Melihat Juan Mata sebagai Don Quixote

27 Oktober 2017 17:42 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Juan Mata, Si Don Quixote modern. (Foto: AFP/Oli Scarff)
zoom-in-whitePerbesar
Juan Mata, Si Don Quixote modern. (Foto: AFP/Oli Scarff)
ADVERTISEMENT
Juan Manuel Mata, tentu saja, bukanlah Don Quixote. Tak seperti Mata, Don Quixote adalah sosok paruh baya yang delusional dan eksentrik. Meski begitu, dua sosok ini, selain sama-sama orang Spanyol, punya satu kesamaan yang lebih mengikat, yakni keinginan untuk membuat dunia menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dalam mewujudkan misinya itu, Don Quixote punya tunggangan berupa seekor kuda yang diberinya nama Rocinante. Bersama-sama, mereka kemudian berpetualang untuk membenahi kemungkaran di sana-sini. Selain sang kuda yang setia, Don Quixote juga kemudian ditemani seorang pelayan bernama Sancho yang menunggangi seekor keledai.
Petualangan hebat Don Quixote itu sendiri hanyalah rekaan belaka. Penulisnya adalah Miguel de Cervantes dan latar waktunya ada di awal abad ke-17. Ketika itu, rasanya, untuk bisa mengubah dunia memang diperlukan tetek bengek seperti kuda, pelayan, senjata, dan semacamnya. Namun, Juan Mata yang hidup empat abad setelahnya tidak butuh semua itu. Untuk mengubah dunia, "senjata" yang diperlukan pria 29 tahun itu hanya satu: sepak bola.
Saat ini, Mata memiliki sebuah proyek yang diberi nama Common Goal. Sederhananya, lewat proyek ini, pemain jebolan La Fabrica itu mengajak para pesepak bola untuk mendonasikan 1% uang yang mereka terima untuk membantu mereka yang membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Untuk menjalankan proyek ini, Mata bekerja sama dengan seorang aktivis Jerman bernama Juergen Griesbeck. Griesbeck sendiri merupakan pendiri yayasan non-profit streetfootballworld yang telah beroperasi selama 15 tahun. Lewat yayasan inilah Common Goal dijalankan.
Dengan uang yang terkumpul, nantinya akan dilaksanakan kegiatan-kegiatan sosial dengan balutan sepak bola. Sampai saat ini, sesuai yang tercantum di situswebnya, Common Goal sudah menyebut tiga hal sebagai prioritas yakni soal kesetaraan gender di India, peacebuilding di Kolombia, dan integrasi pengungsi di Jerman.
Mata sendiri, selain sebagai pesepak bola, juga dikenal sebagai penulis blog yang aktif dan dari tulisannya di The Players' Tribune pulalah ajakan ini mulai dikumandangkan. "Aku memimpin upaya ini, tetapi aku tidak mau sendirian," tulis playmaker Manchester United ini.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, sudah ada 11 persona sepak bola yang bergabung dengan gerakan ini. Menariknya, meski awalnya Mata baru mengajak para pemain saja, sudah ada satu figur non-pemain yang turut bergabung. Figur yang dimaksud adalah Julian Nagelsmann, trainer Hoffenheim.
Sementara itu, dari kubu pemain, nama pertama yang bergabung adalah Mats Hummels (Bayern Muenchen/Jerman). Hummels kemudian disusul oleh sesama pemain bertahan, Giorgio Chiellini (Juventus/Italia). Tak lama kemudian, turut bergabung dua juara dunia perempuan dari Amerika Serikat, Megan Rapinoe (Seattle Reign) dan Alex Morgan (Orlando Pride).
Empat nama itu tadi bergabung hanya dalam hitungan hari dan pekan setelah kolom Mata di The Player's Tribune keluar. Namun, setelah itu langsung bermunculanlah nama-nama baru yang dimulai oleh Serge Gnabry (Hoffenheim/Jerman) dan Denis Aogo (Stuttgart/Jerman). Lalu, menyusul pula Alex Brosque (Sydney FC/Australia), Hasan Ali Kaldirim (Fenerbahce/Turki), Alfie Mawson (Swansea City/Inggris), Charlie Daniels (Bournemouth/Inggris), hingga Shinji Kagawa (Borussia Dortmund/Jerman).
ADVERTISEMENT
Alex Morgan & Megan Rapinoe. (Foto: AFP/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
Alex Morgan & Megan Rapinoe. (Foto: AFP/Andrew Yates)
Untuk ukuran pergerakan yang masih seumur jagung, tingginya antusiasme ini tentu sudah bisa membuat Juan Mata gembira. Apalagi, dalam pernyataan resminya, Aogo bahkan menyebut bahwa dia takkan hanya menyumbangkan 1% gajinya, tetapi "setidaknya 2%".
Akan tetapi, ini semua baru awal. Pasalnya, Mata punya target yang sangat muluk-muluk. Dia ingin bahwa suatu hari nanti, inisiasi ini bisa terinstitusionalisasi.
"Jika FIFA dan UEFA mau menerapkannya juga, itu bakal sangat hebat," tutur Mata kepada The Guardian.
Selain itu, nantinya Mata juga ingin agar 1% ini tidak hanya ditarik dari gaji pemain saja, tetapi juga dari segala aktivitas yang melibatkan uang seperti transfer pemain.
"Setiap kali ada pemain yang dibeli, setiap kali gaji dibayarkan, setiap kali laporan keuangan masuk, di klub-klub, di federasi, di kalangan agen pemain, 1% bakal secara otomatis dipergunakan untuk proyek sosial. (Nantinya), tidak akan ada lagi orang yang bertanya, 'Ini 1% apaan, sih?' karena semua orang sudah tahu," imbuh mantan bintang Valencia ini.
ADVERTISEMENT
Julian Nagelsmann, ikut Juan Mata. (Foto: Reuters/Ralph Orlowski)
zoom-in-whitePerbesar
Julian Nagelsmann, ikut Juan Mata. (Foto: Reuters/Ralph Orlowski)
Muluk-muluk? Jelas. Tetapi, Mata tidak peduli. Toh kalaupun tidak terinstitusionalisasi sekalipun, jika figur yang terlibat semakin banyak, jumlah yang terkumpul dan bisa dipakai untuk menjalankan proyek juga otomatis bakal semakin membesar. Itulah mengapa, Mata memilih untuk "mengiklankan" proyek ini tak cuma dengan kata-kata, tetapi juga dengan aksi nyata.
Lalu, apa sebenarnya yang membuat Juan Mata menjadi sosok seperti ini?
Well, ketika kita bicara soal Juan Mata, kita sedang bicara tentang seorang yang terdidik dengan baik. Mata adalah pria cerdas dan berasal dari keluarga berada. Menurut penuturannya, ketika masih bersekolah dulu, dia bahkan pernah sampai dimintai tanda tangan saking hebatnya dia dalam menjawab soal-soal trivia.
Tetapi, kecerdasan itu tentu saja hanya merupakan sebuah suplemen. Artinya, hal ini diperlukan untuk melakukan eksekusi. Akan tetapi, apa yang membuat Mata tergugah adalah karena dia memang sosok yang senantiasa berempati. Dia tak hanya bisa mengidentifikasi, tetapi juga bisa merasakan kesusahan orang lain.
ADVERTISEMENT
Ide untuk membentuk Common Goal ini sendiri dimatangkan saat dia berkunjung ke India. Di sana, dia melihat bahwa sepak bola bisa memiliki efek yang, kalau tidak bisa dibilang menyembuhkan, setidaknya bisa meringankan penderitaan seseorang.
"...Saya tidak yakin mereka tahu kalau saya ini pemain sepak bola, tetapi kami bisa berinteraksi lewat bola dan tawa. Ketika saya tersenyum, mereka tersenyum. Ketika saya berlari, mereka berlari. Mereka tahu kami ada di sana untuk membantu dan ada energi yang nyata di sana. Dan saya pikir, seperti halnya saya memberi kehidupan pada kakek saya, anak-anak itu memberi saya kehidupan," tulis Mata.
Di India, Mata memang mendatangi sebuah yayasan dan di sana, dia bertemu dengan anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski tak bisa menuntaskan problem anak-anak itu secara langsung, setidaknya Mata sudah bisa menghadirkan tawa lewat sepak bola.
ADVERTISEMENT
Oh, dan bicara soal kakeknya, ini menarik. Pasalnya, di setiap wawancara atau tulisan yang menyebut soal Common Goal ini, eks-Chelsea tersebut selalu menyebut bagaimana dia sangat dekat dengan sang kakek dan ketika kakeknya meninggal, Mata sangat terpukul.
Meski sang ayah lebih sering mengantar jemput Juan Mata kecil untuk berlatih sepak bola, sang kakeklah yang pertama kali membuat dirinya ingin menjadi pesepak bola. Tak cuma itu, menurut Mata, sang kakek tidak pernah absen menyaksikan pertandingan-pertandingan yang dia lakoni sewaktu kecil. Kakek Mata sendiri meninggal usai laga 32 besar Liga Europa musim lalu melawan Saint-Etienne.
Dari kebahagiaan sang kakek tiap kali melihat Mata bermain sepak bola itulah sang pemain kemudian ingin juga menularkan kebahagiaan itu ke orang-orang yang membutuhkan. Menurut Mata, sekuat itulah sepak bola dan kini, dia menggunakan itu sebagai Rocinante-nya untuk mengubah dunia.
ADVERTISEMENT