Menghidupkan Semangat Zaman lewat Soundtrack 'The Last Dance'

22 Mei 2020 17:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Michael Jordan dalam pertandingan final Wilayah Timur NBA 1998 menghadapi Indiana Pacers. Foto: Getty Images/Vincent Laforet
zoom-in-whitePerbesar
Michael Jordan dalam pertandingan final Wilayah Timur NBA 1998 menghadapi Indiana Pacers. Foto: Getty Images/Vincent Laforet
ADVERTISEMENT
'The Last Dance' adalah ode untuk Michael Jordan, itu sudah jelas. Di dalamnya, Jordan dikuliti habis, baik sebagai seorang pebasket maupun manusia. Hingga akhirnya, kesimpulan pun didapat: Jordan adalah manusia bisa yang sukses menciptakan hal luar biasa.
ADVERTISEMENT
Lewat 'The Last Dance', Jordan ditampilkan utuh. Kelebihan dan kekurangannya diumbar ke khalayak. Hampir semua yang ditampilkan sutradara Jason Hehir adalah hal berbau Jordan, kecuali satu: Musik.
Jordan adalah pencinta musik. Malah, dalam beberapa kesempatan dia menggunakan musik untuk mengintimidasi lawannya di arena. Mantan pentolan Detroit Pistons, Jerry Stackhouse, misalnya, pernah menjadi korban.
Lewat lagu 'Giving You The Best That I Got' milik Anita Baker, Jordan pernah membuat Stackhouse kehilangan konsentrasi. Kisah ini sendiri dituturkan eks pemain NBA, Roshown McLeod, dalam podcast 'Brown and Scoop' pada 2016 silam.
Baker memang penyanyi favorit Jordan dan fakta ini sudah diketahui publik sejak 1989. Usai membawa Bulls menyingkirkan Cleveland Cavaliers dari playoff, Jordan bercerita bahwa sebelum pertandingan dia mendengarkan lagu Baker yang berjudul 'Giving You The Best That I Got' itu tadi.
ADVERTISEMENT
Dari sini, bisa dilihat bahwa Jordan bukannya tidak menyukai musik. Akan tetapi, lagu-lagu yang ditempelkan Hehir ke 'The Last Dance' bukanlah musik yang didengarkan Jordan. Hampir semua lagu di soundtrack 'The Last Dance' bergenre hip-hop, sementara Jordan menggandrungi R&B.
Hip-hop dan R&B memang sama-sama budaya populer orang-orang Afro-Amerika. Akan tetapi, ada distingsi yang amat gamblang di antara keduanya. R&B mengedepankan harmoni dan melodi, sementara hip-hop menjual ritme dan ketukan.
Meski tidak menyukai hip-hop, karier basket Jordan sebenarnya berbarengan dengan mencuatnya genre musik tersebut. Itulah mengapa, dalam montase yang menunjukkan Jordan di musim pertamanya, Hehir menempelkan lagu 'I Ain't No Joke' milik Eric B. dan Rakim.
Dua rapper East Coast itu adalah aktor krusial dalam perkembangan hip-hop menjadi genre besar, sama seperti Jordan di olahraga basket. Menemukan semangat zaman seperti inilah yang menjadi dasar bagi Hehir dalam memilih lagu-lagu dalam soundtrack 'The Last Dance'.
ADVERTISEMENT
Namun, cara Hehir tidak sampai di situ saja. Sebagai sutradara, dia juga harus memastikan lagu-lagu yang dipilihnya sesuai dengan momen yang ingin dia tampilkan. Dari situ, dibantu pengarah musik Rudy Chung, Hehir memilih lagu Beastie Boys, 'The Maestro', untuk menggambarkan chaos yang dihasilkan Dennis Rodman.
Mantan pelatih Chicago Bulls, Phil Jackson, memberi instruksi kepada Dennis Rodman dan Toni Kukoc. Foto: AFP/Brian Bahr
Kemudian, untuk menuturkan keberhasilan Jordan menjadi Most Valuable Player NBA 1988, Hehir memilih lagu Prince rilisan 1989, 'Partyman', sebagai penyokong. Lagu ini sendiri merupakan salah satu soundtrack di film 'Batman' arahan Tim Burton.
"Aku memang sengaja memilih Prince di akhir 80-an. Aku ingin sesuatu yang sedikit obskur dan akan diapresiasi penggemar Prince, tetapi juga dikenal oleh mereka yang tidak gandrung-gandrung amat kepada Prince," tutur Hehir.
ADVERTISEMENT
"Kadang, kamu memang harus mempertimbangkan segalanya. Dalam lagu itu dia (Prince) berkata, 'Young and old, gather ’round / Everybody hail the new king in town', dan itu cocok sekali dengan Michael pada era tersebut," sambungnya.
Hehir, yang sebelumnya pernah menyutradarai film dokumenter Andre the Giant, disebut Chung sebagai perpustakaan berjalan soal musik, terutama hip-hop. Itulah mengapa Chung sangat terbantu dalam mewujudkan misinya.
Chung mengaku tidak ingin soundtrack 'The Last Dance' ini jadi semacam album greatest hits untuk musik-musik 1980-an dan 1990-an. Ini dia tunjukkan dengan memasukkan lagu-lagu yang 'kurang populer' juga di sana.
"Ada lagu-lagu seperti 'I Got It Made' yang hanya bisa diapresiasi para penggila hip-hop," tuturnya, merujuk pada lagu rilisan 1989 dari Special Ed.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Hehir dan Chung juga memasukkan nomor-nomor yang bisa dibilang 'kurang nyambung' seperti lagu Pearl Jam berjudul 'Present Tense'. Lagu ini merupakan satu dari dua lagu rock yang dimasukkan Hehir dan Chung ke dalam serial.
Satu lagu lainnya adalah 'Sirius' yang merupakan lagu perang Chicago Bulls yang selalu diputar di United Center ketika para pemain masuk lapangan. Lagu itu sendiri digubah Alan Parson, produser musik asal Inggris yang menangani album-album Pink Floyd.
Jika 'Sirius' adalah lagu perang, 'Present Tense' adalah lagu perpisahan. Dengan ciamik, Hehir menempelkan lagu tersebut ke dalam adegan ketika Jordan melakukan retrospeksi atas perjalanan kariernya yang azmat.
Keberadaan 'Sirius' dan 'Present Tense' itu turut membantu keinginan Hehir dan Chung agar soundtrack 'The Last Dance' tidak menjadi kumpulan greatest hits semata. Dua nomor ini merupakan bukti bahwa Hehir dan Chung ingin membuat soundtrack yang sesuai dengan narasi serta semangat zaman.
Jason Hehir. Foto: Getty Images/Kevin Winter
Pada akhirnya, narasi dan semangat zaman itu berkelindan menjadi sebuah paket nostalgia yang tiada duanya. Inilah tujuan utama Hehir, untuk mengantarkan nostalgia ke layar kaca khalayak.
ADVERTISEMENT
Nostalgia, dalam hemat Hehir, adalah sesuatu yang membuat seseorang merasa aman dan nyaman. Musik, tentu saja, adalah salah satu alat terbaik untuk memantik perasaan nostalgik manusia.
Sebuah studi yang dilakukan Matthew D. Schulkind, Laura Kate Hennis, dan David C. Rubin pada 1999 mengonfirmasi hal itu. Menurut mereka, seseorang bisa menggambarkan secara persis apa yang mereka rasakan dan alami ketika mendengarkan sebuah lagu.
Selain itu, studi lain mengatakan bahwa musik yang didengarkan pada masa remaja bakal membekas sampai seumur hidup. Hehir sendiri lahir pada 1976 dan dia menghabiskan masa remajanya menyaksikan Jordan serta mendengarkan musik-musik yang ada di soundtrack 'The Last Dance'.
Maka dari itu, soundtrack 'The Last Dance' itu sebenarnya merupakan cara Hehir sendiri dalam bernostalgia. Dia pun kemudian mengajak jutaan orang lainnya untuk merasakan hal serupa dan upaya itu boleh dikatakan berhasil.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan 'The Last Dance' dalam melakukan penetrasi kultural terbantu juga dengan pandemi virus corona yang membuat dunia terhenti dalam ketidakpastian. Lewat serial bermuatan 10 episode itu, Hehir seperti memberikan mesin waktu kepada orang-orang untuk kembali ke masa ketika 'segalanya baik-baik saja'.
Dibantu dengan soundtrack-nya yang berisikan total 55 lagu itu, 'The Last Dance' menjadi wahana eskapisme kolektif, meskipun sebenarnya era kejayaan Jordan itu tidak luput dari perang dan bencana di mana-mana.
Namun, masa lalu memang sangat kuat. Ada alasan mengapa para populis doyan sekali menggunakan nostalgia untuk menghimpun massa. Karena manusia memang lebih suka berpegangan pada hal-hal yang sudah lenyap dari genggaman mereka.
'The Last Dance' sendiri, sebagai sebuah dokumenter, tidak lepas dari kritikan, termasuk dari Scottie Pippen dan Horace Grant yang merupakan bagian dari Chicago Bulls era Jordan. Namun, sebagai sebuah narasi, ia dieksekusi dengan presisi tinggi.
ADVERTISEMENT
Hehir sukses menyampaikan apa yang dia rasakan dan ingin ceritakan. Semua itu takkan bisa dia lakukan tanpa bantuan musik-musik pengiring yang dipilih dengan cermat olehnya bersama Chung.
-----
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.