Marc Marquez Juara Dunia: Konsistensi adalah Kunci

22 Oktober 2018 13:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Marquez merayakan gelar juara MotoGP di Jepang. (Foto: Reuters/Toru Hanai)
zoom-in-whitePerbesar
Marquez merayakan gelar juara MotoGP di Jepang. (Foto: Reuters/Toru Hanai)
ADVERTISEMENT
Jika Marc Marquez memang manusia biasa, semestinya dia tidak akan memastikan gelar juara MotoGP kelimanya di Twin Ring Motegi. Pasalnya, situasi yang dia hadapi memang cukup pelik. Pertama, dia harus start dari urutan keenam. Kedua, di pole position ada Andrea Dovizioso yang tahun lalu sukses menjuarai Grand Prix Jepang. Padahal, untuk menjadi juara dunia, Marquez harus finis setidaknya dua tempat di atas Dovizioso.
ADVERTISEMENT
Namun, Marquez memang bukan manusia biasa. Ada alasan mengapa dia dijuluki sebagai 'Bayi Alien' dan itu semua terbukti pada GP Jepang, Minggu (20/10/2018) siang WIB. Memang, pada gelaran tersebut Marquez mendapat sedikit bantuan dari Fortuna, tetapi apa yang dilakukannya jelas tidak bisa dinafikan begitu saja.
Dovizioso adalah satu-satunya pebalap yang bisa menghentikan laju Marquez untuk jadi juara dunia musim ini. Beruntung bagi Marquez karena pebalap Italia itu harus mengalami kecelakaan dua lap sebelum balapan rampung. Pada saat itu, Dovizioso ada di urutan kedua, persis di belakang Marquez yang sudah merangsek ke puncak. Jika situasi itu bertahan sampai rampung, Marquez harus menunggu setidaknya satu balapan lagi untuk memastikan gelar juara dunia.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Dovizioso diganjal oleh nasib. Setelah terjatuh, pebalap Ducati Corse itu sebenarnya masih mampu melanjutkan balapan, tetapi dia harus mengulangi segalanya dari urutan ke-16. Waktu tidak ada di pihaknya dan Dovizioso pun harus merelakan gelar juara ke tangan Marquez yang melesat mulus mencapai garis finis.
Pada dasarnya, apa yang terjadi di Grand Prix Jepang itu adalah gambaran umum dari bagaimana persaingan antara Marquez dan Dovizioso musim ini berlangsung. Dovizioso bukanlah pebalap jelek. Motornya, Desmosedici GP18, juga tidak bisa dibilang buruk. Akan tetapi, Marquez yang menunggangi Honda RC213V memang lebih baik. Sesederhana itu.
Bahwa Marquez lebih baik dibanding Dovizioso, itu adalah fakta tak terbantahkan. Gelar juara dunia 2018 ini adalah yang kelima untuk Marquez di kelas MotoGP. Sebelumnya, dia sudah pernah meraih prestasi serupa di ajang 125cc (sekarang Moto3) dan Moto2. Sementara, Dovizioso yang berusia tujuh tahun lebih tua itu cuma bisa jadi juara sekali di kelas 125cc.
ADVERTISEMENT
Persaingan Marquez dan Dovizioso ini sebenarya mirip dengan apa yang terjadi pada Valentino Rossi dan Sete Gibernau pada musim 2003 dan 2004. Gibernau, seperti halnya Dovizioso, bukan pebalap jelek. Motornya kala itu pun cukup bisa diandalkan. Namun, Rossi memang berada di level yang berbeda. Baik bersama Honda maupun Yamaha, dia selalu berhasil mengangkangi Gibernau yang harus puas cuma jadi runner-up.
Di olahraga, yang membedakan atlet bagus dan atlet hebat adalah bagaimana mereka menjaga konsistensi. Ketika seorang atlet sudah berada dalam kompetisi level tertinggi, kemampuan yang dimiliki tidak akan berbeda jauh dengan sang lawan. Itulah mengapa, siapa pun yang jadi pemenang adalah mereka yang bisa lebih sering menunjukkan kemampuan terbaik. Dalam hal ini, Dovizioso adalah pebalap bagus, tetapi Marquez adalah pebalap hebat.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, Dovizioso membuka musim ini dengan cemerlang. Di Grand Prix Qatar, dia berhasil merebut gelar juara sekaligus mencatatkan lap tercepat. Start dari posisi kelima, Dovizioso mampu bangkit untuk merebut posisi terdepan saat finis. Pebalap 32 tahun itu mampu melewati Marquez yang tertahan di posisi kedua.
Dovizioso tercepat di GP Qatar 2018. (Foto: Karim Jaafar/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Dovizioso tercepat di GP Qatar 2018. (Foto: Karim Jaafar/AFP)
Akan tetapi, setelah itu performa Dovizioso naik-turun. Butuh delapan seri baginya sebelum bisa kembali meraih gelar juara. Dalam kurun waktu itu, Dovizioso memang sempat berhasil menjadi runner-up di Grand Prix Italia. Namun, dalam kurun waktu itu juga dia tiga kali gagal menyelesaikan balapan, tepatnya di Grand Prix Spanyol ketika dia terlibat crash dengan Jorge Lorenzo dan Daniel Pedrosa, Grand Prix Prancis, serta Grand Prix Catalunya.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Marquez mulai menggila di sini. Padahal, dia sempat mengalami masa-masa sulit, yakni kala terlibat perseteruan dengan Rossi di Grand Prix Argentina. Pada seri tersebut, Marquez menyenggol motor Rossi dan kedua pebalap pun akhirnya harus rela finis di urutan 18 dan 19. Namun, bukan posisi finis itu yang menimbulkan prahara untuk Marquez, melainkan komentar-komentar yang dia dapatkan selepas balapan.
Kritikan datang bertubi-tubi pada Marquez. Rossi berkata bahwa dia sudah merusak MotoGP. Mantan pebalap MotoGP, Kevin Schwantz, mengatakan bahwa Marquez semestinya dihukum masa percobaan. Bahkan, Dovizioso yang finis keenam di seri itu berujar bahwa Marquez semestinya lebih tenang lagi dalam menghadapi duel satu lawan satu seperti itu.
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Walaupun mendapatkan kritikan dari sana-sini, Marquez sama sekali tidak terganggu. Di tiga seri sesudahnya, yakni Grand Prix Amerika Serkat, Spanyol, dan Prancis, Marquez sukses mengamakan gelar juara.
ADVERTISEMENT
Pada seri keenam di Italia, Marquez memang hanya mampu finis di urutan ke-16 karena mengalami kecelakaan. Namun, di seri berikutnya di Catalunya dia sukses kembali merangsek ke papan atas dengan menjadi runner-up sebelum kembali jadi juara di Belanda dan Jerman. Setelah Grand Prix Jerman itulah Dovizioso baru mulai bangun dari tidur.
Duel antara Marc Marquez dan Andrea Dovizioso di MotoGP Jepang. (Foto: REUTERS/Toru Hanai)
zoom-in-whitePerbesar
Duel antara Marc Marquez dan Andrea Dovizioso di MotoGP Jepang. (Foto: REUTERS/Toru Hanai)
Sejak Grand Prix Republik Ceko, persaingan antara Marquez dan Dovizioso mulai memanas. Dovizioso, di seri itu, berhasil menjadi juara, sedangkan Marquez finis ketiga. Pada seri berikutnya di Austria, Marquez menjadi runner-up, sementara Dovizioso finis di belakangnya. Di San Marino, Dovizioso juara dan Marquez naik podium kedua.
Persaingan berlanjut di Grand Prix Aragon dan Thailand, di mana Marquez selalu keluar sebagai juara di dua seri tersebut, sementara Dovizioso menguntit persis di belakangnya sebagai runner-up. Perlawanan Dovizioso mulai dari seri kesepuluh sampai keempat belas itulah yang membuat dirinya jadi pengganjal utama Marquez meraih gelar juara di Motegi.
ADVERTISEMENT
Namun, perlawanan Dovizioso itu akhirnya dikandaskan oleh nasib. Motornya terguling dan kesempatan untuk mengganjal Marquez itu pun sirna begitu saja. Di akhir balapan, Marquez merayakan gelar juara dunia dengan kostum bertuliskan 'Level 7' yang menunjukkan bahwa gelar juara dunianya bukan cuma lima, tetapi tujuh.
Pada akhirnya, Grand Prix Jepang musim 2018 ini adalah seri balapan yang menjadi penegas kebesaran Marquez dalam sejarah gelaran MotoGP. Sebaliknya, bagi Dovizioso, boleh jadi musim 2018 ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengangkat derajatnya dari sekadar 'lawan yang tanggguh' menjadi 'juara dunia'. Dengan kegagalan ini, barangkali Dovizioso, seperti halnya Gibernau, memang cuma ditakdirkan untuk jadi catatan kaki.