Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kisah Raventus Pongoh: Anak Legenda Bulu Tangkis yang Jadi Wasit BWF
14 September 2024 10:54 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Lius Pongoh berada di jajaran para legenda bulu tangkis Indonesia. Bermodalkan ayunan raket, ia mengantarkan dirinya ke tangga juara berbagai ajang bergengsi. Ia juga masuk skuad juara Piala Thomas 1979 yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Lius tidak menuntut adanya penerus. Sehingga, salah satu putranya, Raventus Pongoh, berperan di dunia bulu tangkis dengan cara lain: Dengan menjadi wasit berlisensi BWF .
Raventus bahkan sama sekali tidak diarahkan menjadi atlet bulu tangkis oleh Lius. Ia malah disuruh mengeksplorasi hal lain, sehingga sempat lebih terbiasa dengan basket, juga kuliah Sastra China. Sebab dulu, ada anggapan bahwa atlet kurang sejahtera, sehingga ia diharuskan fokus ke akademis.
"Saya lulusan D3 Sastra China di UI. Sebelum lulus, sebelum wisuda, saya sudah mengajar di 2016 jadi guru di sekolah nasional plus di 2017 sampai pokoknya 3 tahunan, saya pindah lagi ke international school, terakhir di Mentari International School yang di Jakarta," terangnya saat diwawancarai di GOR Djarum Jati Kudus, Jumat (13/9).
Sejak 2014, Raventus juga menjadi admin PB Djarum di Kudus. Jadi, ia harus membagi waktu antara mengajar dan tugasnya di Kudus. Dan akhirnya, ia memilih untuk berhenti mengajar. Di sisi lain, ia juga mulai belajar jadi wasit bulu tangkis.
ADVERTISEMENT
"Mulainya 2014 akhir, saya belajar, jadi teman-teman saya di sini yang lagi belajar itu ada yang satu angkatan sama saya. Cuma, ya, Puji Tuhan, saya terbang duluan. Pada 2015, saya dapat 3 license sekaligus. Urutannya kan pemkab/pemkot, terus jadi pemprov, nasional A dan B. Next step-nya di 2016 dapat appraisals, 2017 BAA, terakhir di 2024 saya jadi BWF umpire di Indonesia Open," terangnya.
"Saya tahun ini sedang ujian, jadi untuk tahun ini lagi di-setting untuk tahun depan. Karena penugasannya dari BWF di-setting setahun sebelumnya. Nanti di Desember ditentuin availability kita kapan untuk tahun 2025. Apakah bisa dapat tugas setahun penuh atau cuma setengah tahun. Karena baru lulus tahun ini, jadi baru di-setting nanti untuk tahun depan ke mana saya akan pergi [ditugaskan]," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Untuk mempertahankan status wasit berlisensi BWF tidak mudah. Raventus Pongoh harus benar-benar hafal semua peraturan secara detail dan tak sekadar hafal, tetapi juga harus paham bagaimana pengaplikasiannya di lapangan.
"Selama bertugas, saya akan mendapat penilaian. Penilaiannya itu 360 [menyeluruh], jadi misalkan, enggak cuma antara saya dengan wasit lain, tapi juga antara saya dengan judges, relationship-nya kayak apa karena kita kan harus ngasih establish relationship bersama mereka dan host [panitia tuan rumah event]," papar Raventus.
"Jadi misalkan saya pergi ke China atau Denmark, nanti bagaimana hubungannya sama host, komunikasinya bagaimana dengan staf BWF, jadi semua itu all in. Kalau ada yang kurang, ya, minus nilainya. Jadi ada terms and conditions yang centangnya banyak," sambungnya.
ADVERTISEMENT
BWF, menurutnya, juga cukup adil dalam pembagian tugas. Suatu hari, ia juga bisa saja menjadi wasit di Olimpiade.
"Kalau misalkan wasit BWF sih semua dapat kesempatan untuk ke All England, Olimpiade sekalipun. Cuma kan ada proses. Selama setahun bekerja, atau 2 tahun bekerja, akan ada appraisals di turnamen yang ada asesornya. You have up to the standard atau getting bad," jelasnya.
"Kalau up to standard itu masih oke karena kriteria masuk Olimpiade itu gak gampang, apalagi sekarang ada gender equality, jadi komposisi wasit laki-laki dan perempuan harus balance. Sekarang ini wasit cowok persaingannya cukup ketat," tambahnya.
Sebagai wasit, Raventus Pongoh juga menekankan jangan takut membuat keputusan, selama sudah sesuai dengan aturan yang ada. Seperti halnya dia pernah memberi kartu merah ke pemain yang mengulur-ulur waktu, jadi jangan takut dengan provokasi dari si pemain atau suporter.
ADVERTISEMENT
"Menurut saya pribadi, nervous itu normal, kalau misalkan saya sudah enggak nervous berarti ada something wrong di lapangan. Karena nervous itu bikin kita alert, kalau kita alert artinya mengurangi kesalahan. Kalau masalah tekanan, yes, pasti ada tapi again, selama punya rules dan regulations sudah di sini [sudah hafal] tinggal diterapkan, selesai," tegasnya.
"Yang bikin tidak pede itu language, kedua adalah rules dan regulations-nya enggak benar-benar paham, enggak cuma hafal tapi juga harus paham. Jadi, hafal dan paham," lanjutnya.
PB Djarum juga mempunyai program pembinaan umpire. Raventus Pongoh ditugaskan untuk membina para penerusnya. Ia menekankan, siapa pun yang ingin jadi wasit berlisensi BWF harus menguasai Bahasa Inggris.
"Saya ditugaskan PB Djarum untuk membantu teman2 yang lain, harus ada Raventus yang lainnya. Banyak peminatnya, tapi mereka harus menguasai Bahasa Inggris karena semua peraturan BWF ditulis dalam Bahasa Inggris," tandasnya.
ADVERTISEMENT