Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Rahmat Erwin Terpaksa Latihan Gelap-gelapan, Berujung Medali Olimpiade
17 Agustus 2021 16:00 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Usianya masih 20 tahun. Terbilang muda, tetapi atlet kelahiran 13 Oktober 2000 ini telah melewati banyak rintangan hingga sampai di titik sukses menyabet medali perunggu Olimpiade 2020.
Rahmat memulai petualangannya di dunia cabang olahraga angkat besi sejak masih SD. Melihat kegigihan kedua orang tuanya yang juga lifter menjadi pemicu dirinya untuk menggeluti profesi serupa.
"Dulu itu, saya latihan awal-awal pas umur-umur kelas 1 SD sampai kelas 3 SD, latihannya masih iseng-iseng sama senior-senior saya di Makassar," kenangnya dalam sesi Virtual Talk Karnaval Kemerdekaan kumparan, Selasa (17/8).
"Karena sekolah saya padat, [baru serius] latihan [lagi] pas saya masuk SMP, itu pun saya masih 'sembunyi-sembunyi' karena orang tua belum menganggap saya serius untuk mengejar cita-cita di angkat besi. Jadi, mereka belum mau melatih," lanjutnya.
Menurut informasi di situs web resmi Olimpiade, sang ayah yang bernama Erwin Abdullah pernah meraih perak cabang olahraga angkat besi kategori 69 kg pada Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Ibunya, Ami Asun Budiono, pun atlet angkat besi. Ia berkompetisi dalam turnamen angkat besi tingkat nasional dan telah melatih atlet-atlet angkat besi untuk Provinsi Sulawesi Selatan.
Kendati demikian, Rahmat Erwin perlu usaha keras dalam menunjukkan keseriusannya dalam mengejar impian menjadi atlet angkat besi. Ada kalanya ia mesti pergi latihan sendiri, tak peduli hujan atau panas, hingga akhirnya hati kedua orang tuanya luluh.
"Jadi, saya pergi sendiri [ke tempat latihan di Makassar] sama teman saya, ingat betul waktu itu hujan-hujanan karena musim hujan. Nah, pas tahu saya sering latihan sendiri, mereka mau enggak mau nemenin, dong. Sebab, angkat besi itu kalau enggak diawasi bisa berbahaya," tuturnya.
Dari yang awalnya skeptis, berubah menjadi optimistis. Ada masa ketika sang ayah bahkan mengusahakan agar bisa selalu kerja di pagi hari demi bisa melatih Rahmat Erwin saat sore hari. Meskipun terkadang, ia harus berdebat dengan ayahnya.
ADVERTISEMENT
"Awal-awal, ibu saya yang melatih karena bapak saya kadang shift pagi dan shift sore di pekerjaannya, sehingga enggak bisa terlalu memperhatikan," kisahnya.
"Namun, suatu hari, karena saya memperlihatkan semangat, alhasil dia mulai serius, 'Wah ini anak semangatnya bagus'. Akhirnya, dia mulai melatih saya dan pekerjaannya juga shift-nya diganti jadi pagi terus agar bisa melatih saya soalnya saya pagi sekolah."
"Saya sering ribut sama bapak karena dia strict. Dan saya masih muda seperti ini, banyak yang ingin dicoba," tambahnya.
Satu hal lain yang perlu ditekankan adalah soal fasilitas. Jangan kira kala itu Rahmat berlatih dengan fasilitas yang nyaman dan akses ke tempat latihannya mudah. Dia pernah rela berlatih dalam kegelapan karena akses listrik yang kurang.
ADVERTISEMENT
"Jadi, tempat latihan saya dulu [di Makassar], listrik dan penerangan enggak ada. Saya latihan sore, gelap. Bayangkan saja. Itu pun harus pakai lampu nelayan, lampu strongking, pakai gas," jelasnya.
Memang, sudah semestinya atlet-atlet harus ditunjang fasilitas bagus untuk dapat berprestasi. Namun di sisi lain, Rahmat Erwin sukses menerabas keterbatasan fasilitas untuk berprestasi. Kuncinya adalah menjaga komitmen dan tekad.
"Komitmen dan tekad harus kuat. Namun, dalam kondisi kayak begini, tempat latihan saya yang di Makassar yang seperti itu, itu bisa mengantar saya ke Olimpiade dan melatih mental saya. Saya mulai latihan di Jakarta sejak 2018 sampai sekarang. Nah, hasilnya seperti itu," tegas Rahmat.
Olimpiade 2020 menjadi Olimpiade perdana bagi Rahmat Erwin Abdullah. Turun di kelas 73 kg putra, ia mengakui bahwa banyak lawan kuat, misalnya Shi Zhiyong asal China yang menyabet emas dan Julio Mayora asal Venezuela yang menggondol perak.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Rahmat juga menyebut nama lain, seperti Clarence Cummings Jr. alias CJ, lifter Amerika Serikat yang memenangi Kejuaraan Dunia Angkat Besi Junior 2017 untuk kelas 69 kg putra di Bangkok, Thailand. Juga, Masanori Miyamoto yang mendapat perunggu Kejuaraan Asia 2020.
"Saingan terberat sudah jelas yang juara satu dan juara dua. Yang lain, banyak sebenarnya. Yang saya enggak pernah kalahkan sebelumnya juga ada. Contohnya dari USA, CJ, saya pertama kali ketemu dia pas di Bangkok, dia jadi juara satu di kelas saya, sedangkan saya masih di peringkat 11. Terus, Masanori Miyamoto dari Jepang juga kuat. Alhamdulillah, kemarin saya kalahin mereka. Enggak nyangka, sih," bebernya.
"Senang sekali, bangga. Karena, mau masuk untuk Olimpiade saja sebenarnya itu susah banget untuk angkat besi. Untuk dapat medali juga, lawannya juara-juara dunia semua. Saya saja ngumpulin kuota dari Asian Games 2018, bertanding terus sampai 2020," ungkapan bangganya soal berhasil dapat perunggu Olimpiade 2020.
ADVERTISEMENT
Hebatnya, Rahmat Erwin mampu mengontrol emosinya kala bertanding di Olimpiade perdananya. Ia pun bisa mengatasi rasa gentar atas fakta lawan-lawannya kuat sebagaimana disebut di atas.
Strategi yang baik dari tim pelatih. Rahmat kala itu dimasukkan ke Grup B. Kalau di Olimpiade 2020, Grup B pesertanya lebih sedikit dan itu membuat Rahmat lebih percaya diri. Selain itu, petuah dari orang tua juga membantunya meraih medali.
"Sebenarnya santai saat tanding [di Olimpiade 2020], karena saya sudah banyak jam terbang. Bapak saya juga sebagai pelatih memiliki [saran] strategi sendiri [buat saya] agar saya bertanding lebih enjoy. Orang tua saya selalu mengingatkan untuk istirahat, jaga kondisi, nanti lakukan yang terbaik saat pertandingan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Rahmat senang karena prestasinya meraih perunggu Olimpiade 2020 bisa membuat kedua orang tuanya bangga. Itu menjadi pengalaman paling berkesan selama di Tokyo.
Ya, pengorbanan Rahmat Erwin berbuah manis. Ada banyak hal berat yang dilaluinya hingga sukses menjadi peraih perunggu Olimpiade. Disiplin dalam berlatih itu sudah pasti.
"Kalau 'minggu ringan', latihannya hanya sekali sehari dengan catatan Kamis dan Minggu libur. Kalau 'minggu berat, latihannya dua kali sehari. Menu latihannya latihan inti seperti angkatan Snatch dan Clean and Jerk, divariasikan," terangnya.
"Sebelum Olimpiade, saya lebih berat dibanding hari-hari biasa. Begini, normalnya dari program yang sudah tertulis, saya biasanya dinaikin bebannya seberat 40 kg, 45 kg," tambahnya.
Akan tetapi, hal yang paling sulit menurutnya bukan berlatih. Menjaga mood demi menjaga mental adalah yang paling harus diperhatikan. Sebab, itu berkelindan dengan peningkatan prestasi.
ADVERTISEMENT
"Menjaga mood lebih susah, maksudnya menjaga harus tetap bahagia dan sabar. Itu paling susah. Kalau makan dan tidur masih bisa dipaksakan. Namun, kalau mood dan semangat itu berdampak besar pada peningkatan prestasi. Ini soal pola pikir karena saya tahu mood sangat berpengaruh. Untuk jaga mood, saya mencueki hal-hal sensitif, anggap ada," ungkapnya.
Rahmat Erwin Abdullah memiliki pesan kepada para generasi penerus yang ingin mengikuti jejaknya menjadi lifter. Intinya, mereka harus siap berlatih keras sepertinya.
"Pertama, mereka harus siap mental, jaga kondisi, cukup istirahat. Ada konsekuensinya jadi atlet. Kalau mau juara, pergaulannya banyak dikurangi. Enggak bisa begadang, enggak boleh merokok, banyak kegiatan masa muda yang mesti dikorbankan," kata sosok yang percaya masa depan angkat besi Indonesia bakal cerah ini.
ADVERTISEMENT
Rahmat sendiri telah menetapkan target selanjutnya. Dia bertekad ingin kembali menyabet medali-medali Olimpiade berikutnya dan juga emas Pekan Olahraga Nasional (PON) mendatang.
Saat ini, Eko Yuli tercatat sebagai atlet Indonesia paling banyak medali di Olimpiade (2 perak, 2 perunggu). Ia yakin bisa melebihi prestasi sang senior suatu hari nanti.
Prestasi Rahmat Erwin Abdullah di angkat besi
ADVERTISEMENT