Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Mengenang dan Melihat Kembali Dortmund-nya Ottmar Hitzfeld
11 April 2017 16:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Mau sekeras apapun tim-tim lain berusaha, Bundesliga Jerman sudah kadung identik dengan Bayern Muenchen. FC Koeln, Hamburger SV, Borussia Moenchengladbach, Werder Bremen, sampai Borussia Dortmund sudah pernah silih berganti berusaha mendongkel hegemoni Die Roten. Namun, ujung-ujungnya mereka gagal juga.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, barangkali kalau ada klub yang paling berhasil mengganggu dominasi Bayern, ia adalah Dortmund. Pasalnya, dalam tiga dekade terakhir, merekalah tim yang paling konsisten menjadi penantang serius Bayern. Tak heran jika pertemuan Bayern dengan Dortmund-lah yang disebut Der Klassiker di Jerman sana.
Munculnya Dortmund sebagai kekuatan besar persepakbolaan modern Jerman sebenarnya belum lama terjadi. Tak seperti Koeln, Hamburger, dan Gladbach yang mencuat pada era 1960-an, 1970-an, dan 1980-an, Dortmund baru mulai melejit pada dekade 1990-an.
Trofi Bundesliga pertama Dortmund datang pada musim 1994/95. Sebelumnya, mereka memang sudah pernah tiga kali menjadi penguasa Jerman. Namun, itu semua terjadi saat Bundesliga belum mulai digelar.
Pada era-era awal Bundesliga, prestasi terbaik Dortmund adalah saat menjuarai DFB Pokal pada 1964/65 dan Piala Winners setahun sesudahnya. Masalah finansial pun kemudian menjangkiti mereka pada dekade 1970-an dan 1980-an sehingga keran prestasi mereka mampat.
ADVERTISEMENT
Memasuki akhir dekade 1980-an, Dortmund perlahan mulai bangkit. Di bawah asuhan Horst Koeppel, mereka mampu menjuarai DFB Pokal pada musim 1988/89. Namun, gelar juara liga belum juga mampu mereka dapatkan. Koeppel pun diberhentikan pada awal musim 1991/92 untuk memberi tempat kepada seorang pelatih ajaib dari negeri tetangga bernama Ottmar Hitzfeld.
Meski lahir dan besar di Jerman Barat, Hitzfeld memang menghabiskan sebagian besar karier bermain dan melatihnya di Swiss. Itulah mengapa tak banyak orang yang menyangka bahwa pria kelahiran 1949 itu sebenarnya adalah orang Jerman asli.
Karena itu pulalah, Hitzfeld sampai mengaku tidak tahu seberapa pentingnya Rivierderby bagi para suporter Dortmund. Pada pertandingan keempat di musim pertamanya, mereka dikalahkan Schalke 2-5 di Gelsenkirchen dan para fans sempat dibuat benar-benar meradang karenanya.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti yang dituliskan pakar sepak bola Jerman, Uli Hesse, dalam kolomnya di ESPN, Hitzfeld akhirnya mampu membayar lunas kealpaannya itu. Bahkan, tak hanya membayar lunas, bonus pun dibayarkan "Sang Jenderal" untuk tim dari lembah Ruehr itu.
Di bawah komandonya, peruntungan Dortmund benar-benar berubah. Meski butuh waktu tiga tahun untuk menjadi juara liga, Die Borussen sudah langsung menjelma menjadi tim papan atas lagi. Salah satu pertandanya adalah ketika mereka mampu menembus final Piala UEFA tahun 1993, sebelum dikalahkan Juventus.
Kekalahan dari Juventus itulah yang menjadi titik balik sejarah Dortmund. Mengantongi uang sebesar 25 juta mark, mereka pun kaya mendadak dan akhirnya mampu membeli pemain-pemain berkualitas untuk mengembalikan khitah mereka sebagai tim besar Jerman.
ADVERTISEMENT
Dipimpin sweeper terbaik Jerman, Matthias Sammer, Dortmund berhasil menjadi juara Bundesliga dua musim berturut-turut pada 1994/95 dan 1995/96. Sammer yang lahir di Jerman Timur itu kemudian juga berhasil membawa Jerman menjuarai Euro 1996 dan dianugerahi gelar Pemain Terbaik Eropa.
Puncak dari segala pencapaian Dortmund dan Hitzfeld tentunya adalah ketika mereka berhasil membalas dendam atas Juventus pada final Liga Champions 1997. Diperkuat tiga mantan pemain Juventus yang ikut ambil bagian pada final Piala UEFA 1993 -- Andy Moeller, Paulo Sousa, dan Juergen Koehler -- mereka memukul "Si Nyonya Tua" yang berstatus juara bertahan.
Bermain di Olympiastadion Muenchen, Dortmund mampu membuat dominasi Juventus menjadi sia-sia. Dengan Paul Lambert sebagai pemain jangkar, Dortmund mampu mematikan lini tengah sang lawan yang dihuni Zinedine Zidane, Didier Deschamps, Vladimir Jugovic, dan Angelo Di Livio. Hasilnya, lini depan Juventus yang diperkuat duo Christian Vieri dan Alen Boksic pun turut melempem.
ADVERTISEMENT
Dengan formasi 3-5-2 yang khas, Hitzfeld menempatkan Stephane Chapuisat dan Karl-Heinz Riedle di depan. Mereka berdua disokong Moeller, Sousa, dan Lambert serta Joerg Heinrich dan Stefan Reuter sebagai duo wing-back. Sementara itu, Sammer, Koehler, dan Martin Kree menjadi trio bek sentral di depan kiper Stefan Klos. Meski terus digempur, Dortmund justru berhasil unggul dua gol pada babak pertama lewat aksi Riedle.
Marcello Lippi merespons buntunya serangan Juventus dengan menarik keluar Sergio Porrini dan memasukkan Alessandro Del Piero muda. Formasi dasar Juventus pun berubah menjadi 3-4-3, dan pergantian itu terbukti jitu karena Del Piero berhasil menaklukkan Klos lewat sebuah gol cantik pada menit ke-65.
Melihat Juventus berada di atas angin, Hitzfeld meresponsnya dengan dua pergantian: Riedle keluar digantikan Heiko Herrlich dan Chapuisat ditarik untuk memberi jalan pada gelandang belia, Lars Ricken.
ADVERTISEMENT
Herrlich, seorang penyerang pekerja keras, menjadi gelandang tambahan yang mampu membantu mematikan para gelandang Juventus. Sementara itu, Ricken menjadi pencetak gol ketiga Dortmund. Gol itu sendiri akhirnya mematikan momentum Juventus sekaligus menyegel gelar Liga Champions pertama dan satu-satunya milik Dortmund.
Sayang, gelar Liga Champions ini adalah gelar terakhir Hitzfeld untuk tim berseragam kuning-hitam itu. Pasalnya, pada awal musim 1997/98, dia justru "dipromosikan" menjadi direktur olahraga setelah berselisih dengan anggota timnya. Hitzfeld sendiri kemudian hengkang ke Bayern semusim berselang.
Memang Semua Berkat Hitzfeld
Meski berstatus sebagai salah satu pelatih terbaik sepanjang masa, Ottmar Hitzfeld bukanlah peracik taktik yang handal. Seperti halnya Sir Alex Ferguson atau Carlo Ancelotti, dia adalah sosok pelatih yang punya keunggulan dalam hal manajemen pemain. Itulah mengapa Bayern kepincut dengannya dan akhirnya bergelimang trofi di bawah komandonya.
ADVERTISEMENT
Menangani pemain-pemain bintang di Dortmund adalah geladi bersih bagi Hitzfeld untuk kemudian menjadi legenda di Bayern. Perlu dicatat bahwa julukan FC Hollywood yang disematkan untuk Bayern itu bukanlah pujian, melainkan sindiran. Pasalnya, sudah sejak era Franz Beckenbauer dulu Bayern identik dengan intrik antarpemain.
Namun, semua itu musnah di tangan Hitzfeld. Kuncinya, dia mampu mengendalikan pemain-pemain berego besar seperti Lothar Matthaeus dan Steffan Effenberg. Oleh Hitzfeld, ditegaskan bahwa terlepas dari sehebat apapun mereka di lapangan, mereka bukan bosnya. Dengan prestasi yang juga terus membaik, respek para pemain pun secara otomatis tumbuh pula dengan pesat.
Sebelum ada di puncak dunia bersama Dortmund dan Bayern, Hitzfeld sebelumnya juga sudah menunjukkan tangan dinginnya kala masih berkarier di Swiss. Klub pertamanya, Zug 94, berhasil dibawanya promosi ke Swiss Super League. Kemudian, dua gelar Swiss Super League, tiga Piala Swiss, dan satu Piala Super Swiss bersama Grasshopper dan FC Aarau pun menyusul. Pendek kata, di mana ada Hitzfeld, di situ pasti ada trofi.
ADVERTISEMENT
Dengan kemampuan manajemen pemainnya yang nyaris tanpa tanding, Hitzfeld menjadi selalu tahu apa yang dibutuhkan tim asuhannya secara persis. Tanpa perlu mengurusi detail sampai yang terlalu jelimet, Hitzfeld justru mampu mengeluarkan kemampuan terbaik para pemainnya. Alasannya, karena para pemain yang diasuhnya itu adalah para pemain hebat yang sebenarnya sudah tahu harus berbuat apa.
Sampai detik ini, Dortmund masih berutang budi kepada Ottmar Hitzfeld. Pasalnya, kesuksesan mereka sampai saat ini pun masih bisa dilacak akarnya sampai pada era 1990-an dulu. Kalau saja ketika itu pengganti Horst Koeppel bukan dirinya, bisa jadi sampai sekarang Dortmund masih menjadi tim kelas dua.