Mei 1998, Hendrawan Mencari 'Obat' Penawar Kerusuhan

15 Mei 2019 12:25 WIB
clock
Diperbarui 28 Januari 2020 17:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hendrawan di semifinal Asian Games 2002. Foto: AFP PHOTO/Yoshikazu TSUNO
zoom-in-whitePerbesar
Hendrawan di semifinal Asian Games 2002. Foto: AFP PHOTO/Yoshikazu TSUNO
ADVERTISEMENT
"...mungkin kalau juara dan membawa pulang Piala Thomas, ini bisa berikan sedikit obat, motivasi, atau hiburan kepada bangsa."
ADVERTISEMENT
Berbekal niat tulusnya, dia yang berbicara itu berhasil menjadi pahlawan bagi Indonesia di final Piala Thomas 1998. Dengan 'obat' yang dibicarakannya, ia berusaha 'menyembuhkan' kerusuhan rasial di Indonesia yang terjadi beberapa hari sebelum final.
Lewat kemenangan yang ia genggam, pria ini menjembatani Indonesia menuju gelar juara Piala Thomas. Pria yang dimaksud tak lain tak bukan adalah pebulu tangkis berdarah Tionghoa bernama Hendrawan alias Yap Seng Wan.
***
Hendrawan lahir di Malang, 27 Juni 1972. Tunggal putra binaan klub PB Djarum Kudus ini menancapkan namanya di level dunia usai menjuarai Rusia Terbuka 1995 dan Thailand Terbuka 1997.
Status juara kembali mengekor nama Hendrawan di Singapura Terbuka 1998. Beberapa waktu berselang, tepatnya pada 13-14 Mei 1998, tak pernah terpikirkan dalam benak sang jawara bahwa Jakarta porak-poranda.
ADVERTISEMENT
Bukan karena bencana alam, bukan karena teror dari luar negeri, melainkan karena amuk penduduknya sendiri.
Kerusuhan terjadi, toko-toko yang dibakar dan dijarah menjadi potret saat itu. Persekusi pun terjadi: Banyak orang menyapu kota untuk mencari etnis Tionghoa.
Di mana Hendrawan? Dia tengah membela nama Indonesia di Piala Thomas 1998 yang dibuka pada 15 Mei di Stadion Queen Elizabeth, Hong Kong. Takutkah dia? Sebagai manusia, tentu saja.
Kemenangan Hendrawan di Thomas Cup. Foto: (Foto: AFP/GOH Chai Hin)
Namun, berbekal kecintaan kepada Tanah Air (dan tugasnya sebagai atlet), Hendrawan masih bertanding dan berdiri tegak dengan jersi 'INDONESIA'. Kondisi Jakarta --kota tempat belahan jiwanya tinggal-- yang mencekam disingkirkan jauh-jauh dari benaknya.
"Keadaan seperti itu (genting) yang saya rasakan. Pacar saya waktu itu, yang sekarang istri saya ini, saat itu tidak bisa keluar dari kost dia di daerah Menteng, Jakarta Pusat, selama tiga hari," ucap Hendrawan mengawali kisahnya kepada kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
"Di depan (jalan) sudah ramai. Karena (kerusuhan) begitu tiba-tiba, tidak ada persiapan sama sekali, jadi hanya makan mie instan. Tapi, ibu kost baik, ya, bersyukur bantu kasih makan."
"Saat itu tentu saya khawatir. Kami tim di sana (Hong Kong) pun kalau boleh pulang, tentu ingin pulang (ke Indonesia). Kalau saat itu kalah juga, rasanya kami ada alasan. Tapi, 'kan tidak seperti itu, kami punya motivasi mau memberikan sesuatu yang terbaik kepada bangsa Indonesia, jadi kami berusaha yang terbaik," imbuhnya.
Semangat, kata Hendrawan, mengalahkan rasa takut Tim Indonesia, yang mayoritas berlatar belakang Tionghoa. Pada pertandingan final melawan Malaysia, 24 Mei 1998, Indonesia pun sejatinya lebih dulu tertinggal saat Hariyanto Arbi kalah dari Ong Ewe Hock.
ADVERTISEMENT
Pada partai kedua, ganda putra Ricky Subagja/Rexy Mainaky mampu menyamakan skor. Dan pada partai ketiga, Hendrawan menjadi kunci keunggulan 2-1 Indonesia atas Negeri Jiran usai mengalahkan Yong Hock Kin lewat tiga gim.
Candra Wijaya/Sigit Budiarto mempertegas keunggulan Indonesia jadi 3-1. Pada partai terakhir, kekalahan Joko Suprianto tidak berpengaruh. Indonesia pulang membawa gelar juara berkat kemenangan 3-2 atas Malaysia.
Hingga kini, semua setuju bahwa kemenangan Hendrawan adalah momentum sekaligus kunci keberhasilan Indonesia di Piala Thomas 1998.
"Dilihat dari sisi mental dan fisik, kondisi tidak memungkinkan kami untuk juara. Tetapi, karena memang pada saat itu pemain dan pengurus ada suatu dedikasi dan cita-cita, mungkin kalau juara dan membawa pulang Piala Thomas, ini bisa berikan sedikit obat, motivasi, atau hiburan kepada bangsa," ujar Hendrawan.
ADVERTISEMENT
"Bahwa dengan bersatu, tanpa perbedaan, bisa menjadikan kita lebih kuat. Itu suatu momen yang kami rasakan. Perlu berjuang meski keadaan berat," tuturnya.
Meski 'selamat' dari bidikan kerusuhan di Ibu Kota, Hendrawan menegaskan kondisi Tim Indonesia di Hong Kong selama Piala Thomas dan Uber 1998 tak kalah kacaunya. Terutama bagi atlet Tionghoa seperti Haryanto Arbi, Candra dan Indra Wijaya, Tony Gunawan, Susy Susanti, Mia Audina, dan dirinya sendiri.
"Dibutuhkan dana untuk bayar hotel. Karena saat itu semua kartu kredit Indonesia ditolak. Kalau tidak bayar saat itu, kami diusir dari hotel. Saya dengar ceritanya, saat itu keadaan Indonesia sudah goyang, mengeluarkan uang dalam jumlah ratusan juta itu sulit, ada approval khusus. Maka pada waktu itu akhirnya yang dibawa cash. Credit card ditolak, di-block juga," ujar Hendrawan.
ADVERTISEMENT
Mei 1998 adalah tragedi berdarah yang lukanya masih membekas sampai sekarang. Hendrawan dan kolega, dalam keadaan kalut, berusaha sebisa mungkin mencari obat penawar. Sampai kemudian mereka menggenggam gelar juara itu.
"Republik Indonesia Masih Ada," begitu headline koran Kompas pada Senin, 25 Mei 1998, satu hari setelah gelar Piala Thomas diamankan.
"Ini pesan saya terhadap kondisi bangsa sekarang, dengan situasi politik saat ini, kita masih ingat bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu berbeda-beda tetapi tetap satu," kata Hendrawan.
"Begitu banyak orang yang bicara, kita ini bersatu, tapi kenyataannya hari ini begitu gampangnya kita terpecah. Saya harap setelah ini kita bersatu," ucapnya.
***
Setelah pensiun sebagai atlet pada 2003, Hendrawan sempat menjadi pelatih skuat tunggal putra PBSI di Pelatnas Cipayung hingga 2009. Setelah itu, dia memilih bekerja di Malaysia.
ADVERTISEMENT
Apakah kecintaannya pada bangsa seperti yang menyeruak pada Piala Thomas 1998 itu tinggal cerita? Ini semua bukan sekadar soal nasionalisme, katanya.
Hendrawan, mantan atlet tunggal putra PB Djarum, di acara HUT PB Djarum ke-50 di Kudus, Jawa Tengah. Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan
"Keputusan saya pindah ke Malaysia karena di sana mendapat penghargaan yang lebih. Bukan masalah uang saja, tapi juga bagaimana menghargai profesi pelatih," ujar Hendrawan.
"Dulu bekerja di PBSI itu tidak ada kontrak, jadi kapan saja kalau tidak ada prestasi, atau pengurus ganti, pelatih bisa ikut diganti. Saya sempat di PBSI 2003 sampai 2009. Pada waktu mengundurkan diri dari PBSI, saya ditolak, tidak diterima surat pengunduran dirinya."
"Tapi, saya katakan ke PBSI bahwa saya tidak pernah menandatangani kontrak, jadi PBSI tidak bisa menghalangi (kemauan) saya. PBSI dan beberapa orang saat itu mengatakan (saya) tidak nasionalis, saya jawab bahwa Anda tidak boleh menilai saya nasionalis atau tidak nasionalis dengan keputusan saya mengundurkan diri dan pindah ke Malaysia."
ADVERTISEMENT
"Apakah setelah saya buktikan dengan prestasi di Piala Thomas, Olimpiade, Kejuaraan Dunia, semua itu kurang? Bisa menurunkan nilai nasionalisme saya?" tanyanya.
Hingga kini, Hendrawan masih berstatus pelatih pribadi Lee Chong Wei, tunggal putra andalan Malaysia. Tahun 2019, ikon bulu tangkis Negeri Jiran itu tengah memulihkan kondisinya usai menderita kanker hidung stadium tiga.
"Perkara saya balik ke Indonesia, kita tunggu setelah tugas saya dengan Chong Wei selesai. Karena ini semua balas budi, saya mendapatkan PR (Permanent Resident, red) Malaysia pun karena Lee Chong Wei membantu berikan penghargaan kepada saya dan keluarga. Dengan keadaan Chong Wei sekarang, harus tunggu (perkembangan) kondisi dia," tutup Hendrawan.