barangkali memang luput dari publikasi. Kompetisi bukan hanya perkara merebut gelar, tetapi tentang menjadi orang-orang yang seharusnya berhenti, tapi tetap melaju. Tentang batasan-batasan yang seharusnya menjadi penghalang, tapi nyatanya tidak berkutik saat diperhadapkan dengan keberadaan seorang atlet.
ADVERTISEMENT