Mural: Gambar-gambar yang Seharusnya Bersuara

27 Juli 2018 18:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas PPSU melukis mural Asian Games di Kelurahan Cilandak Barat. (Foto: Dok. Lurah Cilandak Barat/Agus Gunawan)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas PPSU melukis mural Asian Games di Kelurahan Cilandak Barat. (Foto: Dok. Lurah Cilandak Barat/Agus Gunawan)
ADVERTISEMENT
Warna dan rupa menjadi satu, suara kegembiraan, amarah, dan segala hal yang tak tersampaikan oleh kata beresonansi di tempat-tempat yang terjangkau mata.
ADVERTISEMENT
Gambar memang tak bergerak, tapi bersuara. Mural lahir dari otak dan tangan mereka yang berkelahi melawan bahaya, mengucilkan kungkungan norma, dan memberi ruang bagi yang terjepit.
Asian Games 2018 benar-benar sudah di depan mata, waktunya tak lebih dari 22 hari hari lagi. Jakarta berkemas, Palembang bersolek, Indonesia bersiap. Segala yang indah dan dirasa pantas, dibangun dengan segera. Apa-apa yang tadinya tak ada, dipersiapkan demi menyambut tamu, demi melambungkan martabat dan harga diri tuan rumah.
Yang dipersiapkan bukan hanya venue, peralatan dan perlengkapan pertandingan, akomodasi-transportasi-konsumsi atlet, atau apa pun yang berkaitan langsung dengan olahraganya sendiri. Namun, pelengkap-pelengkap yang juga tidak mungkin diabaikan begitu saja. Walau pernak-pernik dan pelengkap ini sepintas tak terlihat penting-penting amat, mereka adalah buah ceri di puncak classic sundae-mu.
ADVERTISEMENT
Jalan Panjang Mural
Sejarah mural adalah perjalanan panjang. Dimulai dari gua-gua di Spanyol dan Prancis Selatan, ia bercerita tentang peradaban awal manusia puluhan ribu tahun Sebelum Masehi. Gambar-gambar tentang aktivitas berburu, meramu, dan keagamaan lampau dipercaya sebagai mural generasi pertama.
Namun, mural-mural generasi pertama ini juga mengangkat cerita-cerita tentang kekuasaan. Biasanya, kisah macam ini dimunculkan lewat seekor bison yang sudah tewas yang menonjolkan bagian anatomi tubuhnya.
Lukisan model ini juga dipercaya sebagai gambaran dari ritual keagamaan, yaitu menunjukkan penghormatan manusia terhadap hewan-hewan buruan mereka. Sebabnya, berbeda dengan lukisan-lukisan yang menggambarkan aktivitas sehari-hari, lukisan bison pada dinding-dinding gua ini ditemukan di area yang lebih sempit, yang hanya bisa dimasuki dengan merangkak.
ADVERTISEMENT
Peradaban manusia berkembang, mural berjumpa dengan titimangsanya yang baru. Memasuki zaman Renaissance, alam dan manusia menjadi objek seni yang digambarkan kembali lewat persepsi sang seniman. Mereka mengangkat kuas, menorehkan warna dan rupa dalam kanvas dan media apa pun yang tersedia.
Di zaman ini, pelukis-pelukis mulai mengeksplorasi tubuh manusia, menggambarkannya semirip mungkin dengan wujud aslinya. Setelahnya, seniman-seniman bermain dengan ekspresi jiwanya, mengabaikan kemiripan, dan mengacak-acak realisme itu sendiri. Lantas, inilah yang menjadi penanda era surealis.
Mural Itu Bersuara
Pablo Picasso memang seorang pelukis, tapi bukan berarti ia tak punya suara. Pada 1837, Picasso menghasilkan lukisan berjudul Guernica. Berkisah tentang perang sipil di Spanyol, lukisan ini dibuat dengan gaya surealis kubistis abstrak. Lukisannya bernada satire, dibuat dengan elemen-elemen komedi untuk menghindarkan diri dari benturan 'sosial' secara langsung. Mereka yang menggunakan satire memang tak perlu menghantam, hanya perlu menyentil.
ADVERTISEMENT
Dunia beruntung karena tidak hanya mengenal Picasso sebagai pelukis yang berbicara lewat muralnya. Adalah Diego Rivera, seniman asal Meksiko yang besar di era 1930-an. Walau orang Meksiko asli, ia punya langkah yang panjang. Berkelana ke Prancis untuk belajar gaya kubisme pada 1913, sebelum akhirnya mencoba tenggelam dalam aliran post-impresionisme. Bersama Jose Clemente Oroczo dan David Alfaro Siquireos, ia dikenal sebagai 'Tiga Seniman Besar Meksiko' yang lantang menyuarakan pesan-pesan politis.
Salah satu mural karya Rivera yang paling masyhur adalah Man at the Crossroads yang dikerjakan pada 1933. Mural ini dilukis di Rockefeller Center, New York, yang dikenal sebagai area pencakar langit.
Mural Man at the Crosswords (Foto: Dok. diegorivera.org)
zoom-in-whitePerbesar
Mural Man at the Crosswords (Foto: Dok. diegorivera.org)
Berjenis mural tiga panel, panel pusat Man at the Crossroads menggambarkan pekerja yang mengendalikan mesin. Panel pusat ini diapit oleh dua panel lainnya, The Frontier of Ethical Evolution dan The Frontier of Material Development, yang masing-masing mewakili kapitalisme dan sosialisme.
ADVERTISEMENT
Kontroversi mengenai mural ini lahir karena Rivera menyelipkan gambar Vladimir Lenin dan parade Soviet May Day. Nelson Rockefeller yang waktu itu menjabat sebagai Direktur Rockefeller Center meminta Rivera untuk mengulang mural dan menghapus gambar Lenin.
Tentunya, permintaan ini ditolak karena bertentangan dengan semangat kiri yang diusung oleh Rivera. Sehingga, bila mural ini dinarasikan dalam satu kalimat singkat, ia akan menjadi tumbukan antara paham kanan dan kiri.
Lantas, pada 1934, mural ini dihapus, dan tiga tahun setelahnya digantikan oleh karya Josep Maria Sert. Rivera tak berhenti, menggunakan potongan-potongan gambar yang tersisa dalam alam pikirnya, ia membuat rekaannya di Meksiko, dan menamainya dengan Man, Controller of the Universe.
Di Sao Paulo 2014, protes itu terbelah menjadi dua. Ada yang melakukan kekerasan dengan mendobrak kantor walikota, membakar mobil media, menjarah toko, dan baku hantam dengan kepolisian. Di sisi lain, puluhan ribu demonstran menjalankan protes dengan cara berbeda. Mereka menyanyi, menari, dan saling merangkul bahu. Tak ada yang terluka, tak ada yang binasa.
ADVERTISEMENT
Mural  Paulo Ito di Piala Dunia 2014. (Foto: NELSON ALMEIDA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Mural Paulo Ito di Piala Dunia 2014. (Foto: NELSON ALMEIDA / AFP)
Di dinding-dinding kota, Paolo Ito melukis mural. Dalam lukisannya itu terlihat sosok anak kecil duduk di depan meja makan. Di atas piring itu tak ada makanan, tapi sebuah bola kaki. Yang disampaikan Ito sederhana, tapi tepat: Piala Dunia diselenggarakan dalam kemiskinan rakyat Brasil. Lukisan-lukisannya seirima dengan spanduk-spanduk para demonstran, yang salah satunya berbunyi: "Go Home FIFA! We’re kind of in the middle of something here.”
Brasil memang surganya sepak bola, tapi untuk bukan berarti sepak bola lebih penting ketimbang sekolah dan rumah sakit. Orang-orang Brasil memadati stadion setiap pekannya, menyemarakkan favela dengan permainan sepak bola jalanan, tapi bukan berarti kehidupan layak tidak menjadi yang utama.
Ito tak butuh galeri seni, ia tak membutuhkan kanvas mutakhir, dan pujian elite-elite seni. Ito melukis di jalanan, tempat sebagian besar pelacur-pelacur Brasil melanjutkan hidup, tempat sebagian besar pesepak bola Brasil menghabiskan masa kecilnya, memupuk asa dan merawat angan untuk menjadi bintang lapangan hijau.
ADVERTISEMENT
Di tengah histeria Piala Dunia 2014, kemiskinan bukan hanya sedang berlangsung, tetapi juga semakin menggerus kehidupan orang-orang yang terpinggirkan. Sepak bola bukan lagi hiburan rakyat. Sepak bola adalah suplemen yang ditelan sekelompok gajah putih untuk memperbesar otot-otot mereka. Sepak bola adalah candu yang mengandaskan kewarasan manusia, tikus dan ngegat yang menggerogoti hak orang-orang Brasil untuk hidup layak.
Mural One Tough Woman di Singapura (Foto: Dok. mothership.org)
zoom-in-whitePerbesar
Mural One Tough Woman di Singapura (Foto: Dok. mothership.org)
Belinda Low tak marah pada siapa pun, tapi ia tetap melukis mural. Dalam lima tahun terakhir, Low sudah melukis setidaknya 40 mural di berbagai kawasan di Singapura. Salah satunya ada di area Chinatown, Singapura, yang berjudul One Though Lady.
Mural ini memperlihatkan gambar seorang wanita tua. Dalam wawancaranya kepada The Straits Times, Low menjelaskan bahwa lewat muralnya itu ia ingin menyuarakan seperti apa wanita tangguh itu sesungguhnya. Kata Low, ia tak perlu terlihat perkasa, tak perlu menjadi pahlawan super. Keputusan untuk menyerah apa pun yang menjadi kesulitannya sudah cukup untuk menjadikannya sebagai seorang wanita tangguh.
ADVERTISEMENT
Mural-mural yang dilukis oleh wanita berusia 60 tahun dan tak pernah mengecap pendidikan seni itu juga terkesan nostalgik, menggambarkan seperti apa Singapura yang sebenarnya, di balik kesibukan dan modernisasi yang menggila.
Anonim, tapi Berefek seperti Banksy
Banksy orang Inggris, lahir dan bertumbuh dewasa di Bristol. Konon, ia merupakan anak seorang teknisi fotokopi dan pernah mencoba menjadi seorang tukang potong daging babi. Bristol mengenal fenomena mural dan grafiti pada era 1980-an. Banksy ikut terseret ke dalamnya.
Saat usianya menginjak 18 tahun, Banksy dan kawan-kawannya menggambar di gerbong kereta. Tentu saja, pihak keamanan stasiun Inggris berang, dan menghajar gerombolan pelukis jalanan ini. Saat teman-temannya lari, Banksy bersembunyi di bawah gerbong kereta. Di bawah gerbong itu Banksy melihat stensilan angka yang dibuat dengan aerosol. Lantas, 'lahirlah' Banksy di bawah gerbong kereta.
ADVERTISEMENT
Mereka yang menghidupi grafiti dan mural dikenal sebagai orang-orang yang menantang bahaya. Ranah seni jalanan Inggris berduka pada 19 Juni 2018 lalu. Trio seniman grafiti mereka yang dikenal dengan sebutan Kbag, Lover, Trip ditemukan tewas di dekat Stasiun Briton pada pukul 07:30 waktu setempat. Menurut laporan The Guardian, ketiganya dipastikan tengah melukis grafiti di sekitar stasiun pada malam hari dan terlambat menyadari kedatangan kereta yang dalam sekejap menyambar hingga tewas.
Nick Turner, kolomnis seni dan politik The Guardian, menjelaskan mengapa para seniman jalanan begitu sering menantang bahaya. Katanya, grafiti dan mural tidak cuma tentang mengekspresikan pemikiran, menandai teritori, dan membuktikan eksistensi, tapi juga tentang menjadi bagian dari satu kelompok tertentu. Karena alasan terakhir inilah risiko diambil, ini merupakan bagian untuk membentuk identitas dan sense of belonging.
ADVERTISEMENT
Salah satu karya awal Banksy yang terkenal di Bristol adalah The Mild Mild West. Mural yang dipercaya lahir pada 1999 ini ada di satu bangunan batu bata cokelat di area Stokes Croft. Ia menunjukkan beruang serupa teddy bear raksasa yang mengambil ancang-ancang melempar molotov ke arah tiga orang polisi yang melindungi diri dengan tameng.
Di bagian bawah gambar, tertulis nama Banksy. Konon, mural ini dikerjakan selama tiga hari dan kini menjadi salah satu daya tarik Kota Bristol. Mengapa mengambil teddy bear yang tersenyum, Lindsay Baker dalam tulisannya untuk The Telegraph menjelaskan bahwa karakter beruang yang cenderung menggemaskan itu menunjukkan ciri khas orang Bristol kebanyakan. Ramah, lembut, tapi tak ragu untuk melakukan aksi kepada siapa pun yang mengusik.
ADVERTISEMENT
Pada 2003, Banksy menelurkan mural yang menggambarkan seorang pria yang mengenakan penutup wajah dan topi terbalik melemparkan karangan bunga. Mural ini dikerjakannya di Yerusalem dan berjudul Rage, Flower Thrower. Ia bercerita bagaimana muak dan lelahnya orang-orang akan perang yang melibatkan Palestina dan Israel.
Apa yang dikerjakan Banksy di jalanan menarik masyarakat hingga kaum elite. Karya-karya Banksy ini direproduksi dalam medium baru. Yang membeli tak cuma masyarakat biasa, tapi kaum elite macam selebriti. Bahkan keberadaan karya Banksy membuat galeri-galeri seni mulai memberikan ruang bagi para seniman jalanan.
Di satu sisi, muncul pandangan miring. Fenomena itu membuat seniman-seniman jalanan 'menukarkan' kebebasannya demi masuk galeri seni. Namun, efek Banksy tak cuma tentang meningginya minat masyarakat pada karya seniman jalanan. Di sisi lain, keberadaan Banksy dinilai berdampak pada geliat seni jalanan di wilayah-wilayah seperti Timur Tengah ataupun Afrika. Itu efek yang berhubungan langsung dengan para seniman jalanan. Segala hal yang dikerjakan Banksy pada akhirnya juga menjadi medium yang dapat menyerukan suara-suara mereka yang selama ini dibungkam, termasuk apa yang terjadi pada seniman Turki, Zehra Dogan.
ADVERTISEMENT
Apa yang Disuarakan Mural Asian Games 2018?
Mural tak melulu tentang pernyataan politis, ia juga bisa digunakan sebagai media promosi. Agaknya, itulah yang melatarbelakangi kelahiran mural-mural bertema Asian Games 2018 di sejumlah ruas Kota Jakarta.
Yang disayangkan banyak pihak, mural-mural itu tak dikerjakan oleh para seniman mural. Permasalahan estetika yang bakal terlihat di hasil akhir menjadi yang paling ditakutkan. Namun, satu hal yang juga menjadi pertanyaan, apakah mural seperti ini juga bisa tetap bersuara?
Unggahan pemerintah menyoal proses pembuatan mural yang dikerjakan oleh PPSU ini melahirkan komentar. Kebanyakan, isi komentar itu menyesalkan eksekusi yang tidak tepat.
Mulai dari “Jangan salahkan PPSU kalau gambarnya tidak bagus. Yang menjadi masalah, kenapa bukan seniman mural yang disuruh menggambar?” hingga yang menyayangkan mengapa urusan mural dan pernak-pernik macam ini tidak dikerjakan sejak dulu karena ini berkaitan dengan perhelatan level Asia yang bakal memengaruhi citra Indonesia sendiri sebagai tuan rumah.
ADVERTISEMENT
Mural Bendera peserta Asian Games 2018 di Jagakarsa (Foto: Helmi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mural Bendera peserta Asian Games 2018 di Jagakarsa (Foto: Helmi Abdullah/kumparan)
Menanggapi komentar-komentar demikian, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, menjelaskan: “Seingat saya, Gubernur enggak pernah ngasih tugas itu, ya. Nanti saya cek. Saya enggak tahu, tapi ini teman-teman, kita memang harus ada ruang untuk kreativitas, jangan kaku. Tapi ada batasnya."
Terlepas dari apa pun yang melatarbelakanginya, tak ada gambar yang tak berbicara. Begitu pula dengan mural yang eksekusinya dinilai tidak tepat ini. Di satu sisi, ia mungkin akan menyuarakan apa yang disampaikan oleh sang gubernur tadi, menggambarkan inisiatif, menegaskan sense of belonging. Namun, ia juga punya kemungkinan lain: Suara yang mengisyaratkan bahwa kita tak siap-siap amat untuk menjadi tuan rumah perhelatan ini.
Itu kemungkinan kedua. Kemungkinan ketiga, segala hal yang muncul di mural Asian Games ini bukannya tak mungkin menjadi suara yang berbicara tentang apa yang dialami oleh banyak orang dewasa ini, sadar atau tidak sadar: Terpaksa melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah menjadi hasratnya.
ADVERTISEMENT