Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ana Ivanovic pernah menjadi ratu di dunia tenis. Di atas takhtanya, ia mengangkat trofi Prancis Terbuka padatahun 2008.
ADVERTISEMENT
Itu adalah gelar juara dunia pertamanya sejak 16 tahun menggeluti dunia tenis. Hidupnya ibarat menjalani mimpi. Katanya, ia menjadi petenis profesional karena terinspirasi dari petenis Yugoslavia tahun 1990-an, Monica Sales. Ia berlatih tenis sejak usia 5 tahun. Situasi keamanan Serbia yang tak kondusif memang jadi bagian dari masa kecilnya.
Ivanovic tampak punya tempat di dunia tenis. Ia menetap di Eropa, benua yang selalu punya tempat buat para petenis. Ia tak seperti Serena Williams yang harus bertungkus-lumus melawan stigma. Yang menjadi lawan Serena tak cuma petenis lain. Tak ada yang bisa mengusik bila membicarakan capaian prestasi Serena.
Hadley Williams, kolumnis The Guardian, pernah menulis bahwa, ketika mereka tak bisa mengalahkan Serena di lapangan tenis, mereka akan coba mengalahkan Serena dengan mengatakan bahwa ia gagal untuk menjadi seorang perempuan.
Ivanovic tak seperti Serena. Ia kelewat pas untuk disebut-sebut sebagai petenis. Sebagai profesional, ia tak perlu dipusingkan dengan daftar panjang omongan yang menudingnya gagal sebagai perempuan. Ia tak perlu merasa terganggu dengan fakta bahwa dunia tenis selalu didominasi oleh kulit putih. Karena toh, ia bagian dari mereka.
ADVERTISEMENT
Namun Ivanovic tak bisa berlama-lama duduk di takhta teratas. Ketimbang trofi dan gelar juara, rentetan cedera lebih sering menghampiri. Ibu jari, paha, betis, pergelangan kaki kiri –semuanya jadi daftar panjang penyebab mengapa gelar juara dunia tak bisa menjadi miliknya dalam waktu yang lama.
Yang mengusik karier Ivanovic tak hanya cedera fisik. Yips datang dan mengambil alih permainan dua tahun setelah ia dinobatkan sebagai juara dunia. Melengserkannya dari tahta.
Tom Perrota, kolumnis untuk The Atlantic menulis bagaimana yips dengan seketika mengacaukan permainan Ivanovic saat melawan petenis Argentina, Gisela Dunko, di menit-menit akhir set pertama putaran kedua Australian Terbuka 2010.
Servis adalah perkara yang teramat mendasar dalam tenis. Seorang petenis tak perlu menunggu sampai menjadi juara dunia supaya diharuskan untuk bisa melakukan servis dengan benar. Perkara servis tak pernah ada kaitannya dengan trofi Grand Slam. Namun, Ana Ivanovic, ratu tenis itu, juara dunia itu -gagal melempar bola saat servis.
ADVERTISEMENT
"Lengan kirinya tersentak ke atas dan bola membelok ke kanan. Alih-alih mengayun, ia justru menangkap bola dengan raketnya. Ia mengulangnya lagi, memantulkan bola, bersiap memberikan servis. Kali ini, bola malah mengarah ke depan, jauh di luar jangkauannya," seperti inilah Perrota menggambarkan kali pertama ia menyadari keberadaan yips dalam diri Ivanovic.
Yips dapat diartikan sebagai ketidaksanggupan sel motorik untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya biasa dilakukan. Bagi petenis profesional macam Ivanovic, melakukan servis seharusnya tak akan sesulit mengembalikan pukulan Dunko. Namun pada kenyataannya, Ivanovic tak bisa melempar bola servis dengan benar.
Lazimnya, yips muncul karena tekanan. Barangkali inilah yang menjadi penyebab yips sering muncul saat seorang atlet sedang melakoni laga-laga krusial. Tekanan lawan, beban untuk merebut atau mempertahankan gelar juara, frustasi menghadapi serangan lawan –pada dasarnya, hal-hal macam inilah yang menjadi pemicu awal serangan yips.
ADVERTISEMENT
Namun parahnya, yips pada tingkat tertentu tak cuma terjadi pada momen-momen seperti ini. Intensitasnya bakal meningkat, ia bakal sering muncul, bahkan di kegiatan sehari-hari. Kepercayaan diri Ivanovic sebagai atlet menurun drastis. Para pengamat menduga bahwa pada awalnya ia terlalu fokus pada hal-hal sepele, seperti pemotretan, yang pada akhirnya justru mengalihkan fokusnya sebagai petenis.
Perlahan tapi pasti, ia mulai menjadi seorang petenis yang overthink. Padahal pemikiran kedua atau kesekian tak pernah menjadi selaras dengan dunia tenis. Menjadi petenis ibarat menjadi petarung gladiator. Dalam setiap pertandingan mereka bakal berdiri sendiri-sendiri. Satu lawan satu.
Tenis tak seperti sepak bola, basket, ataupun hoki. Di dalamnya tak ada tim, mereka tak mengenal rekan. Para petenis tak bisa meminta bantuan siapa pun sepayah apa pun keadaannya. Tak ada pula kawan berbagi taktik. Kekalahan ditanggung sendiri, kemenangan dirayakan sendiri.
ADVERTISEMENT
Permainan tenis adalah permainan paradoks. Ia membutuhkan kemampuan untuk menghitung variabel-variabel tanpa berpikir sama sekali. Di dalamnya ada refleks dan kemampuan otot. Ketajaman sensor mata dan kinerja vena yang prima. Setiap pertandingan butuh strategi agar bisa dimenangkan. Lantas, semua tahu bahwa strategi adalah kawan karib kemampuan otak.
Ia perlu dipikirkan, dirumuskan dalam hitungan-hitungan rumit sebelum dieksekusi. Namun dalam tenis, kedatangan bola tak pernah menunggu sampai perhitungan kedua dan pemikiran kesekian. Makanya, fokus dalam dunia tenis berarti berpikir pendek. Memiliki pikiran seorang juara hampir tak ada bedanya dengan tak punya pikiran sama sekali.
Di usia 29 tahun, Ivanovic seharusnya masih punya kesempatan untuk menduduki puncak dunia tenis. Toh, setelah kejadian karena yips yang dideritanya, ia tetap bisa menjadi juara di Tournament of Champion Bali 2011.
ADVERTISEMENT
Pun tak sampai di situ. Pada tahun 2014, ia berhasil memboyong trofi ASB Classic Auckland setelah mengalahkan Venus Williams di partai final. Seharusnya ia tetap mengayun raket, bukan mengumumkan pensiun di pengujung tahun 2016 lalu. Bersama suaminya, Bastian Schweinsteigner yang juga dihantam badai cedera, ia hijrah ke Chicago.
Beberapa bulan setelah kepindahannya ke Chicago, Schweinsteiger mengumumkan bahwa Ivanovic sedang mengandung. Tak lama lagi, anak pertama mereka bakal lahir. Semacam pengumuman yang menandakan bahwa pengungsian mereka ke Kota Angin tak dingin-dingin amat.