Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mengapa Rafael Nadal Begitu Digdaya di Prancis Terbuka?
30 Mei 2018 14:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Kematian, pajak, dan Rafael Nadal menjadi kampiun di Stade Roland Garros. Tiga hal itu adalah keniscayaan yang (nyaris) tak bisa dihindari.
ADVERTISEMENT
Suatu kali, Roy Keane, kapten legendaris Manchester United yang dikenal karena kemampuannya membuat lelaki dewasa terkencing-kencing itu, pernah berkata bahwa tim-tim yang menghadapi Manchester United (di eranya dulu) seringkali sudah kalah sebelum berperang. Di lapangan tanah liat, hanya Nadal yang bisa menghasilkan efek intimidasi semacam itu.
Buktinya jelas. Sejak melakoni debut di kancah profesional pada 2001 silam, Nadal sudah mencapai La Decima di Prancis Terbuka . La Decima dalam bahasa Spanyol berarti (gelar) yang kesepuluh. Tidak ada petenis lain yang bisa sedominan Nadal di lapangan tanah liat.
Nadal sendiri bukan cuma pernah juara di Prancis Terbuka. Dari tiga Grand Slam lain, pria kelahiran 32 tahun silam ini sudah mengoleksi enam gelar -- satu di Australia Terbuka, dua di Wimbledon, tiga di Amerika Serikat Terbuka. Namun, yang membuat Nadal spesial memang pencapaiannya di Roland Garros.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan pun mau tidak mau harus dikemukakan. Apa yang membuat Nadal begitu digdaya di Prancis Terbuka?
Nah, sebelum melihat dari sudut pandang Nadal sendiri, ada baiknya kita memahami dulu karakter permainan tenis di berbagai permukaan berbeda.
Todd Woodbridge, mantan jagoan tenis Australia di nomor ganda, pernah menulis di Tennismash bahwa para petenis dari negerinya punya karakter agresif. Mereka doyan sekali maju ke dekat net karena para petenis ini dibesarkan di permukaaan rumput yang membuat pergerakan bola menjadi sangat cepat.
Ya, saat ini Australia Terbuka memang dilangsungkan di permukaan keras (hard court). Namun, hal ini baru terjadi mulai 1988. Padahal, Australia Terbuka sudah digelar sejak 1905. Dengan kata lain, tenis Australia secara tradisional memang dimainkan di lapangan rumput seperti halnya Wimbledon.
ADVERTISEMENT
Lapangan tanah liat adalah kebalikan dari lapangan rumput. Di sini, bola bergerak lebih lambat dan kelembamannya pun lebih besar. Dalam diri Nadal, ada tiga hal yang membuat dirinya demikian menakutkan tiap kali berlaga di lapangan berpemukaan seperti ini.
Pertama, soal fisik. Bahkan di usianya yang sudah berkepala tiga, Nadal masih menjadi petenis paling fit. Di lapangan tanah liat, Nadal benar-benat 'dimanjakan'. Mau bertarung berapa jam pun, Nadal bakal siap meladeni.
Keunggulan fisik Nadal ini bahkan diakui sendiri oleh sang nemesis, Roger Federer . Dalam sebuah wawancara singkat bersama Tennis 365 belum lama ini, Federer berkata, "Aku merasa bahwa aku bisa tampil bagus di lapangan tanah liat, tetapi bermain di situ sangatlah menguras tenaga dan Rafa sudah menguasai permukaan itu lebih baik dari siapa pun."
ADVERTISEMENT
Selain perkara stamina, aspek fisik lain yang membuat Nadal unggul adalah kecepatan dan kekuatan. Maka, ketika bola meluncur lebih lambat dan Nadal bisa bergerak cepat, secara otomatis dia bisa mengantisipasi bola dengan lebih baik. Ini, ditambah dengan kekuatan pukulannya, membuat siapa pun yang jadi lawan bakal tidak nyaman. Dengan kata lain, Nadal bukan cuma petenis yang hebat, tetapi juga atlet yang mumpuni.
Kedua, teknik memukul. Untuk urusan ini, Nadal diuntungkan sekali dengan fakta bahwa dia adalah petenis kidal. Ketika Nadal memukul dengan tangan kiri, bola akan jatuh di sisi backhand petenis bertangan kanan (yang jumlahnya mencapai 90% dari total peserta).
Dengan demikian, power yang dihasilkan para petenis lawan saat mengembalikan bola pun takkan optimal. Memang ada petenis macam Federer yang berusaha mengakali ini dengan melakukan backslice, tetapi Nadal pun hampir selalu bisa mengatasi itu.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah karena kidal saja sudah cukup bagi Nadal? Oh, jelas tidak. Legenda tenis Amerika, Jim Courier, pernah berkata bahwa kehebatan Nadal dalam melakukan pukulan topspin forehand membuat lawan kerapkali salah posisi.
"Di lapangan tanah liat, kuncinya adalah permainan posisi karena permukaan yang licin membuat pengembalian bola jadi lebih sulit," jelas Courier seperti dilansir ESPN.
Selain itu, kekuatan Nadal tadi membuat bola memantul lebih tinggi ketika sampai di area milik lawan. Bahkan, pantulan bola bisa mencapai setinggi bahu. Posisi tubuh lawan dan posisi bola ini membuat ancang-ancang sebaik apa pun tidak akan membuat pengembalian bola menjadi lebih baik.
Terakhir, masalah mental. Nadal adalah seorang petarung. Sejak sebelum masuk lapangan pun dia sudah memulai pertarungan di dalam benaknya. Sebenarnya, di lapangan mana pun sikapnya selalu sama. Namun, di permukaan tanah liat -- khususnya di Roland Garros ketika turnamen digelar saat musim panas -- kekuatan mental inilah yang melipatgandakan kehebatan fisik dan teknik Nadal tadi.
ADVERTISEMENT
Sebagai petenis Spanyol, Nadal memang sejak kecil sudah dilatih untuk menguasai lapangan tanah liat. Di Barcelona sana, banyak petenis top Eropa macam Marat Safin, Andy Murray , serta Juan Carlos Ferrero yang dibesarkan dengan permukaan ini. Nadal memang tidak ikut berlatih di Barcelona, melainkan di Mallorca, tetapi ilmu yang didapat kurang lebih sama.
Hal ini berpengaruh pada kekuatan mental tadi. Dia sudah terbiasa bermain di permukaan ini dan tahu persis apa yang harus dilakukan. Oleh karenanya, mempermainkan lawan bukan masalah bagi Nadal di lapangan tanah liat.
Pada final edisi 2012 lalu menghadapi Novak Djokovic , Nadal mengaplikasikan betul kekuatan mental serta kecerdasan ini. Kala itu, final sempat ditunda karena hujan, tetapi kualitas permainan Nadal sama sekali tak berkurang ketika laga dilanjutkan pada Senin waktu setempat. Djokovic pun dia permainkan dan akhirnya dipaksa untuk menyerah.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Nadal tetaplah manusia biasa. Dia boleh jadi punya atribut mendekati sempurna ketika berlaga di lapangan tanah liat dan meski jarang, tetap bisa dikalahkan. Bahkan, kekalahan pertama Nadal di permukaan ini dideritanya di tangan seorang petenis gurem bernama Igor Andreev pada Valencia Terbuka 2005.
Di Roland Garros sendiri, Nadal sudah pernah kalah dua kali. Pertama, dari Robin Soederling pada babak keempat edisi 2009 dan kedua, pada perempat final 2015 dari Novak Djokovic. Sementara, satu kegagalan Nadal lainnya di Prancis Terbuka, pada 2016 lalu, terjadi karena dia mengundurkan diri akibat cedera.
Namun, terlepas dari itu, Nadal tetaplah raja di lapangan tanah liat. Secara teknis, tak ada yang bisa menandingi Nadal di sini. Namun, Nadal juga tak jarang bermain dengan sembrono dan inilah satu-satunya hal yang bisa membuat kemenakan Miguel Angel Nadal ini terjungkal.
ADVERTISEMENT