Peloton Pesepeda bak Pisau Mata 2: Indah tapi Punya Bahaya Fatal

29 Mei 2021 5:10 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi peloton pesepeda. Foto: Reuters/Benoit Tissier
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peloton pesepeda. Foto: Reuters/Benoit Tissier
ADVERTISEMENT
Peloton adalah istilah yang digunakan untuk menyebut rombongan pesepeda di jalanan. Kegiatan bersepeda bareng ini sudah sering dijalankan di Indonesia maupun di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Salah satu kasus yang sedang viral adalah peloton pesepeda diacungi jari tengah oleh pemotor di kawasan Dukuh Atas, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Mereka yang jumlahnya puluhan itu diduga bergerak di jalur kanan alias jalur kendaraan bermotor.
Kenapa para pesepeda suka bermain sepeda dalam formasi peloton? Sebenarnya, itu karena memiliki sejumlah manfaat, seperti bisa menghemat energi.
Namun di sisi lain, peloton pesepeda juga memiliki dampak berbahaya. Jadi, ini bak pisau bermata dua. Silakan simak ulasan kami berikut ini.
Sejumlah pesepeda memacu kecepatan saat berlangsungnya uji coba pemberlakuan lintasan road bike di jalan layang non tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang, Jakarta, Minggu (23/5). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Situasi peloton pesepeda bisa tercipta di kompetisi olahraga bergengsi. Pada Tour de France, misalnya, pesertanya bisa terdiri 219 pebalap dari 22 tim yang berpartisipasi atau pebalap utama membentuk formasi tertentu yang menyusun satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Ya, kita sebagai penonton melihatnya itu indah. Konsep peloton pesepeda juga bisa membuat para peserta menghemat energi dan memanfaatkan slipstream untuk menyalip. Tim juga bisa mengatur strategi lain untuk memenangi lomba.
Akan tetapi, peloton juga bisa berbahaya. Masalahnya, ketika para pesepeda saling 'berdesakan', jika ada satu pebalap yang jatuh bisa menyebabkan efek domino. Pada akhirnya, itu bisa menyebabkan kecelakaan parah.
Michael Barry, mantan pebalap sepeda profesional sekaligus penulis asal Kanada, pernah menceritakan kisahnya tentang peloton. Ini juga dimuat di The New York Times.
Sejumlah pesepeda memacu kecepatan saat berlangsungnya uji coba pemberlakuan lintasan road bike di jalan layang non tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang, Jakarta, Minggu (23/5). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
"Peloton mengalir bersama jalan, dan kami, para pesepeda, dengan membabi buta berharap alirannya tidak putus. Dinding roda dan badan berarti kita tidak akan pernah bisa melihat terlalu jauh ke depan, jadi kami percaya bahwa peloton mengalir di sekitar rintangan apa pun di jalan seperti ikan di arus," tulis Barry.
ADVERTISEMENT
"Saat berada dalam grup, kami mengikuti roda, melihat beberapa meter ke depan, mengamati pengendara lain untuk mengukur pengereman, akselerasi, dan cara kami menggerakkan sepeda. Seiring waktu, bersepeda dalam peloton menjadi naluri, dan sepeda kita menjadi perpanjangan tubuh kita. Ketika aliran itu terputus, waktu reaksi menjadi terbatas dan kami sering terhempas," lanjutnya.
Cedera bagi atlet balap sepeda tidak main-main. Itu bisa membuat tulang patah hingga bekas luka yang permanen. Dalam kasus tertentu, cedera memengaruhi gaya pesepeda saat mengayuh sepedanya.
"Lebih dari dua pertiga Tour de France, banyak pebalap memiliki perban yang menutupi luka mereka akibat jatuh. Dua dari favorit, Cadel Evans dan Alejandro Valverde, tercakup dalam goresan yang kami sebut ruam jalan. Itu membuat kami tidak bisa tidur karena luka tangis menempel di seprai, sementara saraf yang terbuka dipicu oleh angin sepoi-sepoi," tutur Barry.
ADVERTISEMENT
"Bagi pesepeda, bekas luka adalah tato. Masing-masing dapat dilacak ke suatu titik dalam karier kami saat kecelakaan. Masing-masing memiliki cerita dan setiap bekas luka menandai kami secara mental untuk membuat kami lebih waspada dan lebih berhati-hati. Mereka mendewasakan kami atau begitulah yang kami harapkan," jelasnya.
***